Ulil Abshar Abdallah atau yang biasa dikenal Gus Ulil berkesempatan menjadi salah satu pembicara dalam forum Religion Twenty (R20) yang digelar di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali. Pada hari kedua acara tersebut, Ketua Laspedam PBNU ini menyampaikan materinya tentang latar belakang diadakannya forum R20 yang digagas PBNU bersama Liga Muslim Dunia.
Dikutip dari NU Online, Gus Ulil mengawali presentasinya dengan bercerita tentang Gus Dur yang pernah memiliki gagasan dialog lintas agama. Gagasan tersebut telah diwacanakan oleh Gus Dur sejak tahun 1970-an. Menurut Gus Ulil, waktu Gus Dur masih muda pernah mendapat undangan untuk mengisi kuliah tentang keisalaman di dalam sebuah Seminari Kristen di Malang, Jawa Timur.
Kejadian ini menimbulkan kontroversi dari kalangan para ulama tradisional Indonesia. Pasalnya pada saat itu mereka belum mengenal dialog antar agama. Namun Gus Dur terus saja menyuarakan gagasan tersebut. Setelah menjadi Ketua Umum PBNU lalu Presiden Indonesia, ia pun telah mengadakanberbagai dialog lintas agama.
Maka dari itu, R20 yang diinisiasi oleh Gus Yahya Cholil Staquf ini menjadi sebuah revolusi lanjutan yang pernah terjadi sejak 1970-an sampai hari ini tahun 2022. NU ingin sekali menyatukan semua pemuka agama yang memiliki tradisi berbeda-beda untuk duduk di tanah Dewata ini, dalam rangka melanjutkan gagasan pemikiran Gus Dur tentang dialog lintas agama untuk mengatasi setiap tantangan global.
Sosok Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari gagasan keagamaannya. Bagi Gus Dur, nilai terpenting dari sebuah agama adalah pemaknaan terhadap cara manusia bisa menempatkan dirinya di dunia untuk mengatur tujuan hidup, termasuk bersikap toleran guna mencapai keharmonisan sosial. Bagi umat muslim, toleransi sendiri berpusat pada nilai kemanusiaan. Sehingga umat muslim tidak seharusnya takut suasana plural, melainkan harus merespon secara positif segala bentuk perbedaan.
Menurut Gus Dur nilai kemanusiaan selalu menjadi pedoman kuat serta utama dalam memecahkan segala permasalahan, termasuk dalam bidang keagamaan. Beliau memiliki keyakinan bahwa agama apapun selalu meletakkan nilai kemanusiaan sebagai pondasi kuat dalam membangun hubungan dialogis yang kondusif dalam suasana pluralis. Mengutamakan nilai kemanusian, bagi Gus Dur, tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang melawan logika ajaran agama. Sebab nilai kemanusiaan (humanisme) sendiri adalah inti dari ajaran setiap agama di muka bumi.
Gus Dur juga menjadi salah seorang tokoh muslim yang sangat tidak setuju dengan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama. Seperti sikapnya yang menolak pelibatan agama di dalam kasus berdarah di Ambon serta Situbondo. Ia juga tidak setuju dengan pendirian laskar-laskar agama untuk menyelesaikan konflik tersebut. Secara tegas Gus Dur mengatakan, perjuangan hak asasi manusia, demokrasi, dan kedaulatan hukum adalah perjuangan yang universal, sehingga bukan hanya menjadi hak atau klaim satu-satunya agama.
Dalam salah satu tulisannya, Gus Dur pernah menjelaskan, “Tidak perlu ada kekhawatiran bahwa dengan kesediaan meninggalkan formalitas tersebut Islam akan larut dan kalah. Karena meskipun nilai-nilai keadilan, persamaan, dan demokrasi sebenarnya bukan hanya milik Islam. Melainkan juga milik kemanusiaan. Namun wawasan, lingkup, watak, dan tujuannya tetap berbeda.” (Muhammad Rifai, “Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940-2009”, Penerbit Garasi, 2014, Yogyakarta.)
Gus Dur tidak hanya pemberi gagasan semata tentang Islam yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, yaitu dengan cara menghormati ajaran dan keyakinan orang lain. Melainkan juga bertindak nyata dengan melakukan dialog antar iman, antar umat beragama di Indonesia, untuk ikut bersama-sama memikirkan kondisi bangsa dan bersama-sama pula dalam mencari jalan keluar atas setiap permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Semua itu tidak lain untuk membangun peradaban yang lebih maju di negeri Indonesia tercinta. (AN)