Tasawuf Al-Ghazali dan Persoalan Lingkungan Masa Kini

Tasawuf Al-Ghazali dan Persoalan Lingkungan Masa Kini

Salah satu gagasan tasawuf Imam Al-Ghazali adalah pengendalian nafsu perut. Meski pada mulanya digunakan sebagai metode penyucian diri (tazkiyatun nafs), gagasan ini sejatinya dapat menjadi salah satu jawaban terhadap persoalan lingkungan masa kini.

Tasawuf Al-Ghazali dan Persoalan Lingkungan Masa Kini
Sampah masih menjadi persoalan lingkungan yang sangat serius.

Islam yang dinilai selalu relevan dengan perkembangan zaman menghadapi tantangan besar di zaman ini. Tantangan itu berupa masalah kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang mengancam seluruh umat manusia. Salah satu aspek dalam Islam adalah Tasawuf. Melalui tulisan ini, penulis akan menggali potensi ajaran Tasawuf dalam menjawab persoalan lingkungan melalui pemikiran Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam karyanya yang berjudul Ihya` Ulumiddin.

Tasawuf Al-Ghazali

Imam  al-Ghazali adalah salah seorang sufi yang fenomenal dengan karya monumentalnya, Ihya` ‘Ulumiddin. Terlepas dari segala pro dan kontra terkait kitab ini, kontribusinya terhadap khazanah keilmuan Islam tidak bisa disangkal. Dalam kitab yang terdiri atas empat jilid tersebut, satu hal yang mendapat perhatian dari Al-Ghazali adalah masalah syahwat atau hawa nafsu.

Al-Ghazali menuliskan sebuah bab khusus yang diberi judul Kasr al-Syahwatain (Breaking of Two Desires) atau menghancurkan dua syahwat. Bab ini dapat ditemukan dalam bagian ketiga dari kitab Ihya` ‘Ulumiddin. Dua syahwat yang dimaksud adalah nafsu perut dan nafsu ‘bawah perut’. Dalam kaitannya dengan menjawab persoalan lingkungan, tulisan ini hanya akan membahas gagasan Al-Ghazali tentang nafsu perut.

Nafsu perut, dalam pandangan al-Ghazali, memiliki tiga tingkatan. Pertama, ifrath atau terlalu berlebihan. Kedua, i’tidal atau seimbang. Ketiga, tafrith atau terlalu kurang. Tingkatan ifrath dan tafrith keduanya tidak baik.  Adapun nafsu perut yang ideal adalah pada tingkatan i’tidal atau seimbang. Nafsu perut yang dikatakan seimbang adalah ketika seseorang makan sesuai kadar kebutuhan (‘ala qadril hajat), tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan.

Untuk mengukur kadar kebutuhan akan makanan, Al-Ghazali memberi patokan berupa “untuk melanjutkan hidup dan memperoleh kekuatan untuk beribadah”. Lebih dari itu, berarti sudah bukan lagi kebutuhan, melainkan keinginan hawa nafsu.

Selanjutnya, agar nafsu perut terus berada dalam tingkatan i’tidal, seseorang perlu mengendalikannya. Untuk mengendalikan nafsu perut, Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada tiga tugas yang harus dilakukan oleh seseorang, yakni mengurangi porsi makan; mengurangi intensitas waktu makan, dan; mengatur menu makanan. Dalam menjalankan ketiga tugas tersebut, seseorang dapat memulai dari tingkatan terendah pada setiap tugasnya atau disesuaikan dengan pola konsumsi yang dimiliki.

Seiring dengan berjalannya waktu dan kemampuan mengendalikan nafsu perutnya meningkat, seseorang bisa meneruskan ke tingkatan yang lebih tinggi. Begitu seterusnya hingga ia mampu menghindari pola konsumsi yang berlebihan dan tidak mengonsumsi kecuali dalam kadar kebutuhan. Melalui latihan tersebut, seseorang berlatih untuk mengendalikan dirinya agar tidak selalu mengikuti keinginannya dan mampu memilah antara kebutuhan dengan keinginan.

Dengan segala kemudahan yang ada di era kemajuan teknologi seperti saat ini, upaya mengendalikan nafsu perut menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Orang bisa dengan mudah memesan makanan hanya dengan menggerakkan jari-jemarinya. Belum lagi tawaran diskon yang makin menggoda untuk membeli makanan yang diidamkan. Namun, bukan berarti hal itu tidak bisa diupayakan.

