Hukum Mematuhi PPKM Darurat dalam Islam: Wajib

Hukum Mematuhi PPKM Darurat dalam Islam: Wajib

PPKM Darurat dianggap menghalangi syiar Islam karena bertepatan dengan pelaksanaan shalat Idul Adha dan pemotongan qurban.

Hukum Mematuhi PPKM Darurat dalam Islam: Wajib

Seorang ustadz mengaku jengkel karena pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Masyarakat (PPKM) Darurat tanggal 3-20 Juli 2021. Dengan retorikanya yang menarik, ustadz tersebut mengklaim bahwa penerapan kebijakan ini sengaja dilakukan menjelang Idul Adha agar muslim tidak bisa melaksanakan syiar Islam.

Benarkah PPKM Darurat menghalangi syiar Islam? Lalu bagaimana hukum seorang muslim mematuhi PPKM Darurat?

Kita mungkin tidak akan menemukan kata PPKM Darurat dalam Al-Qur’an, hadis maupun ijma’ ulama. Karena PPKM adalah salah satu istilah baru yang belum pernah ada sebelumnya, terutama pada masa nabi maupun sahabat. Dalam kajian ushul fikih kita mengenal adagium an-Nushūsu mahsūratun wal-waqāiʽ wa al-ahwal al-hayātiyyah dāimatut tajaddud wat tazāyud wat taghayyur (teks-teks agama itu terbatas, sedangkan kondisi manusia senantiasa berkembang dan berubah). Oleh karena itu, walaupun PPKM Darurat ini tidak ada pada masa nabi, bukan berarti kita boleh dengan seenaknya melanggar atau meremehkannya. Hukum sesuatu yang baru seperti ini bisa ditinjau berdasarkan kajian-kajian keagamaan, salah satunya ushul fikih.

Salah satu kajian penting dalam ushul fikih yang bisa kita gunakan untuk meninjau hukum PPKM darurat ini adalah kajian maqashid syariah. Di antara unsur penting dalam maqashid syariah adalah menjaga nyawa (hifdzun nafs). Karena tanpa menjaga nyawa kita tidak akan dapat menjaga agama (hifdz din). Dalam kaedah fikih juga dikenal salah satu kaedah penting, nomor empat dari lima kaedah pokok fikih, yaitu ad-dhararu yuzalu (sesuatu yang berbahaya harus dihilangkan)

Apakah kaedah ini sesuai dengan teks (nash) agama? Pasti. Menjaga hilangnya nyawa seseorang (hifdz nafs) maupun kaedah fikih ad-dhararu yuzalu sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Artinya, “Jangan membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Terjemahan ini diambil dari makna yang disampaikan para ulama: lā tadurru anfusakum wa lā ghairakum.

Dari beberapa penjelasan tersebut, maka agama Islam jelas melarang hal-hal yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Apalagi jika bahaya yang dihasilkan dapat membuat hilangnya nyawa seseorang. Maka segala tindakan yang dapat menimbulkan semakin masifnya penularan Covid-19 yang pada akhirnya berujung pada hilangnya nyawa banyak orang adalah dilarang. Sedangkan segala tindakan yang dapat mencegah penularan adalah wajib diikuti, termasuk salah satunya adalah PPKM Darurat.

PPKM Darurat adalah produk pemerintah bukan agama, Benarkah Demikian?

Kebijakan PPKM Darurat memang produk pemerintah, namun isinya sangat sesuai dengan ajaran agama, karena berisi tentang pencegahan bahaya yang lebih luas, sebagaimana disebutkan dalam kaedah fikih dan hadis di atas. Oleh karena itu, melihat sebuah kebijakan baru seperti ini, kita perlu melihat isinya, jangan hanya terfokus pada bungkus atau namanya. Dalam kaedah fikih disebutkan:

العِبْرَةُ بِالْجَوْهَرِ لاَ بِالْمَظْهَر

Menilai sesuatu itu berdasarkan isinya, bukan berdasarkan sisi luarnya saja.

Jika kebijakan pencegahan ini sudah menjadi aturan pemerintah, maka wajib diterapkan dan diikuti oleh muslim. Dalam hal ini kita perlu merujuk pendapat salah satu ulama ushul fikih Indonesia, K.H Afifuddin Muhajir. Menurutnya, jika asal muasal suatu, hukumnya wajib secara syariat, lalu diwajibkan oleh pemerintah, maka hukumnya semakin tambah wajib. Begitu juga dengan sesuatu yang awalnya sunnah maupun mubah, jika diwajibkan oleh pemerintah maka menjadi wajib.

Pencegahan bahaya Covid-19 adalah wajib secara syariat, maka saat diwajibkan oleh pemerintah melalui PPKM, maka semakin wajib diterapkan.

Nah, oleh karena itu, pada masa-masa genting saat ini kita perlu mawas diri, jangan sampai tindakan kita justru membahayakan diri kita sendiri, apalagi sampai membahayakan orang terdekat kita, seperti: orang tua kita, saudara kita, tetangga kita, orang-orang yang kita cintai, dan semua orang secara umum.

Kita juga perlu membatasi infodemik yang masuk ke smartphone kita. Jangan sampai informasi-informasi yang menyesatkan terkait Covid-19 masuk ke telfon pintar kita, bahkan kepala kita, dan ujung-ujungnya bikin kita malah tidak smart.

Mari kita doakan saudara-saudara kita yang terpapar Covid-19, semoga Allah segera memberikan kesembuhan. Begitu juga untuk saudara-saudara kita yang meninggal karena Covid-19, semoga Allah menempatkan mereka di tempat yang sebaik-baiknya. Amin.

Jika masih menemukan ceramah-ceramah ustadz seperti di atas, coba sarankan agar sang ustadz  diminta menginap beberapa hari di Wisma Atlet Kemayoran atau tempat isolasi yang lain, sekaligus menjadi imam shalat Idul Adha. Rata-rata orang yang apatis, percaya dengan teori-teori konspirasi, karena mereka tidak mengalami langsung. Semoga dengan menginap dan berinteraksi langsung mereka menjadi sadar. (AN)

Wallahu a’lam.