Membandingkan Anggota DPR dan Kelakuan Sepupu Saya di Taman Kanak-anak

Membandingkan Anggota DPR dan Kelakuan Sepupu Saya di Taman Kanak-anak

Membandingkan Anggota DPR dan Kelakuan Sepupu Saya di Taman Kanak-anak
Politik identitas tetap menguasai media sosial kita. Apakah karena kekuasaan? Pict by Toto Prastowo

DPR membuat keputusan seperti anak TK, tentu saja ini bukan kali pertama dapat kritikan seperti itu. Gus Dur salah satunya. Bagaimana keadaan itu tetap kontekstual 

Saya punya sepupu yang sedang menikmati masa-masa indahnya di Taman Kanak-Kanak. Sebagaimana wajarnya anak-anak, ada banyak kejutan dan keajaiban yang dilakukannya. Terlebih jika ia sedang meminta perhatian pada orang-orang yang melihatnya. Jatuh pun dilakukan. Yang penting keberadaannya diakui.

Terkadang saya sebal karena beberapa kelakuannya sulit diterima. Apalagi jika sudah berkumpul dengan teman-temannya. Apa saja bisa diributin. Beberapa kali ia menangis hanya karena rebutan bola. Beberapa kali dengan alasan yang absurd, misalnya kalah permainan. Tapi begitulah anak-anak. Itu bagian dari cara seorang anak menemukan komunitas masa kecilnya.

Di Indonesia, realitas politik mengingatkan saya pada sepupu tadi. Ada banyak kejutan yang membuat kita geleng-geleng kepala. Dari sekian banyak lembaga, yang paling banyak memberi kejutan adalah Dewan Perwakilan Rakyat. 19 tahun silam, lembaga ini disebut oleh Gus Dur seperti laiknya Taman Kanak-Kanak.

Di hadapan Sidang Paripurna DPR, Gus Dur mengatakan, “Keterangan saya tidak begitu dipahami, karena memang enggak jelas bedanya antara DPR dan Taman Kanak-Kanak”. Pernyataan ini mengundang banyak protes dan interupsi.

Namun Gus Dur akhirnya menyesal. Menyesal karena telah menyamakan anak TK dengan orang-orang di DPR. Apa pasalnya? Pada Maman Imanulhaq (2010:180) Gus Dur mengatakan merasa berdosa telah meremehkan anak-anak yang suci, cerdas dan kreatif dengan anggota DPR yang kotor, bodoh, dan kreatif mencari celah untuk dapatkan uang. Sementara anak-anak memiliki masa depan untuk memperbaiki bangsa ini.

Dari sekian banyak kejutan, ada tren yang kerap dilakukan dewan yang terhormat, terutama beberapa tahun terakhir. Entah mengapa DPR (dan pemerintah) kerap membuat langkah yang kontradiktif dengan keinginan rakyat, komponen yang diwakilinya. Kita bisa ungkit bagaimana nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Pungkas) dan Revisi UU KPK.

RUU Pungkas diusulkan oleh jejaring sipil sejak 2016 namun hingga kini masih ngendon. Sementara Revisi UU KPK awalnya ditolak, namun secara ajaib disahkan. Tidak ada perdebatan karena seluruh dewan setuju. RUU yang diusulkan tidak digubris, sementara yang ditolak justru dilaksanakan dengan sepenuh hati dan tenaga.

Baru-baru ini lembaga legislatif itu mengebut pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law. Padahal beberapa hari sebelumnya DPR RI mengagendakan pengetokan palu pada tanggal 8 Oktober 2020. Sementara agenda pembahasan di Sidang Paripurna 6-7 Oktober.

Tentu saja ini mengagetkan. Ada angin apa tiba-tiba DPR mengadakan sidang di akhir pekan? Padahal di rapat paripurna sebelumnya (Februari 2020) banyak sekali kursi kosong melompong. Tapi di akhir pekan ini kok tumben-tumbennya bisa mengebut pembahasan UU yang akan menggantikan 83 UU lainnya.

Organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah sudah tegas menolak pengesahan ini sejak 22 September 2020. Kedua organisasi massa Islam terbesar ini mafhum bahwa menyusun landasan hukum yang terkait hajat hidup orang banyak ini harus benar-benar matang. Di dalam Islam sendiri, sebuah kebijakan benar-benar harus dipertimbangkan tujuan syariatnya.

Ada lima jaminan dasar (maqashid syariah) yang harus dijadikan pertimbangan, mulai menjaga jiwa (hifz an-nafs), agama (hifz ad-din), harta benda (hifz al-maal), kebebasan berpikir (hifz al-‘aql), dan keturunan (hifz an-nasl). Kelimanya harus dibungkus dalam satu kaidah tasharruful imam ‘ala ar-raiyyah manuthun bil maslahah, kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kebaikan rakyat.

