Ganja Buat Medis, Siapa Takut?

Ganja Buat Medis, Siapa Takut?

Wakil Presiden KH Maruf Amin merespon gugatan seorang ibu tentang ganja medis untuk pengobatan anaknya.

Ganja Buat Medis, Siapa Takut?
Ilustrasi ganja untuk medis (Freepik)

Ganja bukan hal baru di dunia medis. Penggunaan ganja untuk keperluan medis di Indonesia kembali mengemuka, setelah seorang ibu menyuarakannya di Car Free Day (CFD) beberapa hari lalu. Dikutip dari Kompas.com, Santi, nama ibu tersebut, mengatakan aksinya itu bertujuan untuk memberi pesan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menyidangkan perkara gugatan legalisasi ganja untuk medis.

Perjuangan Santi untuk mendapatkan pengobatan untuk anaknya yang mengindap penyakit lumpuh otak (cerebral palsy), yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal, sering kali sebelum lahir. Hari ini Santi dan keluarga masih berjuang untuk mendapatkan legalisasi penggunaan tersebut.

Beberapa tahun lalu, bangsa kita juga memiliki cerita pilu terkait Ganja untuk penyembuhan. Tahun 2017 lalu, seorang suami harus ditangkap karena kepemilikan ganja, yang dipergunakannya untuk pengobatan sang istri. Fidelis nama sang suami harus menerima hukuman penjara, dan sang istri harus meninggal karena tidak lagi menerima pengobatan dengan ganja tersebut.

Nyawa bukanlah statistik, tentu kita tidak etis memperhitungkan maslahat atau mudarat dari jumlah kehilangan yang dihadirkan zat tersebut. Mungkin saja cerita Santi dan Fidelis ini hanyalah puncak gunung es dari permintaan penggunaan ganja untuk keperluan medis di masyarakat kita. Walaupun, sebagaimana kita ketahui bersama, ganja di Indonesia tergolong terlarang. Jadi, pengajuan ke MK oleh Santi adalah langkah awal.

Langkah Santi menggugat aturan soal ganja di MK bukan hanya tindakan konstitusional, akan tetapi juga aksi yang perlu didukung. Mungkin Fidelis gagal dapatkan keadilan saat kondisinya tidak berpihak kepadanya. Oleh sebab itu, perjuangan Santi tidak boleh menguap begitu saja. Karena kemanusiaan harus menjadi panduan kita menyikapi persoalan ini.

Persoalan penggunaan ganja untuk bukan hal yang mudah. Sebab, tidak saja hukum Negara yang harus dihadapi, namun di saat bersamaan ada hukum agama juga turut berkelindan dalam persoalan ini. Di negara yang disematkan label “bukan-bukan” tentu posisi agama pasti turut mewarnai dinamika penggunaan ganja ini.

Penyakit, Manusia, dan Mikroba

Permasalahan ganja untuk medis jelas bukan hal yang sepele. Penjelasan medis yang dibeberkan oleh ahli kesehatan yang menyebutkan terdapat zat non adiktif bisa membantu pengobatan beberapa penyakit. Kehidupan manusia yang begitu kompleks juga disertai evolusi dari beragam penyakit yang selama ini ada.

Jared Diamond dalam buku Bedil, Kuman, dan Baja: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia menjelaskan, bahwa dalam sejarah umat manusia modern yang menjadi pembunuh utama adalah penyakit yang berevolusi dari penyakit hewan, walaupun perubahan tersebut telah mengubah mikroba tersebut hanya menyerang tubuh manusia. Selain itu, Jared juga menuliskan bahwa penyakit juga turut menjadi kekuatan pembentuk sejarah yang amat menentukan.

Jared menggambarkan bahwa korban meninggal dalam perang dunia II lebih banyak diakibatkan karena mikroba, ketimbang luka karena senjata. Bahkan, menurutnya, sejarah perang seharusnya tidak menampilkan para pemimpin pasukan, karena pemenang perang di masa lalu tidak selalu balatentara dengan jenderal dan senjata terbaik, melainkan seringkali hanyalah siapa yang paling menularkan kuman paling berbahaya kepada musuhnya.

Pandemi, termasuk Covid-19, telah banyak mengajarkan kepada kita bahwa sejarah dapat berubah lewat satu penyakit. New Normal yang selama ini diagungkan bukanlah kenyataan yang sama dengan realitas yang kita jalani sebelumnya. Tapi, dalam ajaran Islam, ada kalimat bijak yang berkata “setiap penyakit ada obatnya, kecuali kematian”.

Alasan perjuangan Santi yang melakukan aksi di CFD dan menggugat di MK bukan sesuatu kecil. Mungkin dia terlihat berjuang untuk kesembuhan anaknya, namun di saat bersamaan kita adalah nilai perjuangan untuk berani belajar, bahwa dalam kesembuhan kita perlu berjuang.

Ganja yang selama ini dimasukkan ke dalam entitas negatif malah memiliki unsur yang disebut dapat menyembuhkan sebagian penyakit, termasuk yang diindap oleh anak Santi. Mungkin penyakit tersebut tidak menjadi pandemi atau menyerang banyak orang di saat yang bersamaan, namun kemanusiaan kita tidak boleh digadaikan jika hanya mempertimbangkan penilaian sepihak saja.

Kedaruratan di Tengah Perkembangan Zaman

Sebagaimana dijelaskan di atas, Agama selalu dijadikan pertimbangan dalam banyak hal di negara ini. Ganja termasuk di dalamnya. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) diminta oleh Wakil Presiden, KH. Ma’ruf Amin, untuk meninjau penggunaan ganja untuk keperluan medis mungkin langkah awal legalisasi yang terukur dari entitas yang masih dianggap illegal.

Legalisasi berupa fatwa positif atas pengunaan ganja untuk keperluan medis tentu dapat memberikan ketenangan bagi siapapun yang menggunakannya. Namun, apakah hal tersebut akan terjadi? Mungkin saja. Sebab, dalam Islam menjaga narasi kemanusiaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari ajarannya.

Jika mengedepankan narasi kemanusiaan, MUI tentu saja dapat mempertimbangkan penggunaan ganja untuk keperluan medis dapat diperbolehkan. Jadi, bukan saja dalil kedaruratan untuk kasus-kasus tertentu, tapi juga dapat menjadi panduan penggunaan ganja di masa depan untuk keperluan medis. Jadi, dalil darurat boleh saja dipakai, namun jangan sampai berhenti di titik tersebut jika ada potensi kebaikan yang lebih luas di sana.

Di titik inilah, kita sebenarnya bisa belajar bahwa Islam turut berkembang demi menjadi bagian dari kemanusiaan. Bahkan, lebih jauh, kita sebagai umat Islam seharusnya mulai sadar bahwa kemajuan akan teknologi tidak melulu soal desakralisasi atau beragam “ancaman” pada ajaran, namun di sana juga terdapat beberapa hal yang dapat menaikkan taraf kehidupan manusia menjadi lebih baik. (AN)

Fatahallahu alaina futuh al-arifin