Hukum Menshalatkan Jenazah Teroris

Hukum Menshalatkan Jenazah Teroris

Hukum Menshalatkan Jenazah Teroris

Kita semua prihatin atas kejahatan teror yang merenggut korban jiwa akibat gagal memahami nilai-nilai agama. Aksi teror adalah salah satu kejahatan luar biasa. Semoga kejahatan teror belakangan di Indonesia menjadi kejahatan teror yang terakhir.
Pemakaman jenazah Muslim adalah salah satu kewajiban mereka yang masih hidup. Ulama telah menyepakati kewajiban pemakaman jenazah sebagaimana keterangan Ibnu Rusyd berikut ini:

أجمعوا على وجوب الدفن والأصل فيه قوله تعالى: أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتاً أَحْيَاءً وَأَمْوَاتاً وقوله: فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَاباً يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ

Artinya:

“Ulama menyepakati kewajiban pemakaman jenazah. Kewajiban ini didasarkan pada Surat Al-Mursalat ayat 25-25 yang terjemahannya ‘Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati?’ dan Surat Al-Maidah ayat 31 yang terjemahannya, ‘Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi,’” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], halaman 227).

Dari keterangan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pemakaman jenazah Muslim dan Muslimah adalah wajib. Selain itu, pengurusan jenazah mulai dari pemandian, pengafanan, penshalatan, hingga pemakaman adalah kewajiban bagi mereka yang hidup.

Lalu bagaimana dengan pelaku teror yang juga menjadi korban atas kejahatan terornya sendiri? Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menerangkan bahwa selagi jenazah adalah orang yang mengucap syahadat semasa hidupnya, maka mereka yang hidup berkewajiban untuk mengurus jenazahnya meskipun yang bersangkutan melakukan perbuatan jahat dan keji saat hidupnya.

وأجمع  أكثر أهل العلم على إجازة الصلاة على كل من قال لا إله إلا الله. وفي ذلك أثر أنه قال عليه الصلاة والسلام “صلوا على من قال ” لا إله إلا الله ” وسواء كان من أهل كبائر أو من أهل البدع، إلا أن مالكا كره لأهل الفضل الصلاة على أهل البدع، ولم ير أن يصلي الإمام على من قتله حدا. ومن العلماء من لم يجز الصلاة على أهل الكبائر ولا أهل البغي والبدع. وأما كراهية مالك الصلاة على أهل البدع فذلك لمكان الزجر والعقوبة لهم.

Artinya:

“Mayoritas ulama sepakat membolehkan umat Islam untuk menyembahkan jenazah setiap orang yang mengucapkan “Lâ ilâha illallâh” baik jenazah itu pelaku dosa besar maupun ahli bid‘ah. Hanya saja Imam Malik memakruhkan orang-orang terpandang atau terkemuka untuk ikut menyembahyangkan jenazah ahli bid’ah. Tetapi Imam Malik tidak berpendapat perihal pemerintah menyembahyangkan jenazah mereka yang terkena hukuman mati (hudud). Bahkan sebagian ulama tidak memperbolehkan masyarakat menyembahyangkan jenazah pelaku dosa besar, pelaku zina, dan pelaku bid‘ah. Pilihan makruh oleh Imam Malik lebih pada kecaman dan sanksi (sosial) untuk mereka,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], halaman 223).

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa jenazah teroris, koruptor, pelaku zina, pembunuh, pelaku bunuh diri, dan pelaku kejahatan lainnya selagi mengucap syahadat dan tidak mencabut syahadatnya hingga wafat tetap memiliki hak untuk dimandikan, dikafankan, dishalatkan, dan dimakamkan.

Hanya saja, kami menyarankan para pemuka agama dan ustadz-ustadz setempat tidak perlu ikut terlibat dalam rangkaian proses pengurusan jenazah Muslim yang berbuat hina tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk kecaman dan sanksi social atas kejahatannya agar menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup.

Selengkapnya, klik di sini