Menyoal Stereotipe “Islam sama dengan Arab”

Menyoal Stereotipe “Islam sama dengan Arab”

Semua orang bisa ber-Islam dengan baik dan tidak perlu menjadi orang Arab untuk menjadi Muslim yang kaffah.

Menyoal Stereotipe “Islam sama dengan Arab”
Ilustrasi: @artsgaf/alwy (islamidotco)

Pada mulanya Islam memang agama orang Arab, meskipun fakta historis menunjukkan bahwa beberapa sahabat pertama Nabi Muhammad SAW yang menjadi Muslim bukanlah orang (asli) Arab.

Selama periode Bani Umayyah (sebelum 750 M), Muslim masih menjadi identitas dominan di Semenanjung Arab. Baru kemudian, periode Abbasiyah (setelah 750 M) menandai penyebaran Islam ke wilayah-wilayah non-Arab.

Dalam tulisan ini, “Islam” yang maksud adalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW setelah beliau mendapatkan wahyu di Goa Hira pada 10 Agustus 610 M.

Diskursus tentang terminologi “Islam” memang luas. “Islam” juga bisa merujuk pada status spiritual “penyerahan diri” umat manusia kepada Tuhan yang berlaku sejak Nabi Adam turun ke Bumi. Redaksi “Islam” yang digunakan di sini sama dengan “Islam” yang dipakai dalam wacana “Arab pra-Islam”, yaitu Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Meskipun sebagian besar umat Islam di dunia sekarang sudah menyebar di luar dunia Arab, negara Barat masih menganggap bahwa Islam secara umum adalah agama Arab. Stereotipe ini dampaknya tidak main-main.  

Imam besar Islamic Centre Kota New York Amerika Serikat asal Indonesia, Shamsi Ali, mengalami stereotyping ini ketika ia dicap sebagai second class Muslim hanya karena ia bukan orang Arab dan tidak menggunakan gamis. Stereotipe itu jelas menggambarkan bahwa representasi Muslim di benak orang Amerika adalah orang Arab yang menggunakan gamis dan surban.

Kasus Shamsi Ali itu terjadi hampir 10 tahun yang lalu. Sudah lama memang. Namun, bisa jadi stereotipe semacam itu masih melekat di benak masyarakat Barat hingga saat ini. Tapi rupanya, status “Islam adalah Arab” juga menjangkiti sebagian komunitas Muslim di Indonesia.

Tidak usah jauh-jauh, diktum “nama Arab sebagai nama islami” sudah mengakar kuat di tengah masyarakat kita. Lalu baju gamis dan surban yang mulai populis di Indonesia, terutama setelah era Reformasi. Padahal, umat Muslim secara umum justru lebih banyak ditemukan di luar wilayah Arab.

Ingvar Svanberg, dalam bukunya Islam Outside the Arab World, menyebutkan bahwa hingga saat ini jumlah orang yang memiliki bahasa ibu Arab sedikitnya berjumlah 175 juta. Dari jumlah tersebut, sekitar 90 persen adalah Muslim.

Sedangkan, jumlah umat Islam di dunia mungkin jauh melebihi 1 miliar. Ini berarti bahwa hanya sekitar 15 persen dari semua Muslim adalah orang Arab. Selain itu, jumlah umat Islam berkembang lebih pesat di luar daripada di dalam dunia Arab sendiri.

Peningkatan tersebut disebabkan, terutama, oleh pertumbuhan penduduk di wilayah-wilayah Muslim, selain itu juga disebabkan oleh perpindahan agama Islam. Secara khusus, konversi merupakan alasan signifikan untuk mengklarifikasi fenomena ekspansi Islam besar-besaran di Afrika selatan Sahara.

Perlu dicatat, jumlah populasi Muslim di seluruh dunia yang ditaksir Svanberg itu adalah di tahun 1999-2002, lebih dari dua dekade lalu. Saat ini, menurut beberapa data survei per 2022, jumlah pemeluk Islam sudah mencapai 2 miliar. Sedangkan di tanah kelahirannya sendiri, Arab Saudi, pemeluk Islam berjumlah sekitar 25 juta jiwa. Artinya, penduduk Muslim hanya sekitar 1,5 persen dari total populasi Muslim di seluruh dunia.

Setelah menginvestigasi secara demografis, setidaknya ada dua isu yang perlu dievaluasi. Pertama adalah soal stereotipe “Islam sebagai agama Arab”. Kedua adalah tentang “semangat arabisasi Islam”. Kedua isu seringkali menjadi salah satu “bahan ajar” kelompok Islam puritan untuk berdakwah kepada masyarakat untuk mengembalikan “kemurnian” Islam. Narasi ini biasanya berkelindan dengan ajaran “jika tidak ada pada zaman Nabi, maka itu bid’ah”.

Tulisan ini tidak sedang menyebarkan paham anti-semitisme. Saya sama sekali tidak mempersoalkan Arab secara kultur atau Arab Saudi sebagai negara, karena bagaimanapun ia tetaplah wilayah yang dianggap suci.

Akan tetapi, dengan hanya melekatkan Islam kepada Arab, maka potensi Islam untuk menjadi agama yang progresif sangatlah kecil. Bagaimana ingin berkembang jika Islam terus saja dikerdilkan dengan atribut-atribut Timur Tengah?

Tulisan ini juga tidak sedang mempermasalahkan nama-nama Arab yang sampai hari ini masih menjadi referensi utama masyarakat Muslim Indonesia. Nama saya sendiri juga diambil dari Bahasa Arab. Namun, yang menjadi concern adalah bahwa nama yang “Arab” itu tidak kemudian mengasosiasikan Islam dengan kultur Arab, apalagi di zaman Nabi. Saya, misalnya, memiliki nama yang sangat Arab, namun saya tetap beragama sesuai dengan kultur Nusantara.

Pun dengan kesuksesan para ulama Islam ketika membawa Islam ke luar Arab. Perkembangan Islam yang pesat ke penjuru dunia itu tidak lepas dari kecerdasan mereka untuk membumikan, atau dalam bahasa Gus Dur “mem-pribumisasi”, ajaran Islam dengan berakulturasi dengan tradisi lokal tiap-tiap daerah. Kepekaan inilah yang membuat Islam terus bergerak meluas keluar dari tempat kelahirannya.

Sebagai coretan terakhir, tulisan ini ingin menegaskan bahwa Islam bukan milik bangsa Arab, dan Arab bukan milik agama Islam. Semua orang bisa ber-Islam dengan baik, dan tidak perlu menjadi orang Arab untuk menjadi Muslim yang kaffah. Prinsip ini tegak lurus dengan QS. Al-Baqarah: 185 dan banyak hadis Nabi bahwa Islam itu menghendaki kemudahan bukan kepayahan. Jika kemudian muncul stereotipe atau ajaran tentang “Islam sama dengan Arab”, maka kemungkinannya tiga, antara kurang membaca, kurang dolan, atau memang antipati terhadap keberagaman.