Shalat Khusyuk menjadi hal yang diidam-idamkan oleh umat Muslim. Pasalnya, shalat khusyuk merupakan sebuah keutamaan yang dianggap sebagai tanda keutamaan dalam beribadah. Akan tetapi bagi para buruh atau pekerja, mendapat waktu shalat saja sulit bukan main. Apa lagi bisa meraih keutamaan shalat khusyuk.
Dalam sebuah pengajiannya di Korea Selatan, Gus Baha mendapati sebuah pertanyaan dari seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di negeri ginseng tersebut. TKI itu mengeluhkan sulitnya mendapatkan waktu shalat, sampai-sampai ia shalat dengan cara mencuri waktu izin ke toilet. Tidak hanya itu, shalat pun dilaksanakan di ruangan toilet sebab tidak ada tempat khusus untuk shalat. Dengan demikian, shalat pun menjadi tidak khusyuk.
Gus Baha lantas memberi penjelasan terkait shalat khusyuk sebagai berikut:
“Jadi teman-teman di Korea ini sudah mencari uang, jauh di negara yang tidak beragama.” Gus Baha membuka penjelasannya.
“Jadi kamu tidak usah membayangkan shalat khusyuk seperti ulama-ulama terdahulu yang shalat khusyuk, lama, sampai lupa waktu. Bisa di-PHK kamu. Sementara kamu bukan ulama, bukan pula seorang mursyid.”
Jadi khusyuk itu berakar dari kata bahasa Arab khasya’a-yakhsya’u yang artinya takut: takut kepada Allah, takut meninggalkan perintah Allah. Dan bagi Gus Baha, keadaan hati yang tergerak untuk shalat sendiri saja itu sudah bentuk khusyuk.
“Menurut saya itu sudah bentuk khusyuk, karena yang mendorong itu adalah ketakutan kita terhadap hukum Allah.”
Gus Baha menambahkan, bahwa perasaan takut shalat lama, itu juga merupakan bentuk khusyuk. Begini cara berpikirnya: kalau seseorang shalat lama, sampai melampaui waktu yang diizinkan saat kerja, kemudian karena shalat lama itu mendapatkan teguran, sampai di-PHK. Ketika nanti pulang ke istri atau keluarga, nanti aka nada yang bilang, “salahnya shalat segala!”. Yang ditakutkan adalah, bahwa nanti shalatnya dianggap jadi sumber masalah. Gus Baha berpesan, jangan sampai agama ini menjadi kambing hitam.
Selamatkan shalat anda, dan jangan sampai anda di-PHK karena melakukan shalat. Nanti shalat jadi momok. Wah, gara-gara shalat dia di-PHK. Maka ketika seseorang shalat dalam waktu yang pas, itu sudah bagus. Shalatnya tetap sah, sehingga shalatnya tidak jadi momok pekerjaan.
Gus Baha kemudian mengisahkan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Ketika ada petani yang shalatnya lama, justru ditegur oleh Rasul. Kisah ini adalah kisah yang masyhur pada zaman Nabi.
Suatu ketika, ada seorang badui petani yang menjadi buruh penggembala unta. Si badui ini shalat berjamaah dan makmum kepada sahabat Muadz bin Jabbal. Saat itu, sahabat Muadz bin Jabal membaca surat al-Baqarah. Lama sekali.
Si badui yang mendapati sang imam membaca surat panjang, bergumam dalam hati. Ini kalau saya ikut imam ini, bisa-bisa saya dipecat sama majikan. Kemudian si badui ini mufaraqah (memisahkan diri dari jaamaah shalat). Kemudian membaca surat al-Ikhlas yang lebih pendek, sampai shalatnya selesai.
Begitu selesai shalat jamaah, sahabat Muadz yang tadi menjadi imam kemudian tersinggung: itu makmum tadi orang munafik. Di tengah shalat berjamaah kok malah lari?!
Singkat cerita, dua orang ini mengadu kepada Rasulullah. Sahabat Muadz bin Jabal mengadu kepada Rasulullah karena si makmum ini lari memisahkan diri dari shalat, sementara si badui ini mengadukan sahabat Muadz kepada Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, Muadz ini tidak benar! Kami sibuk, dia main baca surat al-Baqarah!”
Namun kemudian ternyata Rasulullah justru menyalahkan apa yang dilakukan oleh sahabat Muadz bin Jabal. Rasulullah tidak menyalahkan si badui yang makmum, justru menyalahkan sang imam yang membaca surat al-Baqarah.
Kamu jangan begitu, wahai Muadz! Nanti orang-orang akan jadi Munaffirin (orang yang lari), orang yang jera kepada shalat karena shalatnya jadi problem. Demikian kisah Gus Baha.
Dari persoalan ini, dapat kita simpulkan bahwa dalam beribadah juga perlu proporsional, dan tetap menunaikan shalat meski di tengah keterbatasan. Bukan berarti kualitas shalat menjadi turun karena shalat tidak khusyuk. Namun, yang menjadi berarti adalah usaha dan hati yang selalu mendorong untuk beribadah, meski di tengah keterbatasan.
“Jadi, nanti saja kamu shalat khusyuk ketika sudah tua, pulang ke Indonesia, dan tidak ada yang mem-PHK!” Demikian pungkas Gus Baha.