Hagia Sophia Menjadi Masjid: Populisme atau Gejala Islamisme Erdogan?

Hagia Sophia Menjadi Masjid: Populisme atau Gejala Islamisme Erdogan?

Keputusan mengubah status Hagia Sophia disinyalir oleh kelompok oposisi sebagai upaya politik Erdoğan untuk memperkuat popularitas, khususnya dari kelompok konservatif Turki.

Hagia Sophia Menjadi Masjid: Populisme atau Gejala Islamisme Erdogan?
Presiden Erdogan telah mencabut status Hagia Sophia sebagai museum. (Photo: Anadolu Agency)

Dunia mengenal Hagia Sophia sebagai ikon kota Istanbul, Turki. Dibangun tahun 532-537 Masehi pada masa Bizantium, dan menjadi tempat ibadah bagi umat Kristen Ortodoks yang difungsikan sebagai gereja selama 900 tahun. Dalam bahasa Turki, Hagia Sophia lebih dikenal dengan sebutan Ayasofya.

Sejarah Hagia Sophia sangat lekat dengan penaklukan Konstantinopel yang dilakukan oleh Sultan Mehmet II—yang lebih dikenal sebagai Fatih, Sang Penakluk—pada Jumat, 29 Mei 1453.

Catatan sejarah menyatakan, bahwa pada hari penaklukan tersebut, Fatih bersama pasukannya melaksanakan shalat Jumat di Hagia Sophia. Peristiwa tersebut menandai beralihnya fungsi Hagia Sophia dari gereja menjadi masjid selama hampir 500 tahun, sebelum akhirnya dikonversi secara resmi sebagai museum komersial oleh pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk melalui majelis menteri pada 1 Februari 1935. Praktis, selama kurun waktu 85 tahun Hagia Sophia berfungsi sebagai museum.

Secara historis kemasyhuran Hagia Sophia tidak hanya milik umat Kristen Ortodoks. Namun juga umat Muslim di seluruh dunia. Dalam lintasan sejarah dunia, Hagia Sophia selalu melampaui fungsinya sebagai simbol keagamaan. Bahkan lembaga UNESCO, menganggap Hagia Sophia sebagai salah satu situs penting dalam peradaban warisan sejarah budaya dunia.

Jumat sore, 10 Juli 2020 menjadi sejarah baru bagi umat muslim di Turki. Melalui keputusan pengadilan Turki (Türkiye Cumhuriyeti Danıştay) Nomor 2020/2595 resmi mengabulkan usulan pengubahan status dan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid.

Hal tersebut kemudian dipertegas melalui ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Recep Tayyib Erdoğan Nomor 2729 yang berisi membatalkan keputusan Dewan Menteri tanggal 24/11/1934 nomor 2/1589 tentang konversi Masjid Hagia Sophia menjadi museum yang berlokasi di Distrik Fatih Provinsi Istanbul. Selanjutnya, otoritas terkait proses ibadah akan dilaksanakan oleh Kementerian Agama Republik Turki. Keputusan ini bisa dicek melalui sumber resmi pemerintah Turki.

Sebenarnya, upaya pengubahan status Hagia Sophia menjadi masjid sudah diperjuangkan sejak tahun 2005. Namun, seringkali mendapatkan kendala. Bahkan, tahun 2018 usulan serupa ditolak oleh Mahkamah Konstitusi Turki.

Erdoğan dianggap sebagai sosok yang mampu membawa Turki menjadi negara yang disegani dalam kancah politik regional dan internasional. Bersama partainya, Adalet ve Kalkınma Parti (AKP-Partai Keadilan dan Pembangunan) Erdoğan mengusung proyek ‘Turki yang Baru’ (Yeni Türkiye) baik dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.

Hal ini dapat dilihat dengan megahnya pembangunan infrastruktur di Turki serta masifnya promosi pariwisata dan geliat perekonomian dalam negeri yang semakin membaik.

Sejak 2002, dominasi Erdoğan dan AKP begitu kuat dalam kontestasi politik Turki. Selama kurun waktu 18 tahun tersebut, kebijakan-kebijakan populisnya selalu mendapatkan sorotan dari lawan-lawan politik, khususnya dari kelompok sekuler.

Keputusan mengubah status Hagia Sophia disinyalir oleh kelompok oposisi sebagai upaya politik Erdoğan untuk memperkuat popularitas, khususnya dari kelompok konservatif Turki. Situasi ini tentu saja dapat dibaca sebagai sebuah persiapan menghadapi pemilihan kepala daerah di Turki yang akan digelar pada 31 Maret 2021 mendatang.

