Hijrah yang sebenarnya merupakan peristiwa historis, dimaknai sebagai sikap keberagamaan seseorang menjadi muslim yang lebih taat. Sebuah gerakan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai bentuk pertaubatan dalam Islam. Karena mereka para pengamal hijrah sebenarnya tidak sedang berpindah (hajaro) melainkan kembali (taba). Maka istilah yang tepat semestinya bukanlah hijrah melainkan taubat.
Namun kita tidak akan membahas tentang taubat yang dimaksud di media sosial itu. Tulisan ini akan mengajak kita semua untuk belajar kembali kepada Kiai Sholeh Darat, seorang maha guru ulama Nusantara yang ahli di bidang tasawuf. Beliau yang hidup di era kolonialisme dengan cermat mengajarkan tentang apa itu taubat dan bagaimana spirit taubat ditransformasikan ke dalam sebuah bentuk perlawanan terhadap kezaliman pada saat itu.
Dalam terminologi tasawuf, taubat merupakan sebuah tahapan paling awal bagi seorang salik dalam menempuh perjalanannya menuju Tuhannya. Taubat menurut kiai Sholeh Darat seperti bumi bagi amal saleh. Tiada amal yang bisa tumbuh tanpa ada dasar pijakan bumi taubat untuk menanamnya (Sholeh Darat, 1899: 76). Itu kenapa taubat menjadi pilar penting dalam sebuah tahapan spiritual para penempuh laku sufi.
Bagi kiai Sholeh Darat, taubat wajib bagi setiap mukallaf. Karena tiada satupun manusia yang luput dari kemaksiatan baik secara lahir maupun batin. Selanjutnya, beliau menegaskan bahwa bertaubat memiliki syarat. Seseorang dikatakan bertaubat jika telah melaksanakan syarat yang sebanyak empat hal, pertama, menyesali usia yang digunakan untuk melakukan kemaksiatan. Penyesalan ini bukan menyesali atas hilangnya harta yang hilang karena maksiat melainkan takut akan datangnya kemarahan Allah.
Kedua, berhenti dari segala bentuk kemaksiatan. Bukan dosa tertentu saja, melainkan segala jenis dosa yang telah dilakukan. Yang menarik, Kiai Sholeh Darat memberi contoh dengan taubatnya seorang yang menjadi pelayan kezaliman (khodim al-dzulmah), menarik pajak (dari petani dan rakyat kecil) dan pezina. Mereka, termasuk pelayan kezaliman, harus meninggalkan kemaksiatan tersebut karena termasuk dari dosa besar.
Ketiga, menjaga diri di masa yang akan datang dari setiap kemaksiatan, dan keempat, meminta kerelaan orang lain atas setiap hak yang telah kita renggut baik berupa kesalahan maupun harta benda. Karena setiap hutang dalam bentuk maaf maupun harta kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.
Kiai Sholeh Darat memasukkan spirit perlawanan dalam pembahasan maqom taubat. Bahkan di pembahasan syarat kedua taubat, ada semacam gerakan perlawanan yang disampaikan kiai Sholeh Darat terhadap kekuasaan (kolonial) pada saat itu. Kritiknya tidak hanya mengarah kepada para penguasa saja, namu juga kepada orang yang dekat dengan penguasa. Seperti imam penguasa, pengkhotbah dan muadzinnya.
Dalam istilah James Scott, kiai Sholeh Darat termasuk telah melakukan strategi perlawanan kultural. Beliau membicarakan ketidaksepahaman mereka terhadap penindasan penguasa baik secara terang-terangan dalam sebuah karya maupun di internal kelompok mereka, dalam hal ini kelompok muslim. Dengan instrumen “maqom taubat”, kiai Sholeh Darat mencoba melancarkan perlawanan terhadap kezaliman saat itu.
Hal yang menarik dari kiai Sholeh Darat ialah persinggungannya dengan realitas sosial saat ia hidup membuat ajaran-ajaran tasawuf menemukan relevasinya di kehidupan umat saat itu. Hindia Belanda di akhir abad ke-19 adalah wilayah yang sedang dilanda penindasan dan kesengsaraan. Di antara titik tolak kesengsaraan penduduk Hindia Belanda kelahiran sistem tanam paksa yang menimbulkan eksploitasi ekonomi bagi masyarakat.
Petani dipaksa untuk menanam seluas seperlima lahan dari sawah mereka tanaman komersial yang telah ditentukan pemerintah Belanda dan tetap harus membayar pajak tanah. Meskipun kewajiban menanam tanaman komersial hanya seperlima, tetapi pada realitasnya banyak keseluruhan lahan dari petani digunakan untuk kepentingan tanaman komersial. Bahkan para petani tidak memiliki hasil panen yang cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan pangan keluarganya sehinga terjadi bencana kelaparan di beberapa daerah. (George Mc Turan Kahin, 2013:12-13).
Selain itu, kezaliman yang terjadi didukung oleh sebuah birokrasi ciptaan pemerintah kolonial. Para bupati hingga pimpinan di level desa berperan dalam memperlancar agenda kolonialisme. Mereka digaji dan diberi kekuasaan lebih dalam mengontrol dan menarik upeti dari para petani.
Satu di antara sekian keberhasilan para ulama terdahulu kita ialah kecerdasan mereka dalam mengemas ajaran Islam dalam menghadapi problem sosial dan kemanusiaan. Ilmu tasawuf yang difahami dalam dimensi spiritual-individual, di tangan ulama sekaliber kiai Sholeh Darat berubah menjadi kritik sosial-politik atas kezaliman. Para ulama telah meneladankan, saatnya kita sebagai para santri yang melanjutkan.
Wallahu a’lam bi al-showab.