GUS Muslih adalah seorang kiai muda yang tidak hanya cerdas dan kritis, tapi juga tegas dan lugas. Apabila melihat sesuatu yang dianggap tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan menyalahkan. Ungkapan yang paling disukai ialah qulilhaqqa walau kaana murran, katakanlah yang benar meski terasa pahit.
Anak-anak muda paling suka mengundang Gus Muslih untuk memberikan ceramah. Bagi anak-anak muda itu, Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di daerah kami yang dihujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya kebiasaan keluarga yang mendapat musibah kematian, memberi makan kepada para tamu yang bertakziah dan memberikan uang salawat kepada kiai atau modin, dia tentang habis-habisan.
“Ya kalau keluarga yang tertimpa musibah itu keluarga yang berada, tak masalah,” katanya dalam sebuah ceramahnya.
“Kalau keluarga itu miskin? Apakah hal itu tidak menambah musibah?”
Terhadap sikapnya itu ada yang setuju, seperti umumnya anak-anak muda; ada juga yang tidak. Mereka yang tidak setuju umumnya dari golongan tua. Golongan tua yang tidak setuju menganggapnya terlalu kemajon, sok maju.
“Wong itu sudah merupakan tradisi sejak lama kok diuthik-uthik!” begitu kilah mereka,
“Itu namanya tidak menghormati orang-orang tua yang mula-mula mentradisikan.”
Untuk itu Gus Muslih punya jawaban yang cukup telak.
“Tradisi yang baik memang perlu kita lestarikan, tapi yang buruk apa harus kitalestarikan? Kalau begitu apa bedanya kita dari kaum jahiliah yang dulu mengecam Nabi kita yang mereka anggap merusak tradisi yang sudah lama dijalankan nenek-moyang mereka?”
Kelompok tua yang tidak menyetujui Gus Muslih memang serbasalah menghadapi. Soalnya Gus Muslih memang tidak seperti sementara ustad muda lain yang asal membasmi tradisi; yang mengecam selamatan dan tahlilan, misalnya. Gus Muslih selamatan mau, tahlilan juga mau. Bahkan dia mau memimpin anak-anak muda ziarah ke makam-makam Wali Songo.
Yang lebih membikin jengkel kelompok orang tua yang tidak menyetujui itu, justru karena kiai muda ini selalu bisa menjawab keberatan mereka dengan argumentasi yang mematikan; baik menggunakan dalil naqli atau aqli.
Pernah ada seorang tokoh tua yang memberi pengajian, isinya lebih mirip kampanye politik ketimbang ceramah agama. Tokoh itu dalam rangka menggiring jamaah untuk mendukung partainya, selalu menggunakan dalil-dalil ayat Alquran dan hadis Nabi segala.
Gus Muslih dalam forum pengajian lain pun mengkritik dengan mengatakan, “Adalah terlalu berani membawa ayat-ayat dan sunnah Rasul SAW untuk kepentingan politik praktis. Itu pelecehan dan sekaligus membuat umat bingung. Lihatlah, tokoh partai ini menggunakan ayat dan hadis untuk mendukung partainya, lalu kiai partai lain juga berbuat sama untuk mendukung partainya, apa ini tidak membingungkan masyarakat?
Bila kemudian, karena menggunakan firman Allah dan sabda Rasul-Nya, masyarakat awam meyakini sebagai kebenaran mutlak, apa tidak terjadi sikap mutlak-mutlakan antar pendukung partai?
Bila tidak mengerti politik, mbok sudah rela saja tidak usah berpolitik; dari pada membawa-bawa agama. Apakah tokoh-tokoh yang suka membawa-bawa ayat dan hadist untuk kepentingan politik itu tidak memikirkan akibatnya di dunia atau di akhirat kelak?
Bagaimana kalau tiap-tiap pendukung yang awam itu meyakini bahwa mendukung partai sama dengan mendukung agama dan memperjuangkan partai sama dengan jihad fi sabilillah?”