Pertarungan ideologi di Turki antara kelompok sekulerisme dengan konservatif telah berlangsung sangat lama. Ahmet T. Kuru (2009) menjelaskan, bahwa secara umum praktik sekulerisme di dunia terbagi menjadi dua, pertama sekulerisme asertif—berusaha menghadirkan Negara dalam praktik-praktik keagamaan warganya. Kedua, sekulerisme pasif—berusaha mengeliminasi peran Negara dalam dimensi ritual keagamaan.

Turki berada pada poros sekulerisme asertif didukung dengan kebijakan-kebijakan yang selalu memihak dimensi spiritual keagamaan. Salah satunya adalah pengubahan status Hagia Sophia menjadi masjid.

Menurut Kuru (2009: 181) kelompok sekuler—para Kemalist—mendefinisikan instruksi-instruksi agama yang dikeluarkan oleh Negara hanya sebagai sarana untuk melakukan monopoli atas pendidikan Islam.

Bertolak belakang dengan hal tersebut, mayoritas kelompok konservatif Turki selalu merasa puas dengan kebijakan-kebijakan Negara khususnya yang mendukung distribusi nilai-nilai Islam. Misalnya, antusiasme warga Turki dalam peresmian masjid Çamlıca pada 7 Maret 2019. Meskipun mendapatkan protes dan penentangan, kebijakan-kebijakan pro konservatif ini terus mendapatkan respon positif.

Dalam situasi tersebut, tidak mengherankan jika keputusan Erdoğan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid mendapatkan sambutan yang hangat dan rasa senang dari para pendukungnya yang mengucapkan kalimat takbir di depan halaman Hagia Sophia pada Jumat (10/7/2020) sore.

Kebijakan populis Erdoğan mengingatkan fenomena global yang terjadi pada tahun 1980-an, ketika agama muncul kembali ke ranah publik. Sosiolog Spanyol, Jose Casanova menyebut situasi tersebut sebagai ‘deprivatisasi agama’, yakni konsep tentang fakta bahwa agama menolak untuk ditempatkan di posisi marjinal dan privat sebagaimana dikehendaki oleh teori-teori modernitas dan sekularisasi modern (Casanova, 1994: 5).

Lebih lanjut Casanova mencoba membantah doktrin normatif teori sekularisasi yang mengatakan bahwa agar menjadi modern masyarakat harus menjadi sekuler dan untuk itu agama harus ditempatkan di ruang privat yang nonpolitik. Dengan kata lain, Casanova ingin membantah bahwa sekularisasi bukanlah elemen intrinsik dari modernitas, karena masyarakat bisa menjadi modern tanpa harus menjadi sekuler (Munirul Ihwan dalam Hasan et al., 2018).

Konteks pengubahan Hagia Sophia menjadi masjid dapat dibaca sebagai gejala Islamisme. Di kalangan para sarjana Islam politik, Islamisme merupakan umbrella term, istilah yang merujuk pada gejala sosial politik yang kental nuansa ideologis dengan memperlihatkan adanya persinggungan antara agama dan politik sekaligus, menunjukkan nuansa aktivisme baik secara individual maupun kolektif. Tujuannya untuk mendorong terjadinya perubahan secara mendasar terhadap sistem yang berlaku (Noorhaidi Hasan, 2018).

Sebagaimana yang dikutip oleh Noorhaidi, Gilles Kepel dalam karyanya, ‘Jihad: The Trail of Political Islam’ (2002) mendefinisian Islamisme sebagai sebuah pemikiran, wacana, aksi, dan gerakan yang melibatkan sekelompok individu Muslim yang bergerak dengan landasan ideologi yang diyakini bersama (hastily assumed shared ideology). Menurut definisi ini, Islamisme bukanlah gejala keagamaan, tetapi lebih merupakan fenomena sosial-politik yang melibatkan sekelompok individu Muslim yang aktif melakukan gerakan yang didasari ideologi tertentu yang mereka yakini benar (Noorhaidi Hasan, 2018).

Status Hagia Sophia menjadi masjid merupakan keputusan final dan menyisakan kontroversi bagi kelompok sekuler di Turki dan umat Kristen Ortodoks di seluruh dunia. Patut ditunggu kelanjutan dari kebijakan tersebut dan kejutan-kejutan lainnya dalam dinamika sosial politik di bawah panji AKP. Terlebih, pada tanggal 15 Juli 2020 di Hagia Sophia akan dilaksanakan shalat berjamaah sebagai momentum mengingat empat tahun kudeta yang terjadi pada 15 Juli 2016. (AN)