Islam 212 = Wujud Islam Politik?

Islam 212 = Wujud Islam Politik?

Benarkah aksi 212 murni bertujuan membela islam, atau hanya aksi islam politik. Simak catatan bernas ini

Islam 212 = Wujud Islam Politik?

Reuni Akbar Alumni 212 beberapa waktu lalu berhasil memicu debat tentang banyak hal. Baik mengenai klaim politis dan tidak politis, definisi “reuni” dan “alumni”, sampai jumlah demonstran yang datang. Reuni Alumni 212 ini juga dijadikan oleh Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Maarif sebagai Kongres Alumni 212 yang menghasilkan beberapa keputusan.

Keputusan itu antara lain pertama, menetapkan Habib Rizieq Shihab sebagai Imam Besar Umat Indonesia. Kongres juga meminta agar pemerintah berhenti melakukan kriminalisasi terhadap Rizieq. Kedua, para alumni 212 merasa bahwa tiga tahun pemerintahan sekarang (Jokowi-JK, penulis) tidak terlalu ramah dengan Umat Islam. Bahkan, ada yang merasa pemerintah menghendaki Islamofobia (Tribunkaltim.co, 3/12/2017).

Sebelum Reuni Alumni 212 ini dilaksanakan, Ketua Umum MUI, K.H. Ma’ruf Amin menyindir bahwa kegiatan tersebut bersifat agitasi dan menghimbau agar tak dihidupkan kembali. Menurut Ma’ruf, Reuni 212 akan memunculkan sikap saling curiga. Dia mengingatkan bahwa hal yang dulu dipermasalahkan saat aksi 212 pada 2016, yakni soal pidato Ahok tentang surat al-Maidah kini sudah selesai. Fadli Zon, Wakil Ketua DPR, membantah bahwa pendapat tersebut keliru. Ia menganggap bahwa Reuni Alumni 212 itu mengimbau kebaikan, bukan keburukan (Detik.com, 2/12/2017). Toh, faktanya, Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Amien Rais, kompak menyindir Jokowi dalam Reuni Alumni 212 tersebut.

PBNU dan  Pemuda Muhammadiyah rupanya tidak sependapat dengan keputusan Alumni 212 yang mengangkat Habib Rizieq Shihab sebagai Imam Besar Umat Indonesia. Menurut Robikin Emhas, Ketua Harian Tanfidziyah NU, Kongres 212 tidak merepresentasikan umat Islam Indonesia. Rizieq hanyalah imam di jamaahnya saja (Detik.com, 2/12/2017). Dengan ungkapan senada, Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, menyebutkan bahwa secara subjektif mereka yang berkumpul untuk mengangkat Habib Rizieq sebagai imam tidak perlu diperdebatkan, namun  warga Muhammadiyah tentu imamnya Pak KH. Haedar Nashir sebagai imam umat Indonesia (Detik.com, 3/12/2017).

Islam 212 sebagai sebutan yang ikonik bagi gerakan yang mendaku representasi umat Islam ini, menampakkan wajah yang relatif politis. Keberagamaan (baca: keberislaman) dimaknai dengan semangat yang politis. Keberagamaan yang dilakoni dengan nafas yang politis, tentu bukan hal baru. Tetapi, memakai politis sebagai kacamata beragama, maka akan memunculkan problem yang kompleks. Ada baiknya kita menengok ke dalam lembaran sejarah teori politik Islam masa lalu.

Ann K. S. Lambton dalam bukunya State and Government in Medieval Islam (1981), mengkristalkan tiga formulasi teori politik Islam Abad Pertengahan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa penelusuran Lambton ini memiliki rentang dari abad ke-8 sampai ke-17 Masehi. Formulasi pertama, diutarakan oleh para fuqaha atau jurist yang mengambil pandangan politiknya berdasar pada al-Quran, sunnah nabi, ijma’ para sahabat dan qiyas (analogi).

Dalam formulasi ini, batas-batas politik, moral, hukum dan teologi sukar ditentukan. Formulasi kedua, diutarakan para filsuf yang sebagian mengambil referensinya pada tradisi Hellenistik (Yunani-Romawi) dan semi Hellenistik, seperti dikemukakan oleh kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah, termasuk pada kadar yang lebih kecil, para Sufi.

Formulasi ketiga, diajukan oleh kalangan penasehat raja dan administrator negara yang menarik rujukannya pada khazanah literer tradisi kerajaan Sasanian Persia.  Perhatiannya lebih tertuju pada praktek tinimbang teori pemerintahan. Secara berturut-turut, formulasi pertama menekankan pada pandangan agama yang benar, formulasi kedua memfokuskan pada pengetahuan, sedangkan formulasi ketiga memusatkan perhatian pada perihal keadilan.

