Seperti kita ketahui bahwa haji itu termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana shalat dan zakat. Setiap orang yang sudah bersyahadat dan mampu, wajib melaksanakannya. Perhatikan Firman Allah:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oelh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jiaka ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban, apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa saja yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. “ (QS. 2, Al-Baqarah: 196).
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. 3, Ali Imran; 97).
Dan sabda Rasulullah Saw:
“Islam itu ditegakkan d atas lima dsar: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang hak (patut disembah) kecuali Allah, dan bahwasanya Nabi Muhammad itu utusan Allah; mendirikan shakat lima waktu; membayar zakat; mengerjakan haji ke Baitullah; dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” (Muttafaq ‘alaih).
Dan memang fardlunya sekali dalam seumur hidup.
Memang, wong namanya orang, ya ada yang sudah memenuhi syarat, mampu menunaikan, tapi tak juga segera menunaikan kewajibannya; ada yang sebenarnya belum memenuhi syarat, memaksa-maksakan diri untuk menunaikan; dan ada pula yang sudah menunaikan, merasa belum puas lalu mengulang-ulanginya.
Orang yang berulang-ulang naik haji juga macam-macam motifnya. Ada yang karena hajinya yang pertama tidak sah , sebab tidak memenuhi rukun-rukunnya, lalu mengqhadainya. Ada yang haji keduanya untuk menghajikan kedua orangtuanya; dan ada pula tentu yang merasa kurang puas dengan hajinya yang pertama. Dan kurang puas ini pun bisa berarti macam-macam. Mungkin kurang puas dengan pelaksanaannya sendiri di haji yang pertama, mungkin karena merasa kurangen dengan pengalaman yang pernah dirasakannya pada waktu haji yang lalu; dan mungkin juga semata-mata “kurang puas” dengan ganjarannya sendiri, ingin lebih sempurna dan sempurna lagi.
Memang hadits-hadits Nabi Saw. Tentang fadhilah atau keutamaan haji, cukup banyak diantaranya:
“Rasulullah Saw. bersabda: “Umroh ke umroh itu menghapus dosa antara keduanya; dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya yang setimpal kecuali surge.” (Muttafaq ‘alaih).
Ada lagi hadits yang menyatakan: bahwa haji dan umrah dapat melebur dosa yang terlanjur dilakukan antara haji dan umroh yang satu dnegan yang lain.
“Barangsiapa yang berihram dari masjid Aqsha untuk umrah atau haji, maka diampuni baginya dosa-dosanya yang terdahulu.” (H. R. Ahmad).
Kalau ditanyakan mana yang lebih Afdhal, jika ada dana yang “berlebih”, dipergunakan untuk haji lagi ataukah untuk beramal jariyah bagi kepentingan umum, maka akan mendapatkan jawaban sesuai dnegan sudut pandang yang menjawab. Alias jawabannya bisa dua: afdhal ini atau afdhal itu; karena masing-masing memang didukung dalil-dalil.
Tapi ada satu kaidah fikih yang berbunyi;
“Amal yang mbrentek (manfaatnya atau kebaikannya meluas) lebih afdhal dari amal yang terbatas.”
Karena itu Imam Syafi’I menyatakan: “Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” Logikanya, shalat sunnah manfaatnya (berupa pahala shalat) hanya terbatas bagi si pelaku, sedangkan menuntut ilu manfaatnya (ilmu) meluas tidak hanya terbatas bagi si penuntut ilmu. Dari itu Islam mengecam mereka yang mempunyai ilmu dan tidak mengamal-manfaatkannya.
Menurut saya pribadi, apabila dana yang disebut-sebut tadi dimanfaatkan, dnegan manfaat yang jelas untuk kepentingan—bagikesejahteraan lahir bathin—bersama, jelas lebih afdhal dari pada ditasharufkan untuk kepentingan sendiri.
Namun kita juga harus maklum bahwa seringkali ego kita sebagai manusia begitu dominan mempengharui sikap dan cara berfikir kita, apabila jika untuk itu ia mendapat legitimasi atau sekadar argumentasi. Orang selalu berbicara mengenai pengorbanan, namun acap kali tak tersadari betapa agung pahalanya. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah mereka yang dikuasai ego mereka sedemikian rupa, sehingga bagi mereka pun yang penting mereka sendiri masuk surge, tak peduli saudara dan tetangga mereka dibakar api neraka, sama dengan mereka yang mentolo (tega) kenyang sendiri sementara tetangga dan keluarga mereka kelaparan.
Lho, kok jawaban saya jadi ngelantur begini. Wallaahu A’lam.
Sumber: K. H. A. Musthafa Bisri, Fikih Keseharian Gus Mus, hal. 236-239. Khalista, Surabaya 2013.