Namanya, Abu Bakar Muhammad Ibnu Abdul Malik Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Thufail al-Qaisy, biasa dikenal dengan julukan Ibnu Thufail. Ia Lahir di Granada, Andalusia (kini Spanyol) pada tahun 1105 M.
Awalnya Ibnu Tufail adalah seorang dokter praktek, kemudian dia diangkat menjadi seorang dokter di istana. Lambat laun, karena kecerdasan dan tulisan-tulisannya yang menakjubkan, dia naik pangkat menjadi seorang qadhi. Dia ahli dalam segala bidang, yang paling menonjol adalah filsafat, astronomi, novelis, ahli sastra dan beberapa keahlian lainnya. Karena dia juga mahir menulis, dia berhasil menciptakan karya tulis yang sangat populer.
Karya Ibnu Thufail yang sangat popular dan masih bisa diakses hingga kini adalah Hayy bin Yaqdzan, secara filosofis dikenal dengan arti hidup dan bangun. Karya ini sangat menggetarkan kehidupan. Mengingat pada saat ini, banyak orang yang masih hidup, namun tidak menjadi penggerak atau stagnan.
Hayy bin Yaqdzan ini menceritakan orang yang sedang belajar ilmu kehidupan dari seekor rusa. Dengan mengamati Rusa ketika melakukan gerakan untuk mencari makan dan minum. Ketika rusa tersebut mati, ia bertanya-tanya perihal yang membuat rusa ini tidak bergerak. Ia menerka-nerka sesuatu yang hilang dari binatang bertanduk tersebut. Dia pun membelah tubuh rusa itu dan tidak menemukan hembusan nafas dari sang rusa.
Dia masih penasaran, mencoba membelah hewan yang ada di sekitarnya. Ketika membelah tubuh hewan itu dan mengamati bagian yang sama dari rusa yang telah mati sebelumnya, ia bergumam lagi, bahwa memang ada yang hilang dari hewan ini dan sifatnya panas, karena hewan ini baru saja dibunuh dan masih hangat. Sedangkan, rusa itu sudah dingin.
Kesimpulannya saat itu, sesuatu yang pergi dari mahluk hidup itu sifatnya panas, sementara hewan yang masih hidup berarti masih memiliki sesuatu yang sifatnya panas. Lantas, dia menyadari bahwa dia memiliki akal untuk berpikir dan aktivitas berpikirnya mulai jalan. Dia mengamati kehidupan di sekitar, dengan melihat kayu, pohon, dan rerumputan. Dia mulai berpikir mana genus, mana spesies, dan mulai mengelompokkan hewan dengan dewan dan kayu dengan pohon.
Ia menemukan banyak hal yang berbeda. Ia melihat gemerlap bintang, sinar rembulan yang begitu teratur. Ia kemudian menyangka ada Dzat yang mengatur segalanya. Ia pun berfikir sebab akibat dari semua benda yang ia amati.
Suatu kesimpulannya mengatakan bahwa ada wajibul wujud (Dia yang pasti ada). Dzat tersebut, menurutnya, bisa saja merusak atau tata aturan yang telah dibuat-Nya. Namun karena ia Maha Penyayang, Maha Rahman, maka ia tak melakukannya.
Lantas, datang seorang sufi bernama Absal dan mereka berdiskusi. Absal mengajarinya tentang Al-Quran, nabi, dan malaikat. Dia sangat terkejut, hasil pengamatannya selama ini ternyata sama dengan kitab suci. Dia pun setuju dengan pendapat Absal, tetapi dia menemukan itu dengan akalnya sendiri. Mengetahui hal itu, Absal mengajaknya untuk berdakwah dan membicarakan suatu kebenaran.
Setelah berdakwah, ia mendapati bahwa ternyata banyak orang yang tidak menyukai penjelasan Tuhan dengan media akal, karena penjelasannya terlalu susah dipahami. Mereka pun lebih suka dengan penjelasan melalui ayat-ayat al-Quran.
Walaupun berbeda, sebenarnya hakikatnya sama. Perbedaannya hanya pada penjelasan dalam Al-Quran yang lebih sering menggunakan simbol-simbol, metafor, alias-alias dan cerita-cerita. Dia akhirnya bisa menyimpulkan, bahwasannya kebenaran itu jikalau diomongkan langung tidak enak dan menyakitkan, maka dari itu Nabi menggunakan metode dakwah seperti itu. Agama berbicara kebenaran sesuai kadar manusia. Sedangkan filsafat, hanya untuk orang-orang tertentu yang bisa memahaminya.
Ternyata manusia bisa melihat Tuhan hanya dengan melihat dan mengamaati realitas kehidupan di sekitar. Oleh karena itu, jika orang tidak percaya dengan Tuhan, maka akalnya perlu dipertanyakan. Dengan akal yang sehat, kita akan mampu mengenal Tuhan dan sifat-sifatnya, walaupun kita tidak mengetahui hakekat Tuhan yang sebenarnya.
Jika akal kita tidak sehat, maka berbahaya pula saat memahami kitab suci dan sabda Nabi. (AN)
Wallahu a’lam.