Cara Agama Lokal Merespon Wabah: Penyakit Tidak Perlu Dibunuh, Cukup Dikembalikan ke Habitatnya

Cara Agama Lokal Merespon Wabah: Penyakit Tidak Perlu Dibunuh, Cukup Dikembalikan ke Habitatnya

Dalam persepsi agama lokal, penyakit dimaknai bukan hanya persoalan biologis semata, tetapi juga terkait dengan aspek spiritual, psikologis, dan sosial tertentu dari si sakit.

Cara Agama Lokal Merespon Wabah: Penyakit Tidak Perlu Dibunuh, Cukup Dikembalikan ke Habitatnya

Sejak pandemik covid-19 menghantam segenap penjuru dunia, ada beberapa kawan yang japri dan bertanya ke saya. “Bang, Amerika dan negara-negara Eropa sudah pada rontok, negara-negara Asia Timur juga bertekuk lutut di hadapan corona. Bagaimana nih dengan agama lokal, teman-teman Balian Dayak dan para Sanro Bugis-Makassar, apakah mereka memiliki konsep yang konkret menghadapi covid-19 ini?”

Saya meresponnya sambil bercanda, “wah, berat melawan corona ini, karena ghaib, para Balian dan Sanro pun sulit menerawangnya”. Namun, saya jadi tergelitik juga dan mulai membuka-buka kembali beberapa buku dan dokumen tentang konsep penyakit dan pengobatan dalam persepsi agama dan komunitas lokal.

Konsep Penyakit Menurut Agama Lokal

Dalam konsepsi medis modern, penyakit seringkali dipahami (hanya) sebagai suatu kondisi biologis yang ditandai dengan kelainan atau disfungsi pada struktur organ-organ tertentu atau seluruh sistem organ tubuh kita. Dalam hal ini, secara umum penyakit disebabkan oleh serangan organisme jahat seperti virus, bakteri, jamur, dan parasit. Selain itu, penyakit juga bisa mengjangkiti manusia melalui makanan yang dikonsumsi, atau dengan menyentuh benda-benda tertentu di sekitar kita. Agar kembali pulih, penyebab penyakit tersebut harus dilawan dan/atau dimatikan.

Sedang dalam persepsi agama/masyarakat lokal, penyakit dimaknai bukan hanya persoalan biologis semata, tetapi juga terkait dengan aspek spiritual, psikologis, dan sosial tertentu dari si sakit. Bahkan, pada umumnya penyakit itu dianggap sebagai persoalan relasi manusia dengan alam sekelilingnya. Bagaimana mereka memperlakukan hutan, laut, sungai, gunung, dan lingkungan sekitarnya. Bahwa penyakit itu datang karena ada di antara kita yang melakukan kejahatan yang menjadikan Dewa-Dewi di Kahyangan murka.

Dalam kaitan ini, tradisi masyarakat Kayan dan sebagian besar komunitas Dayak di Kalimantan, ketika melakukan ritual seringkali memasang rotan setinggi sekitar satu meter di sepanjang tepi sungai dan jalan-jalan setapak menuju kampung dan di depan rumah, dan setiap jarak dua meter digantungkan daun long di rotan-rotan tersebut, sebagai penangkal roh jahat. Pada kedua sisi jalan juga didirikan patung-patung kayu yang terdiri dari patung perempuan dan patung laki-laki yang dilengkapi dengan tombak, parang, dan perisai dari kayu untuk menakut-nakuti roh jahat yang akan menyerang kampung.

“Penyakit itu tidak ada urusan dengan makanan dan apapun yang Anda konsumsi”. Demikian kata Mama Kumala, seorang tabib handal di Kampung Nyerakat, Bontang, satu waktu kepada saya. Kita sakit karena kita sudah tidak pernah lagi memedulikan laut dan para penjaganya. Hutan-hutan kita gunduli, gunung dan bukit kita babat, tanah kita bongkar, demi memuaskan ambisi duniawi kita atas harta dan kekuasaan.

Mengenali dan Mengobati Penyakit

Dalam pandangan agama dan orang-orang lokal, misalnya komunitas Ammatoa Kajang, Bulukumba dan sebagian besar orang-orang kampung di Sulawesi Selatan, meyakini bahwa penyakit itu memiliki “identitas”, spirit, atau dalam terminologi Nurit Bird-David, seorang Professor Antropologi di University of Haifa, Israel, disebut “personhood”. Makanya di dalam Lontara Pabbura (kitab pengobatan) orang-orang Bugis-Makassar, syarat atau tahapan pertama yang harus dilakukan dalam usaha penyembuhan penyakit, adalah “pannessaengngi aseng tongeng-tongenna lasae”. Mengenali dengan baik sejatinya nama dari penyakit tersebut. Mencermati dan memahami dengan baik “personalitas” dan karakter suatu penyakit adalah syarat utama untuk menangani dan menyembuhkannya. Dalam hal ini, biasanya seorang Sanro (dukun) akan melakukan dialog dengan si lasa (penyakit), antara lain seperti ini:

“Pajekkoo asekku, pottanang asemmu lasa … (sebut nama penyakit) …

“Utimpa waliwi tanae, upaoppang kalopai paratiwie, nasaba ekkoni ritu naonroi garri’-gorri’ku … napoadangnga Puakku Marajae …”.