Akhirnya kelompok orang-orang tua yang marah itu, tidak lagi mau berdialog dengan Gus Muslih dan orang-orang yang mereka anggap pendukungnya, baik langsung atau tidak. Mereka beralih kepada gerakan membentengi diri. Setiap kali mereka mengadakan pertemuan antar mereka yang anti atau tidak sejalan dengan sikap Gus Muslih dan menganjurkan jamaah mereka sendiri untuk tidak usah mendengarkan ceramah atau omongan kiai muda yang mereka anggap mursal itu. Mereka mengatakan kepada para pengikut mereka, mendengarkan bicara Gus Muslih bisa membahayakan akidah.
Sampai suatu ketika tersebar berita bahwa Gus Muslih memelihara anjing. Tentu saja hal itu membuat geger masyarakat. Kaum muda pendukung Gus Muslih serta merta menolak berita itu dan menganggap hanya sebagai fitnah keji dari mereka yang tidak suka dengan amar makruf nahi mungkar dia yang tegas.
Sementara kelompok tua yang sedari awal tidak menyukai Gus Muslih, langsung menggunakan berita itu untuk menghantam di setiap kesempatan.
“Lihatlah itu, tokoh yang kalian anggap kiai dan pembaru itu! Dia bukan saja menyeleweng dari ajaran orang-orang tua bahkan telah berani melanggar adat keluarganya. Kalian kan tahu malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang memelihara anjing. Sekarang ketahuan belangnya.”
Karena cemburu kepada Gus Muslih, anak-anak muda pendukungnya pun tidak rela dan berusaha mencari sumber dari mana berasal berita bahwa Gus mereka memelihara anjing itu. Niat mereka akan memberi pelajaran kepada orang yang mula-mula menyebarkan berita menyakitkan itu.
Ada informasi yang mengatakan bahwa seseorang dari kota P-lah yang mula-mula bercerita tentang hal itu. Namun sebelum mereka bertemu dengan orang yang mereka cari, mereka melihat Gus Muslih sedang bersembahyang di masjid. Mereka menunggu hingga Gus Muslih selesai bersembahyang dan berzikir seperti biasanya.
Setelah Gus Muslih beranjak menuju serambi masjid, baru mereka menghambur menghampiri idola mereka itu.
“Aku tahu, kalian pasti ingin tahu kebenaran dariberita tentang anjing kan?” tebak Gus Muslih sambil tersenyum penuh arti.
“Ayo, marilah kita duduk-duduk sebentar.” Semua pun duduk mengelilingi Gus Muslih.
“Ya, Gus,” kata salah seorang yang mengambil
tempat duduk persis di depan Gus Muslih, “kami panas sekali mendengarnya. Kami malah berniat mengadakan pengajian khusus dan mengundang Gus agar bisa menjelaskan kepada masyarakat untuk membantah isu yangberedar itu.”
“Mengapa harus dibantah?” tanya Gus Muslih kalem, membuat semua yang merubungnya jengah.
“Aku sekarang memang sedang memelihara anjing.”
“Hah!” hampir serempak semua mengeluarkan desahan kaget.
“Mengapa kalian begitu kaget?” kata Gus Muslih masih dengan nada kalem.
Kemudian Gus Muslih pun bercerita kepada jamaah anak muda, pengagumnya itu.
“Malam itu aku pulang dari mendatangi undangan panitia untuk berceramah halalbihalal di kota P. Aku diantar oleh salah seorang panitia dengan mobil kijang baru. Waktu itu malam sepi dan hujan rintik-rintik. Hanya sesekali terdengar petasan Lebaran di sana-sini.
Padahal katanya sudah dilarang, malam-malam selarut itu kok ya masih ada yang bermain petasan. “Ketika kami sedang melintasi jalan raya yang menuju ke kota kita ini, aku melihat sosok makhluk kecil bergerak-gerak di tengah jalan.
Langsung saya berteriak, ‘Brenti, Mas!” “Mobil pun berhenti.
Aku turun menghampiri makhluk kecil yang menggelepar-gelepar.