Apakah Omnibus Law sudah sesuai dengan prinsip tersebut? Wallahua’lam.

Yang jelas, organisasi keislaman terbesar di negeri muslim terbesar ini menolak dengan lantang. Sementara, jauh-jauh hari aliansi masyarakat sipil juga menolak pembahasan Omnibus Law. Misalnya yang disuarakan di aksi #GejayanMemanggil beberapa waktu silam.

Apa pasal?Omnibus Law ini sangat sugih sentris (Baca: Pro orang kaya saja). Bagi pengusaha, UU tersebut sangat membantunya. Apalagi pengusaha yang enggan memperhatikan kesejahteraan pekerjanya. Tapi tidak mengherankan mengapa UU yang berpihak pada pengusaha ini cepat ‘cair’. Ternyata, 6 dari 10 anggota DPR RI adalah pengusaha!

Tapi kita belum tahu seperti apa isi Omnibus Law yang sudah terlanjur disahkan itu. Sampai tanggal 8 Oktober, ternyata draft final UU yang telah disahkan sejak 5 Oktober belum diunggah di situs resmi DPR dengan alasan masih diperbaiki. Lha, kok? Mengapa draft yang masih diperbaiki sudah diketok palu?

Karenanya, perdebatan soal substansi Omnibus Law tidak relevan. Kita masih jauh dari perdebatan apakah UU ini menjamin kesejahteraan buruh atau menjaga lingkungan. Jauh. Masih sangat jauh. Sebaliknya, kita harus mulai mengingatkan dewan yang terhormat untuk menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Termasuk dalam hal pengesahan sebuah UU yang menyangkut hajat hidup orang banyak, haruslah disusun dengan cermat dan berpihak pada rakyat.

Inilah yang membuat banyak orang kemudian bereaksi keras. Di masa-masa sulit pandemi, rakyat dizalimi berkali-kali. Pertama, soal layanan kesehatan dan penanganan pandemi yang tak kunjung jelas. Kedua, rakyat disentil dengan dilanjutkannya Pilkada 2020 pada Desember mendatang. Ketiga, pemerintah seolah ingin mencoba menguji rakyatnya dengan UU yang sudah lama ditolak.

baca juga: Omnibus law tidak sesuai prinsip Islam

Yang terjadi kemudian rakyat bergejolak. Ia dihadapkan pada dua kemadharatan. Jika keluar rumah dan berkerumun akan berpotensi tertular atau menulari virus. Jika diam saja, maka jangka panjang ada banyak pekerja yang tidak mendapat hak yang pantas. Selain itu, banyak kajian yang menyebut Omnibus Law membuat pemerintah bisa sekenanya menjual hutan dan mengubahnya jadi lahan tambang atau perkebunan berkedok investasi.

Saya sendiri bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pemerintah kita? Sementara ada banyak UU yang diusulkan rakyat tak juga dibahas-bahas. Misalnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diusulkan sejak 2016 ternyata masih ngendon tak disentuh. Lha kenapa giliran penguasa yang mengusulkan, semua jadi siap grak jadi paduan suara yang hanya menyanyikan lagu setuju?

Saya mencoba ber-husnuzonbahwa pemerintah niatnya baik. Namun dalam bernegara niat baik saja tidak cukup. Ada prosedur dan aturan main yang harus dijalankan. Ada etika politik dan batasan-batasan yang membuat penguasa mesti meletakkan kepentingan rakyat di atas segalanya.

Sayangnya posisi masyarakat sangat lemah. Sudah lemah, dicuekin lagi. Parahnya kualitas oposan di negeri ini ibarat patung polisi. Sekali pun berpose menyeprit, ia sama sekali tak memiliki suara. Terlebih dua kontestan Pilpres yang lalu beraliansi, membuat kesan oligarki semakin menjadi-jadi. Oposisi barangkali bisa mendapat banyak suara apabila menguasai jurus kage bunshin no jutsu-nya Naruto.

Salah satu hal yang sangat disoroti adalah ketika Puan Maharani, ketua DPR RI, mematikan mikrofon anggota DPR yang kontra Omnibus Law sedang berargumentasi. Entah mengapa, tayangan video itu begitu mencabik-cabik kepercayaan saya pada wakil yang memperjuangkan nasib 270 juta rakyat. Saya pun memaklumi apabila Gus Dur sangat menyesal pernah menyamakan anggota dewan dengan TK. Karena anak-anak TK tidak pernah menghambat orang lain untuk berbicara.

Saya kemudian ingat sebuah kutipan yang menohok. Tua itu pasti, namun dewasa itu pilihan.