Memahami Fenomena Liburan Bernuansa Religi Warga Urban Muslim

Memahami Fenomena Liburan Bernuansa Religi Warga Urban Muslim

Liburan rupanya tidak hanya menjadi wadah deseminasi Islamisme terselubung, namun juga tidak bisa dilepaskan bagian dari “healing” religi sebagai bagian dari rantai komodifikasi agama.

Memahami Fenomena Liburan Bernuansa Religi Warga Urban Muslim
Masjid Hagia Sophia Istanbul Turki.

Hari ini kita hidup di tengah kehidupan modern yang telah mengubah banyak tradisi dan struktur sosial kita sebelumnya. Di antara perubahan tersebut adalah berkembangnya istilah liburan di masyarakat kita hari ini. Sebelum kehidupan kota nan modern ini mulai menjadi bagian dari hidup kita, kata liburan masih cukup asing.

Liburan tidak dapat dipisahkan dari dua unsur utama dalam kehidupan masyarakat modern, yakni pendidikan dan pekerjaan. Dari dua entitas inilah kita mulai mengenal namanya liburan. Model pendidikan modern memperkenalkan kalender pendidikan berdasarkan waktu, sehingga kita mulai mengenal waktu kosong yang digunakan pasca menempuh pendidikan yang sangat padat tersebut.

Selain itu, pekerjaan kita juga mengenal hal yang sama. Waktu adalah unsur utama dalam kerja kita di banyak bidang. Pekerjaan manusia hari ini sangat dipengaruhi dengan hitung-hitungan waktu yang dihabiskannya dalam pekerjaannya.

Memang, di sisi lain, liburan sering diasosiasikan pada kelas sosial tertentu. Klaim ini sangat dipengaruhi dengan pandangan atas aktivitas liburan pada kebutuhan manusia. Hari ini pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah.

Sebagian besar masyarakat kita telah menjadi bagian dari kehidupan kota yang semakin keras. Liburan tidak lagi sekedar fenomena tersier. Makna di balik kata “libur” sudah mulai bergeser menjadi kebutuhan sekunder, bahkan berubah menjadi primer di sebagian masyarakat kita. Terlebih di tengah kehidupan kota dan himpitan pekerjaan yang semakin keras, liburan seringkali dijadikan solusi paling ampuh, paling tidak sekedar melepas penat atau “melarikan diri” dari kesibukan sehari-hari.

Kata “liburan” semakin lazim di masyarakat kita pasca tekanan pekerjaan dan kehidupan sehari-sehari mulai dianggap sebagai “penyakit.” Sekarang kita mengenal istilah “healing” yang sering sekali merujuk pada liburan. Kalau kehidupan kita tertekan maka “solusi”nya adalah liburan. Di sinilah terjadi pergeseran liburan sebagai kebutuah primer.

Pertanyaannya, bagaimana agama memandang fenomena liburan seperti hari ini?

Saya cukup yakin hari ini agama dan liburan tidak lagi terbatas pada “boleh atau tidak” belaka. Sebagaimana kita ketahui dan alami bersama, agama tidak lagi sekedar kumpulan ajaran dan ritual belaka. Agama telah beririsan dengan beragam hal dari sekuler hingga religius sekaligus.

Agama dan Liburan

Kala membuka Instagram di gawai beberapa hari lalu, saya menjumpai para pelajar dari salah satu sekolah Islam bertaraf internasional mengadakan trip ke Turki. Mereka  dibimbing langsung oleh salah satu pendakwah populer. Sepanjang perjalanan, mereka mengunggah potret dan video secara konstan selama satu minggu di negeri yang dipimpin Presiden Erdogan ini.

Menariknya, dalam situs yang dikunjungi dan kesan yang direkam dalam video dan caption foto yang diunggah di Instagram tersebut memiliki narasi yang serupa, yakni “anak muda dan kebangkitan Islam”.

Program perjalanan wisata yang diikuti sekitar puluhan siswa tersebut seolah sengaja diarahkan pada sejarah rezim Turki Ustmani.

Pendakwah populer yang menjadi Tour Guide dari travel, yang juga dimilikinya, memang mengondisikan perjalanan wisata tersebut pada narasi “kebangkitan Islam” di era Turki Ustmani. Selain narasi ini sangat dikuasai sang pendakwah, kisah “kebangkitan Islam” juga dimaksudkan untuk menyelipkan narasi Islamisme kepada anak-anak muda.

Hari ini, masa libur sekolah, baik secara langsung atau tidak, turut berpengaruh pada wisata religius di sekitar kita. Selain wisata ke Turki bagi pelajar Sekolah Islam Internasional di atas, perjalanan wisata religius dengan beragam model bisa kita jumpai dengan mudah di masyarakat kita. Bentuknya pun sangat beragam, mulai dari paling tradisional hingga paling mahal cum modern sekaligus pun ada.

Dulu kita hanya mengenal istilah “ziarah” untuk mendefinisikan perjalanan dalam frame agama, selain haji atau umrah. Tujuannya pun terbatas pada makam-makam atau situs sejarah Islam lokal atau Nusantara. Jadwal perjalanan sangat ketat dan diikuti oleh kelompok masyarakat yang terbatas, seperti kelompok pengajian, arisan, hingga kelompok ibu-ibu satu wilayah tempat tinggal.

