Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW memberi peringatan kepada orang yang benci dengan sunnahnya, yang dalam konteks hadis tersebut adalah pernikahan.
النكاح سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني
“Nikah adalah sunnahku, siapa yang benci dengan sunnahku, maka ia bukan bagian dari (ummat)ku.”
Dari hadis di atas, secara sekilas, kita dilarang untuk tidak menikah, benarkah demikian? Lalu bagaimana dengan orang yang tidak ingin menikah karena memiliki penyakit, misalnya karena takut penyakitnya menular ke istrinya atau takut nanti akan merepotkan istrinya jika sakit parah.
Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan dalam kitab Fathul Bari bahwa yang dimaksud dengan “sunnah” dalam hadis di atas bukanlah sunnah yang merupakan lawan kata dari fardhu, melainkan sunnah yang bermakna jalan (Thariqah) hidup. Ketika kita membenci sesuatu, maka kita akan meninggalkan sesuatu itu dan memilih sesuatu yang lain. Sehingga secara lengkap maksud dari hadis tersebut adalah “siapa yang membenci jalanku dan lebih memilih jalan lain, maka bukan bagian dari umatku.”
Ibn Hajar juga menjelaskan bahwa konteks hadis tersebut adalah Rasul menyindir rahib Nasrani yang mewajibkan tidak menikah demi mengabdi kepada agama. Lalu apa jalan hidup Rasul SAW?
Jalan hidup Rasul adalah hidup sebagaimana manusia biasa namun tetap mengabdi kepada Allah SWT, tetap menikah, tetap mendapatkan keturunan dan lain-lain. Hal ini disebutkan dalam penjelasan Ibnu Hajar al-Asyqalani sebagai berikut:
وطريقة النبي صلى الله عليه وسلم الحنيفية السمحة ، فيفطر ليتقوى على الصوم ، وينام ليتقوى على القيام ، ويتزوج لكسر الشهوة وإعفاف النفس وتكثير النسل .
“Jalan hidup Rasul SAW adalah jalan yang lurus dan murah hati, yaitu berbuka puasa agar kuat melakukan puasa, tidur agar kuat qiyamul lail, menikah untuk memecahkan kesenangan, memperbanyak keturunan.”
Lalu bagaimana dengan konteks orang yang memiliki penyakit? Bolehkah mereka tidak menikah?
Dalam keterangan kitab Asnal Mathalib disebutkan bahwa jika dikhawatirkan pernikahan tersebut membuat penyakit yang diderita menjadi menular, maka justru pernikahan tersebut makruh, sehingga dalam kasus ini boleh saja untuk tidak menikah:
وَكَذَا بِالْبَرَصِ وَالْجُذَامِ غَيْرِ الْحَادِثَيْنِ لِأَنَّهُمْ يُعَيَّرُونَ بِكُلٍّ منها وَلِأَنَّ الْعَيْبَ قد يَتَعَدَّى إلَيْهَا وَإِلَى نَسْلِهَا
Dalam penjelasan Syekh Muhammad bin Darwish al-Hut al-Bairuti di atas memang hanya disebutkan bagi penderita penyakit kusta dan lepra namun ini juga bisa kita qiyaskan dengan penyakit menular lain yang lebih bahaya, misalnya HIV-Aids dan beberapa penyakit menular lain.
Sehingga dalam kasus ini tidak ada kaitannya dengan membenci atau tidak membenci sunnah nabi berupa menikah, melainkan kaitannya dengan kemaslahatan pengantin. Dalam kasus lain juga ada beberapa ulama yang “lupa” menikah karena terlalu fokus dalam mengajar dan menimba ilmu.
Nama-nama ulama ini dijelaskan secara rinci oleh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya al-Ulama al-Uzzab alladzina Yuassiruna al-Ilm ala Zawaj. (AN)
Wallahu a’lam.