Meski demikian, kerap kali pula, seorang penulis bahkan bisa berada pada ketiga formulasi tersebut. Yakni dia kadang menulis sebagai fuqaha, kadang sebagai filsuf, dan kerap sebagai penasehat raja pun administrator kerajaan. Karena itulah, formulasi ini tentunya bersifat tidak ketat dan kontekstual.

Teori politik Islam abad Pertengahan di atas acap kali berbicara tentang etika penguasa pada rakyatnya. Bahwa penguasa itu seharusnya amanah, cerdas, bijaksana, berani mengambil keputusan, tegas, dan punya kemampuan kepemimpinan. Dibaca dengan logika terbalik, realitas menunjukkan bahwa para penguasa dalam sejarah Islam kerap khianat, licik, sewenang-wenang, di bawah perintah orang lain, lemah, dan tak mampu memimpin. Apa yang jarang terdapat dalam tulisan-tulisan tersebut adalah etika rakyat kepada penguasa. Mengapa? Sebab bila berbicara tentang etika rakyat pada penguasa berarti bicara tentang hak-hak politik warga.

Hak-hak politik warga komunitas muslim dalam pemerintahan Islam bukannya tidak ada. Hak-hak ini diatur dalam Mahkamah Syariah, namun lebih terbatas pada bidang sosial semata. Tak ada lembaga yang secara formal menjadi tempat mengkritik kebijakan penguasa. Ketiadaan hak politik warga inilah yang menjadi pangkal para teoritisi politik Islam berusaha menguatkan pijakan pada hukum, pengetahuan, dan prinsip keadilan praktis. Tujuannya mengerem absolutisme kekuasaan yang mendarah daging dalam sistem pemerintahan Islam yang diberikan atribut kekhalifahan ini. Namun demikian, tampakan umumnya cenderung melegitimasi terhadap kekuasaan.

Keterbatasan hak politik warga dalam pemerintahan Islam abad Pertengahan di atas tak disadari oleh kalangan Islam Politik modern. Yang dimaksud dengan Islam Politik ini penulis merujuk secara longgar pada formulasi Nazih N. Ayubi dalam Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (1994). Ayubi menyebut bahwa Islam Politik ini merefer pada proses yang berlawanan dengan arah historis politik Islam abad pertengahan. Islam Politik berkhidmat mengaitkan agama dan politik bukan dengan jalan melegitimasi pemerintahan, melainkan dengan menolak pemerintahan itu sendiri. Dus, secara keseluruhan Islam Politik merupakan gerakan protes, dalam hal ini, protes politis.

Islam 212 sebagai Islam Politik

Menurut Ayubi, Sumber inspirasi pertama dan tertua doktrin Islam Politik adalah khawarij. Kalangan Islamis Politik meminjam dari khawarij tiga konsep: (a) kedaulatan dan kekuasaan mutlak Tuhan (al-hakimiyya li Allah), (b) menuduh kafir (takfir) bahkan melakukan pembunuhan bukan hanya pada mereka yang disebut menodai agama bahkan juga pada mereka yang berdosa kecil (murtakib al-kabira), dan (c) penolakan atas kepemimpinan mapan yang didasarkan pada landasan etnik, kelas atau bahkan pendidikan (teologis).

Penolakan atas demokrasi yang kerap disuarakan HTI, FPI dan kelompok Islamis lainnya dilanjutkan dengan tuntutan bahwa pemerintahan hanya milik Tuhan. Saat kelompok Khawarij meneriakkan penolakan atas kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan sembari menegaskan bahwa tidak ada otoritas kecuali otoritas Allah, apa bedanya dengan yang disuarakan kalangan HTI, FPI dan kelompok Islamis lainnya?

Dalam konteks ini pula, politisasi mayat, yakni penolakan sejumlah masjid menshalatkan jenazah muslim yang meninggal karena pilihan politiknya yang berbeda, merupakan wujud takfir. Politik ditarik ke ranah keberagamaan sehari-hari. Ironisnya, saat ini terjadi, yang lantas berlangsung adalah pembelahan umat. Atmosfer penuh dengan amarah dan angkara murka.

Penolakan terhadap nasionalisme sebagai salah satu fondasi utama dalam kehidupan sosial, juga terinspirasi dari pandangan politik Khawarij. Apakah jawabannya kemudian trans-nasionalisme, atawa internasionalisme, atau multinasionalisme tidak jelas. Asumsinya kemudian berujung pada khilafah, tapi segera ditambahkan lagi bukan khilafah ala ISIS.

Sejarah telah memberikan pelajaran, kadang pahit kerap kali manis, tak jarang masam dan acap kali getir nan menyedihkan. Sebagai orang yang berakal budi dan memiliki kebijaksanaan selayaknya kita menatap masa depan secara lebih optimis, bukan terperangkap dalam keberagamaan yang politis dan memecah-belah. [ ]