Membicarakan Islam publik tak lepas dari kebangkitan Islam di Indonesia yang secara masif berkembang pasca reformasi 1998. Hal ini ditandai dengan munculnya partai politik yang menjadikan Islam sebagai legitimasi dan perangkat untuk meraih simpati publik.
Islam yang tampil secara publik ini terus berkembang dan melahirkan fragmentasi otoritas keagamaan baru yang membuka akses untuk banyak orang dalam mencari sumber pengetahuan agama tanpa harus memikirkan sumbernya (atau meminjam istilah Kailani dan Sunarwoto, di sini terjadi demokratisasi pengetahuan agama).
Jika dihubungkan dengan konteks media sosial hari ini, muncul istilah yang dikenal generasi millenial sebagai “selebgram” atau dalam istilah akademiknya disebut microselebrity. Microcelebrity memiliki peran penting dalam perkembangan wacana Islam publik di Indonesia. Microcelebrity adalah subjek yang menggunakan gambar, video, ataupun blog untuk menampilkan dirinya sebagai paket bermerek (branded packages) kepada para pengguna media (Senft, 2012).
Selain mampu mencuri perhatian masyarakat digital, microcelebrity juga dapat merangkap peran sebagai spiritual advisor, di mana mereka memiliki peluang untuk menampilkan “Islam publik” nya masing-masing (Lewis dan Annelies Moors, 2013). Hal tersebut mereka aplikasikan dengan menampilkan spiritualitasnya melalui beragam unggahan foto, video, maupun kutipan pendek (caption) yang mampu menarik pengguna media sosial untuk terus mengikuti bahkan mengadopsi segala praktek kehidupan religius yang ditampilkannya. Microcelebrity ini kemudian berpeluang besar melahirkan lumpen-intelligentsia atau intelektual baru (Roy, 1994).
Dalam diskursus agama, lumpen-intelligentsia dikenal sebagai aktor-aktor agama baru yang mampu menguasai teknologi namun minim latar belakang pendidikan agama. Namun dalam hal ini, otoritas agama tradisional ternyata juga berpeluang memiliki kemampuan microcelebrity. Yaitu mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang kompeten dan mampu beradaptasi serta berkontestasi dengan media baru. Hal ini sebagaimana yang diulas oleh Kailani dan Sunarwoto dalam Televangelisme Islam dalam Lanskap Otoritas Keagamaan Baru.
Dalam konteks Islam publik di Indonesia, microcelebrity kebanyakan dikuasai oleh generasi muslim milenial dengan beragam ideologi Islam yang dianutnya. Mereka mampu menjadi media publik yang dapat menyelesaikan permasalahan keagamaan (atau meminjam istilah Nancy K dan Danah, socially mediated publicness). Namun mereka sangat rentan menyisipi kepopularitasan yang dimilikinya dengan bumbu-bumbu politik. Sehingga kini media sosial bukan lagi sekedar dunia maya yang berperan sebagai alat komunikasi satu sama lain, akan tetapi ia telah menjadi pusat kontestasi kekuasaan.
Melihat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, tak bisa dielakkan jika para otoritas Islam mengambil peran untuk berkontestasi dalam ruang publik. Banyak sekali aktor-aktor agama baru maupun tradisional yang menggunakan kemampuan microcelebrity dalam menyebarkan dakwahnya kepada masyarakat. Para microcelebrity yang mampu menampilkan agama secara publik ini tidak hanya memperlihatkan ritual agama saja, namun juga ekspresi politik, praktik sosial budaya, ekonomi dan kehiudpan sehari-hari lainnya yang berkaitan dengan agama sebagaimana yang Hasan jelaskan dalam The Making of Public Islam: Piety, Agency, and Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere.
Salah satu otoritas agama yang masuk dalam kategori microcelebrity muslim ialah Felix Siauw. Ia menjual produk “hijrah” dengan kemasan yang trendy melalui media sosial Instagram sebagai strateginya dalam rangka revitalisasi khilafah di Indonesia. Menariknya, ia selalu menampilkan dirinya mengenakan kemeja batik sebagai simbol kecintaan pada Indonesia, padahal nilai-nilai yang disampaikannya adalah bentuk resistensi terhadap konsep negara bangsa Indonesia. Keberhasilan Felix Siauw sebagai microcelebrity muslim dapat dilihat dari jumlah pengikutnya di Instagram yang sudah menembus angka 4,1 juta.
Berbeda halnya dengan Hanan Attaki yang eksistensinya di media sosial lebih banyak dikagumi oleh generasi milenial. Hal ini terlihat dari jumlah pengikutnya yang menembus angka hampir dua kali lipat dari Felix Siauw. Angka ini jelas sangat sulit dimilki oleh aktor-aktor otoritas agama yang tidak memiliki kemampuan microcelebrity.
Dalam sosial media, Hanan Attaki juga mendistribusikan produk “hijrah” yang tentu memiliki warna berbeda dengan yang ditawarkan Felix Siauw. Selain itu, ia juga melebarkan sayap dakwahnya dengan membangun komunitas hijrah di Instagram bernama @shiftmedia.id. Dalam dakwahnya, ia sering mengkampanyekan keindahan nikah muda, disertai motivasi-motivasi hidup yang ia klaim sesuai ayat-ayat Al-Qur’an. Selain dakwahnya yang kekinian, suara merdunya dalam membaca al-Qur’an juga menjadi nilai jual dakwahnya dalam media sosial Instagram.
Ulasan ini kiranya dapat menggambarkan bahwa lahirnya media sosial mampu meningkatkan kontestasi antar aktor Islam (baik otoritas keagamaan baru maupun tradisional) dengan beragam corak keislaman yang dianutnya.
Jika penelitian dari Alvara Research Center menyatakan bahwa sepertiga penduduk Indonesia merupakan generasi milenial dan 40,1% generasi milenial tersebut ialah pengguna media sosial, maka para aktor yang mampu menguasai dunia digital berpeluang besar memegang ideologi masyarakat muslim modern Indonesia di masa depan. Karena para generasi muslim milenial inilah yang akan meneruskan perkembangan Islam selanjutnya di Indonesia.
Wallahu a’lam.
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo