Media sosial begitu memudahkan setiap orang untuk berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga bisa bebas mengekspresikan dirinya. Namun, kemudahan tersebut harus disikapi dengan bijak. Jangan sampai, sesuatu yang harusnya positif menjadi sesuatu yang negatif karena tindakan penggunanya yang tidak bijak dan hati-hati. Contohnya, media sosial digunakan untuk membicarakan aib atau kekurangan orang lain sampai lupa terhadap aib diri sendiri.
Fenomena seperti itu tidak sulit ditemui. Bahkan, banyak akun-akun media sosial yang memang dibuat untuk memfasilitasi netizen untuk membicarakan aib orang lain. Tidak jarang juga, hanya karena satu aib yang terekspos ke media sosial, seseorang bisa langsung dicap buruk, meskipun kebaikan yang ia lakukan jauh lebih banyak.
Manusia Tak Lepas Dari Aib
Sepanjang masih berstatus sebagai manusia, kita semua tidak pernah lepas dari aib atau kekurangan diri. Aib itu ada yang berupa bawaan (seperti cacat fisik dan semacamnya), atau berupa kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan. Untuk yang jenis pertama, kita harus berusaha menerimanya sebagai ujian dari Allah Swt. Tentunya dengan tetap mengupayakan kesembuhannya jika masih memungkinkan.
Sementara itu, jenis yang kedua itulah yang perlu kita perbaiki. Sebelum itu, seseorang perlu menyadari kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan, baik dalam hubungan dengan Allah maupun sesama makhluk. Untuk itu, kita perlu melihat ke dalam diri untuk mengevaluasi diri, untuk mencari tahu aib diri sendiri yang perlu diperbaiki dan dibuang jauh-jauh.
Sayangnya, alih-alih sibuk mencari tahu aib diri sendiri, kita seringkali justru terperosok dalam perbuatan mencari-cari aib orang lain. Ternyata, hal itu juga menjadi salah satu keresahan Imam Abu Hamid al-Ghazali. Di dalam karyanya Ihya` ‘Ulumuddin, pada bagian ‘Bayanut Thariq alladzi Ya’rifu bihi al-Insan ‘Uyuba Nafsihi, beliau mengatakan:
أكثر الخلق جاهلون بعيوب أنفسهم, يرى أحدهم القذى في عين أخيه ولا يرى الجذع في عين نفسه
“Mayoritas manusia tidak tahu aib atau kekurangan diri mereka. Salah seorang dari mereka bisa melihat secuil kotoran di mata saudaranya, tetapi tidak bisa melihat belalai di matanya sendiri.”
Dawuh Imam al-Ghazali itu mirip dengan peribahasa semut di seberang sungai tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Artinya, kita bisa melihat kekurangan atau kesalahan orang sekecil apapun, namun justru gagal melihat kekurangan diri sendiri yang bisa jadi jauh lebih banyak. Aib orang lain seolah-olah menjadi santapan lezat yang menggiurkan. Itu sikap yang berbahaya, apalagi ketika kita dengan mudah mencari aib orang lain, namun malah kesulitan untuk mencari aib diri sendiri.
Mengetahui Aib Diri Sendiri ala Imam Al-Ghazali
Kesadaran bahwa setiap manusia memiliki aib atau kekurangan barangkali belum cukup bagi seseorang untuk bisa mengetahui aib dirinya sendiri. Namun, paling tidak kesadaran itu menjadi bekal utama. Karena, tanpa kesadaran seperti itu, bisa saja seseorang berfikir bahwa dirinya tidak memiliki aib sama sekali. Naudzubillah.
Jika sebagian dari kita masih kesulitan untuk mengetahui aib diri sendiri, mungkin tips dari Al-Ghazali di bawah ini bisa dipraktekkan. Masih dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin, beliau menuliskan empat tips yang dapat membantu seseorang untuk bisa mengetahui aib dirinya.
Pertama, duduk di depan syekh, atau kyai, atau guru, yang mampu melihat aib diri dan memunculkan “penyakit-penyakit” yang tersembunyi serta menjadi pembimbing. Selanjutnya, seseorang harus mengikuti isyarat-isyarat yang telah ditunjukkan oleh sang syekh selama proses mujahadahnya. Menurut Al-Ghazali, tips ini biasanya dilakukan oleh para penempuh jalan sufi. Mereka dibimbing langsung oleh para mursyid masing-masing. Namun, masih menurut Al-Ghazali, hanya kalangan tertentu saja yang dapat melakukan tips pertama ini.
Kedua, meminta seorang sahabat yang jujur, pintar, dan sholeh, untuk menyadarkan kita sebagai pengawasan. Selain itu, juga memintanya untuk memperhatikan keadaan dan perbuatan kita. Sehingga, ketika melihat akhlak dan perbuatan yang buruk, dan aib kita, sahabat kita akan mengingatkan. Menurut Al-Ghazali, tips ini biasanya dilakukan di kalangan ulama.
Ketiga, mengambil manfaat dari lisan para pembenci. Menurut Al-Ghazali, pandangan yang penuh kebencian itu sesungguhnya hanya menampakkan keburukan-keburukan. Dan itu bermanfaat untuk membantu untuk mengetahui aib diri kita. Dari sini kita bisa belajar bahwa ketika ada orang yang membenci kita, maka kita tidak perlu melakukan hal yang sama kepadanya. Justru kita bisa mengambil manfaat darinya.
Bahkan, masih menurut Al-Ghazali, manfaat yang dapat kita peroleh dari seorang pembenci yang suka mengungkit aib dan kekurangan bisa jadi lebih banyak dibandingkan dari teman yang banyak memuji dan tidak pernah membantu menunjukkan aib dan kekurangan kita.
Keempat atau terakhir, bergaul dengan orang yang beriman. Prosesnya adalah, ketika melihat keburukan pada diri orang lain, maka kita harus menganggap keburukan yang sama juga ada pada diri kita. Al-Ghazali mengatakan, al-mu`minu mir`atul mu`min, orang beriman itu cermin orang beriman. Misalnya, ketika menjumpai orang yang suka menghina orang lain, kita langsung melihat kepada diri kita sendiri. Jangan-jangan, selama ini kita tanpa sadar kita sering menghina orang lain. Dengan sikap seperti itu, kita juga dapat terhindar dari sikap merasa lebih baik atau lebih suci dari orang lain.
Demikianlah beberapa tips mengetahui aib diri sendiri dari Al-Ghazali. Mengingatkan orang lain atas aib atau kekurangan yang ada pada diri mereka haruslah dibarengi dengan mengingatkan diri sendiri. Tanpa mengetahui aib diri, bagaimana kita bisa menjadi insan yang lebih baik di kemudian hari? Wallahu A’lam.