Pembatalan Haji di Indonesia Menurut Maqashid Syariah

Pembatalan Haji di Indonesia Menurut Maqashid Syariah

Pembatalan Haji di Indonesia Menurut Maqashid Syariah

Dalam ilmu usul fikih ibadah haji masuk dalam kategori wajib yang muaqqot, yaitu hanya dilaksanakan pada waktu tertentu, bulan Dzulhijjah.

Pembatalan haji di Indonesia terjadi dua kali selama pandemi. Pada tahun ini, Kementerian Agama, sebagai otoritas yang berwenang dalam pelaksanaan haji, kembali menunda semetara waktu dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan tersebut merupakan hasil putusan bersama dari pihak kementerian (pemerintah) dan Komisi VIII DPR RI.

Pembatalan yang kedua memicu kontroversi. Menilik dari kajian fikih tata negara, bahwasanya pemerintah atau lembaga terkait harus memberikan sebuah kemaslahatan terhadap rakyatnya. Hal ini mengacu pada kaidah fikih:

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan seorang Imam harus berimplikasi kemaslahatan terhadap rakyatnya”.

Namun yang menjadi tanda tanya dalam bahasan kali ini, apakah alasan pembatalan haji dapat dibenarkan?.

Dilihat dari maqashid al-syari’ah, Islam memiliki tiga komponen di antaranya: kebutuhan dlorury (primer), kebutuhan hajiy (sekunder), dan kebutuhan tahsiny (tersier).  Ibadah haji bagi umat muslim yang mampu merupakan sebuah kebutuhan dlorury, karena menyangkut dengan rukun Islam. Namun hal ini tidak boleh selesai sampai di sini, dalam kebutuhan dlorury masih terdapat lima komponen yang perlu diperhatikan di antaranya adalah: hifd al-diin, hifd al-nafs, hifd al-aql, hifd al-nasl, dan hifd al-maal. Kelima ini saling berkaitan satu dengan yang lain.

Situasi Indonesia yang dilanda pandemi corona dan masih belum bisa terselesaikan, bahkan muncul virus varian baru adalah pertimbangan yang tepat untuk kembali membatalkan pelaksanaan haji. Karena secara maqoshidi jika pemerintah masih memaksakan untuk pemberangkatan jamaah haji makan akan ada pertentangan antara dua komponen yaitu hifd al-diin dan hifd al-nafs.

Menurut Imam al-Suyuti jika ada pertentangan antara  hifd al-diin dan hifd al-nafs, maka yang lebih di prioritaskan adalah hifd al-nafs. Kenapa demikian, karena jika diri kita tidak bisa diselamatkan dari potensi penularan virus, maka hifd al-diin tidak akan bisa terlaksana.

Dengan demikian alasan pembatalan pelaksanaan haji yang menjadi dalil dan argumen keputusan pemerintah adalah berkaitan dengan hilangnya hifd al-diin. Dari itu keputusan tersebut, pemerintah sudah bisa dikatakan memberi sebuah maslahat kepada rakyatnya. Maka jika mengacu pada kaedah tersebut, keputusan seorang imam (pemerintah) yang membawa kemasalahatan yang lebih besar, wajib ditaati oleh rakyat. (AN)