Ternyata masya Allah, kulihat seekor anak anjing yang tampak kesakitan, mengeluarkan suara keluhan menyayat. Badannya basah kuyup dan kakinya berlumuran darah. Tanpa pikir panjang aku gendong anak anjing itu kubawa naik mobil.
Melihat aku masuk mobil membawa anak anjing, tiba-tiba kulihat orang yang punya mobil seperti melihat hantu.
‘Lo, Pak!’ teriaknya kaget setengahmati ‘Najis lo, Pak!”‘
“Aku bilang, ini lihat; kasihan kakinya luka parah; mungkin ada mobil yang menerjangnya lalu kabur.
‘Ya tapi itu najis Pak,’ ulangnya jijik sambil matanya terus memelototi anak anjing yang kupeluk. Aku menduga dia takut anjing atau darahnya akan mengotorimobil kijangnya yang baru. Maka aku mencopot jasku dan membungkus anak anjing yang terus bergeletar dalam pangkuanku, kedinginan campur kesakitan. Mata pengantarku masih saja terus berganti-ganti mengawasiku dan anjing yang kupangku dengan wajah tak percaya. Dia tidak segera menjalankan mobilnya kembali. Tiba-tiba aku menjadi sebal.
‘Sudah,’ begini saja, kataku kemudian, ‘biar aku turun di sini saja. Silakan Anda kembali dan sampaikan terima kasihku kepada kawan-kawan panitia.”
“Berkata begitu aku pun membuka pintu dan meloncat turun sambil memeluk si anjing kecil. Tak lama si pengantar men-starter mobilnya dan berbalik pulang.
Sejenak aku dilanda kemurungan sangat. Bukan karena aku ditinggalkan di tengah jalan di malam gerimis; tapi karena aku teringat ceramah halalbihalal di kota P tadi.
“Baru beberapa jam lalu aku berbicara kepada saudara-saudaraku di sana tentang hikmah Syawal. Bulan kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh di bulan suci Ramadan. Kukatakan, antara lain kemarin pada Ramadan kita telah dapat menaklukkan setan; menaklukkan nafsu kebinatangan kita; dan kini menjadi fitri kembali. Menjadi manusia yang dimuliakan Tuhan melebihi makhluk-makhluk-Nya yang lain. Makhluk berbudi yang memiliki tidak hanya akal tapi juga hati nurani. Makhluk yang diangkat menjadi kalifah-Nya untuk menebar kasih sayang di bumi.”
Ketika sejenak Gus Muslih berhenti, tak ada seorang pun dari mereka yang asyik mendengarkan mengeluarkan sepatah kata. Mereka semua terpaku diam seperti kena sihir.
Maka Gus Muslih pun melanjutkan.
“Aku sedih ternyata Ramadan masih belum sebenarnya berpengaruh hingga ke sanubari kaum muslimin. Banyak yang seperti merayakan kemenangan kosong. Setiap saat, khususnya pada Ramadan kemarin, mereka selalu membaca basmalah, Bismillahirrahmanirrahim, menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; namun bukan saja tidak tertulari kasih sayang-Nya, malahan banyak yang masih memelihara kebencian setan. Mestinya Syawal ini, mereka menjadi segar kembali sebagai manusia seperti pemimpin agung mereka Nabi Muhammad Saw yang selalu mencontohkan kasih-sayang kepada sekalian alam.”
Gus Muslih berhenti lagi sejenak, menarik napas panjang, kemudian seperti teringat sesuatu, meneruskan bicaranya,
“Alhamdulillah, setelah aku rawat beberapa hari, anak anjing itu sembuh dan sehat. Beberapa hari kemudian Babah Ong, tetanggaku memintanya dan aku berikan dengan pesan agar dia merawatnya dengan baik.”
“Alhamdulillah!” gumam anak-anak muda yang dari tadi setia mendengarkan. Entah gumam syukur itu mensyukuri kesembuhan si anjing ataukah karena kiai idolanya itu kini sudah tidak lagi memelihara anjing seperti digegerkan orang.
**
Sumber: A. Musthafa Bisri, Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi, Kompas.