Dialog dalam bentuk syair inilah, yang nantinya menjadi bagian dari mantra untuk dirapalkan, saat menyiapkan ramuan yang akan diusapkan pada orang sakit. Mantra ini biasanya digabungkan dengan unsur-unsur keagamaan (Islam), misalnya:

“Cenrara langi asenna, tanrengenna bulu mabbitarae naonroi, makkalebbong, temmakkalebbang, Abbu Bakkareng Makkateninkko, Ali Makkattuttuiko, Muhammade’ Mulokkai, Muhammade’ mato Mulisui, ahed, ahed, ahed, iyanaro ribicci-biccikangngi …”.

Proses mengenali penyakit dengan cara dialog ini juga dikenal dalam komunitas Kenyah di Kalimatan Timur. Ketika ada yang sakit, maka sang Dukun (Bali Dayung) akan memanggil utusan Dewa Tertinggi (Bungan Malang Paselong Luang) untuk membantu mengenali penyakit yang menimpa seseorang tersebut. Lalu utusan Bungan akan menemui para Dewa pembantu Bungan, untuk menanyakan gerangan perbuatan jahat apa yang telah dibuat oleh si sakit, sehingga Dewa marah dan menghukumnya.

Dalam tradisi komunitas Tunjung-Benuaq di Kalimantan Timur, proses untuk menemu-kenali penyakit ini disebut sebagai senteau. Proses senteau ini bisa dilakukan sehari penuh, atau bahkan sampai tiga hari, tergantung seberapa berat dan parah penyakit tersebut.

Yang menarik dalam tradisi pengobatan masyarakat lokal ini, penyakitnya sendiri tidak “dibunuh” seperti dalam logika medis modern. Tetapi dikembalikan ke asal-muasalnya. Nah, karena penyakit datang sebagai akibat dari perbuatan dzalim kita terhadap alam dan lingkungan. Maka cara mengobatinya adalah dengan mengembalikan penyakit tersebut ke habitatnya, dan memperbaiki hubungan kita dengan alam dan lingkungan, agar kosmologi ini menjadi seimbang. Secara umum, sarana komunitas lokal dalam menjaga keseimbangan alam ini, dengan menjalankan ritual dan upacara-upacara tertentu.

Kaitannya dangan covid-19, beberapa riset menyebut bahwa banyak patogen (bakteri, virus, jamur, parasit, dan mikroorganisme lain penyebab penyakit) yang habitat awalnya di hutan-hutan, mulai berbondong-bondong meninggalkan belantara karena ruang hidupnya telah habis dibuldozer oleh perusahaan-perusahaan rakus yang menggerogoti hutan. Patogen-patogen ini lalu mencari inang baru untuk mempertahankan eksistensi spesies mereka, yang salah satunya adalah manusia.

Nah, kalau kita mau mengikuti cara komunitas lokal dalam merespon wabah, termasuk covid-19 ini, atau paling tidak agar di hari-hari depan kita tidak lagi diserang oleh virus sejenis atau bahkan lebih ganas. Salah satu kiatnya adalah dengan merevisi relasi kita dengan alam dan lingkungan yang selama ini sangat eksploitatif dan menindas. Mulai menata lagi hubungan kita dengan lingkungan secara lebih baik, dan memulihkan ruang-ruang hidup para patogen pembawa penyakit tersebut, dengan tidak membongkar dan membabat lagi rimba raya yang masih tersisa. Semoga!

 

Bahan bacaan

Anton W. Nieuwenhuis, Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994).

Bisri Effendy dan Asman Azis, “Balian Bawe: Keperkasaan Perempuan Mulai Tenggelam”, dalam Jurnal Srinthil: Media Perempuan Multikultural, Edisi 014/2007, diterbitkan oleh Kajian Perempuan Desantara Jakarta.

Korrie Layun Rampan, Upacara: Sebuah Novel (Jakarta: PT. Grasindo, 2007).

Muh. Subair, ”Pakkarawa Pitte Sikalupetta”; Mengobati Orang ’Sakit Keras’ dalam Lontara Pabbura, dimuat di https://blamakassar.co.id/2020/04/01/pakkarawa-pitte-sikalupetta-mengobati-orang-sakit-keras-dalam-lontara-pabbura/?fbclid=IwAR3nONE94m0l1nHevMaW0www2brh4PQcSgf_xxul57pAqjWWpVsBJA2LSzM