Suatu hari, penulis berkesempatan melaksanakan shalat Jumat di daerah Tangerang di masa pandemi. Dari beberapa jamaah yang hadir, jarang sekali yang memakai masker, bahkan safnya pun rapat. Penulis merasa asing sendiri karena menggunakan masker dan mematuhi protokol kesehatan.
Selain jamaah yang jarang mematuhi prokes, khatibnya pun cukup provokatif. Di antara poin khutbahnya yang kontroversial adalah mengajak para jamaah untuk tidak mematuhi anjuran prokes. Alasannya cukup menarik. Menurutnya, seluruh prokes mencegah muslim untuk mengamalkan sunnah.
Di antaranya, muslim itu disunnahkan senyum, tetapi masker mencegahnya. Senyum pun tertutup. Sang khatib pun berkata, “Siapa yang mencegah muslim mengamalkan sunnah seperti ini? Siapa lagi kalau bukan Yahudi dan Nasrani.” Duh..
Bahkan setelah shalat Jumat, sang khatib mengajak para jamaah untuk salaman. hemm.
Kita mungkin tidak akan menemukan kata protokol kesehatan dalam Al-Qur’an, hadis maupun ijma’ ulama. Karena istilah ini adalah salah satu hal baru yang belum pernah ada sebelumnya, terutama pada masa nabi maupun sahabat.
Dalam kajian ushul fikih kita mengenal adagium an-Nushūsu mahsūratun wal-waqāiʽ wa al-ahwal al-hayātiyyah dāimatut tajaddud wat tazāyud wat taghayyur (teks-teks agama itu terbatas, sedangkan kondisi manusia senantiasa berkembang dan berubah). Oleh karena itu, walaupun PPKM Darurat ini tidak ada pada masa nabi, bukan berarti kita boleh dengan seenaknya melanggar atau meremehkannya. Hukum sesuatu yang baru seperti ini bisa ditinjau berdasarkan kajian-kajian keagamaan, salah satunya ushul fikih.
Salah satu kajian penting dalam ushul fikih yang bisa kita gunakan untuk meninjau hukum mematuhi protokol kesehatan ini adalah kajian maqashid syariah. Di antara unsur penting dalam maqashid syariah adalah menjaga nyawa (hifdzun nafs). Karena tanpa menjaga nyawa kita tidak akan dapat menjaga agama (hifdz din). Dalam kaedah fikih juga dikenal salah satu kaedah penting, nomor empat dari lima kaedah pokok fikih, yaitu ad-dhararu yuzalu (sesuatu yang berbahaya harus dihilangkan)
Apakah kaedah ini sesuai dengan teks (nash) agama? Pasti. Menjaga hilangnya nyawa seseorang (hifdz nafs) maupun kaedah fikih ad-dhararu yuzalu sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya, “Jangan membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Terjemahan ini diambil dari makna yang disampaikan para ulama: lā tadurru anfusakum wa lā ghairakum.
Dari beberapa penjelasan tersebut, maka agama Islam jelas melarang hal-hal yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Apalagi jika bahaya yang dihasilkan dapat membuat hilangnya nyawa seseorang.
Maka segala tindakan yang dapat menimbulkan semakin masifnya penularan Covid-19 yang pada akhirnya berujung pada hilangnya nyawa banyak orang adalah dilarang. Sedangkan segala tindakan yang dapat mencegah penularan adalah wajib diikuti, termasuk salah satunya adalah mematuhi protokol kesehatan.
Protokol kesehatan ini memang produk baru dan secara zahir tidak ada dalam hadis nabi, namun isinya sangat sesuai dengan ajaran agama, karena berisi tentang pencegahan bahaya yang lebih luas, sebagaimana disebutkan dalam kaedah fikih dan hadis di atas. Oleh karena itu, melihat sebuah kebijakan baru seperti ini, kita perlu melihat isinya, jangan hanya terfokus pada bungkus atau namanya. Dalam kaedah fikih disebutkan:
العِبْرَةُ بِالْجَوْهَرِ لاَ بِالْمَظْهَر
Menilai sesuatu itu berdasarkan isinya, bukan berdasarkan sisi luarnya saja.
Nah, oleh karena itu, pada masa-masa genting saat ini kita perlu mawas diri, jangan sampai tindakan kita justru membahayakan diri kita sendiri, apalagi sampai membahayakan orang terdekat kita, seperti: orang tua kita, saudara kita, tetangga kita, orang-orang yang kita cintai, dan semua orang secara umum.
Kita juga perlu membatasi infodemik yang masuk ke smartphone kita. Jangan sampai informasi-informasi yang menyesatkan terkait Covid-19 masuk ke telfon pintar kita, bahkan kepala kita, dan ujung-ujungnya bikin kita malah tidak smart.
Mari kita doakan saudara-saudara kita yang terpapar Covid-19, semoga Allah segera memberikan kesembuhan. Begitu juga untuk saudara-saudara kita yang meninggal karena Covid-19, semoga Allah menempatkan mereka di tempat yang sebaik-baiknya. Amin.(AN)
Wallahu a’lam.