Mulanya, pengendalian nafsu perut ini dilakukan dalam rangka menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs) dari segala penyakitnya. Namun, jika gagasan tasawuf Al-Ghazali ini dapat dipraktekkan secara kolektif saat ini, maka gagasan tersebut dapat memberi kontribusi dalam menjawab persoalan lingkungan yang terjadi.

Makanan dan Persoalan Lingkungan

Makan adalah kebutuhan dasar setiap orang. Mereka membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan energi yang digunakan dalam menjalankan aktivitasnya. Namun, seringkali pemenuhan kebutuhan energi tidak lagi menjadi tujuan seseorang makan. Mereka makan dalam rangka memuaskan keinginan atau nafsu makannya. Sehingga, yang terjadi adalah berlebih-lebihan dalam membeli makanan.

Nafsu makan yang berlebih-lebihan, jika terus dituruti, maka dapat menjadi tuman, dalam arti akan terus meminta untuk dimanjakan. Hal ini berbahaya, baik ditinjau dari segi agama maupun sains. Dari segi agama, sebagaimana gagasan tasawuf Al-Ghazali yang telah disinggung, makan yang berlebihan dapat menyebabkan seseorang lalai dalam beribadah.

Lalu, dari segi sains, makan yang berlebihan juga dapat membahayakan kesehatan. Belum lagi jika komposisi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi mengandung zat-zat yang tidak baik bagi tubuh. Selain itu, ternyata perilaku mengonsumsi makanan yang berlebihan berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.

Sebagaimana diketahui, sampah makanan menjadi salah satu kontributor pemanasan global. Hal itu lantaran gas metana yang dihasilkan dari tumpukan sampah makanan merupakan salah satu Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi. Semua itu membawa dampak buruk terhadap lingkungan. Dampak itu bisa kita lihat dari banyaknya bencana yang melanda akhir-akhir ini. Curah hujan tinggi, banjir di banyak tempat, naiknya permukaan air laut, dan masih banyak lagi.

Dilansir dalam laman Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), dari total 31 juta ton lebih sampah selama tahun 2021, 40 persennya adalah berupa sisa makanan. Jumlah itu sangat jauh dari jenis sampah kayu/ranting daun yang menempati posisi kedua dengan 13 persen. Itu baru sampah atau limbah dari proses konsumsi (food waste), belum termasuk limbah yang dihasilkan dari proses produksi makanan (food loss).

Lebih mencengangkan lagi, menurut laman New Scientist, produksi makanan menyumbang 37 persen dari total emisi Gas Rumah Kaca secara global. Kerusakan lingkungan akibat proses produksi makanan tidak terlihat, namun dampaknya tak kalah hebat.  Contoh sederhananya adalah pembukaan lahan hijau untuk lahan pertanian. Belum lagi penggunaan pestisida yang berlebihan. Semua itu turut berkontribusi dalam kerusakan lingkungan. Itu masih di bidang pertanian, belum termasuk industri makanan yang menggunakan mesin sebagai alat produksi. Tentu semua alat itu menggunakan daya listrik yang jumlahnya tidak sedikit.

Selain sampah makanan sisa produksi (food loss) dan sisa konsumsi (food waste), sampah plastik yang dihasilkan dari perilaku konsumsi masa kini juga menambah daftar buruk. Lihat saja kebiasaan membeli makanan secara online yang hampir dipastikan menggunakan plastik sekali pakai. Jika perilaku konsumsi makanan tidak dikontrol, sebagaimana gagasan Al-Ghazali yang mendorong pentingnya mengontrol nafsu perut, maka bukan tidak mungkin perilaku konsumsi makanan menyumbang kerusakan lingkungan lebih besar.

Karena itu, menggalakkan perilaku konsumsi makanan sesuai kebutuhan (al-akl ‘ala qadril hajat) sebagaimana ajaran tasawuf Al-Ghazali penting dilakukan. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tentu ada proses yang dapat dilakukan secara bertahap. Baik itu dengan cara mengurangi porsi makan sedikit demi sedikit, mengurangi intensitas waktu makan, maupun mengatur menu makanan.

Langkah seperti ini, sekalipun terlihat sepele, jika diupayakan bersama, maka dapat menjadi salah satu solusi dalam menjawab persoalan lingkungan. [NH]