Praktik ziarah dulu sangat dipengaruhi narasi lokalitas. Islam yang beredar luas di Indonesia hari ini memunculkan tradisi ziarah berkembang pesat. Sebab, ziarah merupakan tradisi yang menyambungkan memori, imaji, hingga ajaran agama Islam yang beredar di masyarakat. Jadi, ziarah tetap bertahan dengan identitas lokalitas atau kelompok Islam yang terbatas, seperti tarekat atau Islam lokal.

Perubahan mulai bergeser seiring dengan kemajuan teknologi transportasi dan pendidikan di kalangan Muslim. Masyarakat Muslim tidak lagi sekedar mengunjungi makam ulama atau situs keislaman terkait dengan Islam yang mereka peluk. Akan tetapi, ziarah hari ini tidak lagi sekedar berarti kunjungan ke beberapa situs terkait Islam lokal belaka, namun juga disisipi beragam destinasi wisata lainnya, seperti taman, gunung, atau pantai.

Oleh sebab itu, kala perjalanan wisata yang dilakukan oleh para pelajar Sekolah Islam Internasional di atas juga bukti perubahan di atas. Sebab, kunjungan mereka ke Turki bertepatan dengan musim salju pada sebagian wilayah di sana merupakan pesona tambahan bagi para siswa tersebut.

Antara ziarah dan perjalanan wisata para siswa memang terdapat perbedaan besar di dalamnya, khususnya di level imaji. Sebagaimana disebutkan di atas, bagi sebagian masyarakat Muslim, ziarah seringkali berkelindan dengan sejarah, perjalanan, dan narasi Islam lokal. Maka, biasanya ziarah sangat akrab dengan ritual dan amalan-amalan, seperti tradisi tabur bunga atau kain kuning (jika di masyarakat Banjar).

Sedangkan, di perjalanan wisata ke Turki sangat minim terdapat beragam tradisi atau ritual terkait situs-situs tersebut. Mereka lebih banyak dijejali narasi “Kebangkitan Islam” pada masa pemerintahan Turki Utsmani. Bahkan, narasi tersebut juga menanamkan imaji “Kebangkitan Islam” tersebut pada alam bawah sadar mereka, bahkan hingga menuntut keterlibatan aktif mereka.

Perjalanan wisata yang diselipkan narasi Islamisme sebenarnya memperkuat apa yang disebut oleh Dominik Müller, antropolog asal Jerman, dengan “Pop-Islamisme.” Istilah ini merujuk pendapat Müller terkait gerakan Islamisme di kalangan anak muda yang memakai budaya pop, untuk mendesiminasi paham dan ideologi tersebut.

Kita dan Pop-Islamisme

Kajian Müller terkait Pop-Islamisme berawal dari ketidaksetujuannya atas wacana Post-Islamisme yang digagas oleh Asep Bayat, akademisi asal Iran. Bayat menegaskan wacana tersebut ketika mengamati perkembangan wacana keislaman di masyarakat Iran, di mana kala itu mulai mengalami “ketidakpercayaan” atau “kebangkrutan” pada wacana Islamisme yang selama ini berkembang di kehidupan mereka.

Dalam pandangan Bayat, masyarakat Muslim hari ini mulai kehilangan atau terkikis ideologi Islamisme mereka karena telah bersentuhan dengan budaya pop. Müller tidak sepakat dengan Bayat dan Nilufer Gole yang menyebut bahwa Islamisme telah mengalami perubahan dengan kedatangan Post-Islamisme atau Gelombang Kedua Islamisme.

Menurut Mueller, seruan baru untuk mendirikan negara Islam semakin banyak diekspresikan melalui jalur-jalur komunikasi dan Islam konsumerisme modern, seperti YouTube, Facebook, iklan selebriti, dan musik pop. Hew Wei Weng, akademisi asal Malaysia, menyebut kondisi ini dengan mengajukan istilah “Islamisme cair.”

Istilah yang dikemukakan oleh Weng merujuk pada kondisi masyarakat Muslim dalam mengeksplorasi hubungan ambivalen antara konsumsi dan politik Islam, khususnya di komunitas menengah Muslim perkotaan. Di komunitas ini, menurut Weng, ide dan praktik Islamisme tidak hanya dipaksakan dan dipromosikan, tetapi juga dinegosiasikan dan diperebutkan di ruang-ruang sekuler. Liburan para siswa di atas adalah bukti sahihnya.

Liburan tidak hanya bisa menjadi wadah deseminasi Islamisme terselubung, namun juga tidak bisa dilepaskan bagian dari “healing” yang Islami sebagai bagian dari rantai komodifikasi agama. Saya sepakat dengan gambaran masyarakat muslim hari ini milik Ariel Heryanto, dengan yang “tidak anti-Islam, bukan non-Islami, dan di saat bersamaan bukan sekuler.”

Kehidupan sekuler yang akrab dengan transaksi kapitalisme, masyarakat dalam Pop-Islamisme dipercaya masih memiliki mimpi dan wacana Islam politik atau pendirian Negara Islam. Pop-Islamisme hari ini membuktikan kegagalan dari budaya pop dan gelombang gaya hidup kelas menengah, dalam mengubah dari agenda-agenda Islamisme di masyarakat Muslim, khususnya di kalangan anak muda dan masyarakat Muslim perkotaan.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin