Tafsir at-Thabari adalah kitab tafsir terlengkap pertama yang disusun oleh Ibnu Jarir At-Thabari. Tafsir yang terdiri dari 30 juz Al-Qur’an ini mempunyai dua judul yang dapat ditemukan di berbagai perpustakaan, yaitu Tafsir Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil ay al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 dan 1998) dan Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992). Namun, tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan Tafsir at-Thabari.
Alasan at-Thabari memberikan nama pada kitab tafsirnya dengan judul Jami’ al-Bayan karena di dalamnya terdapat kumpulan keterangan. Beliau menjelaskan tentang pengetahuan yang cukup luas mencakup berbagai disiplin ilmu seperti fiqih, nahwu, balaghah, qira’at, aqidah, dan lain sebagainya.
Dalam perjalanan historisnya, tafsir at-Thabari pernah dianggap hilang, tidak jelas keberadaannya, bahkan hanya menjadi cerita belaka. Akan tetapi, tafsir tersebut ditemukan kembali di Kairo berupa manuskrip yang tersimpan di koleksi perpustakaan pribadi seorang Amir (pejabat) Najed, bernama Hammad ibn ‘Amir ‘Abd al-Rasyid yang kemudian dicetak ulang beberapa waktu setelah itu. Menurut Ignaz Goldziher naskah tersebut ditemukan karena adanya percetakan pada awal abad 20-an.
At-Thabari mengkolaborasikan antara tafsir dan ta’wil menjadi sebuah pemahaman yang utuh. Menurutnya, keduanya merupakan alat untuk memahami kitab suci al-Qur’an yang pada umumnya tidak cukup hanya dianalisis menggunakan kosakatanya saja, akan tetapi memerlukan peran logika dan juga aspek lainnya, seperti munasabah ayat atau surat, tema, sebab turunnya ayat, dan lain sebagainya. Karenanya, tafsir at-Thabari terkesan mempunyai warna yang berbeda dengan tafsir lainnya. Sehingga akan lebih mudah untuk dipahami oleh para pembacanya.
Konon penulisan tafsir at-Thabari dilatarbelakangi oleh keprihatinan at-Thabari terhadap umat Islam dalam memahami al-Qur’an. Mereka sekedar bisa membaca al-Qur’an tanpa mengetahui makna yang seseungguhnya. Berangkat dari hal tersebut, at-Thabari kemudian berinisiatif untuk menyusun sebuah kitab yang berusaha mengungkap makna sesungguhnya dalam al-Qur’an.
Tafsir at-Thabari dikenal sebagai tafsir yang menggabungkan dua sumber penafsiran yaitu bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y. Dalam menafsirkan al-Qur’an, At-Thabari mendasarkan sumber penafsirannya pada riwayat-riwayat otoritas awal dan juga akal pikirannya. Hal inilah yang kemudian menjadikan penafsiran al-Thabari sedikit berbeda dan lebih unggul dibandingkan mufassir generasi sebelumnya. Perbedaannya adalah dalam hal menafsirkan suatu ayat beliau tidak hanya mengutip riwayat Nabi saw dan pendapat mufassir sebelumnya, melainkan juga mengkritisi mana riwayat yang shahih dan tidak, serta mengutip pendapat yang paling kuat apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat dan tabi’in.
Disamping itu, beliau menyebutkan beberapa pembahasan yang mencakup beberapa disiplin ilmu, seperti kebahasaan, nahwu, syair, dan ragam qira’at disertai dengan pertarjihan terhadap riwayat-riwayat yang beliau kutip. Sedangkan salah satu fungsinya adalah untuk memperjelas makna kata atau ayat al-Qur’an yang dibahas. Lebih lanjut, beliau juga menyeleksi dan memilih keterangan maupun pendapat yang menurutnnya paling kuat diantara pendapat yang ada.
Terkait metode yang digunakan oleh al-Thabari dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an adalah metode tahlili. Yaitu suatu metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalamnya yang urutannya disesuaikan dengan tertib surat yang ada dalam mushaf utsmani. Metode tafsir ini juga menjelaskan kosakata, munasabah antar ayat maupun antar surat, asbab al- nuzul, dan mengutip dalil-dalil dari Nabi saw, sahabat dan tabi’in. Selain itu, metode ini juga merupakan metode tafsir yang menganalisis ayat al-Qur’an dari berbagai bidang keilmuan.
Secara umum, tafsir at-Thabari mempunyai beberapa karakteristik. Sebagaimana berikut:
Pertama, melakukan tarjih terhadap riwayat atau hadis yang dikutip. At-Thabari memaparkan beberapa riwayat yang berkaitan dengan ayat ditafsirkan. Di akhir penjelasannya, beliau mengambil riwayat yang paling benar diantara beberapa riwayat yang telah disebutkan dengan memperhatikan sanad dan matan hadisnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau sangat teliti dalam mengutip sebuah riwayat.
Kedua, menjelaskan aspek kebahasaan (nahwu dan i’rab). At-Thabari menggambarkan dan menjelaskan perbedaan pendapat antara beberapa ulama dalam memahami suatu ayat menggunakan pendekatan kebahasaan. Setelah itu, beliau menyebutkan penempatan perbedaan tersebut dalam masing-masing ayat.
Ketiga, menggunakan qira’at dalam penafsirannya. Ketika mengungkapkan maksud suatu ayat dalam tafsirnya, seringkali ditemukan penjelasan tentang qira’at. Selain itu, beliau juga melakukan tarjih terhadap qira’at-qira’at yang dikutipnya dengan disertai penjelasan.
Keempat, mengutip syair-syair Arab klasik. Terkadang beliau menjelaskan makna yang terkandung dalam suatu ayat al-Qur’an dengan menggunakan syair.
Pada akhirnya, tafsir at-Thabari mendapatkan pujian dari beberapa ulama, bahkan orientalis. Dr. H. Horst misalnya yang meneliti tafsir at-Thabari. Menurutnya ada 13.026 mata rantai yang berbeda dalam tiga jilid tafsir at-Thabari. Sedangkan 21 dari 13.026 ini termasuk di dalamnya 15.700 dari 35.400 macam bentuk informasi, “hadis-hadis”, yang menjadi jaminan bagi kebenaran atas berbagai mata rantai peristiwa.
Jalaluddin as-Suyuti mengatakan bahwasanya kitab tafsir at-Thabari adalah kitab tafsir yang bernilai tinggi dan sangat diperlukan oleh orang yang mempelajari tafsir, karena di dalamnya dijelaskan beberapa pendapat yang kemudian diambil pendapat yang paling kuat.
Muhammad Abduh, seorang tokoh kontemporer mengomentari tafsir at-Thabari sebagai kitab terpercaya di kalangan penuntut ilmu, karena telah keluar dari taqlid dan berusaha menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan dirinya dalam perselisihan dan juga perdebatan yang dapat menyebabkan perpecahan.
Wallahu A’lam