Ekstremitas Guru Gembul, Matinya Kepakaran dan Intoleransi Komunitas Habaib

Ekstremitas Guru Gembul, Matinya Kepakaran dan Intoleransi Komunitas Habaib

Argumen Guru Gembul dalam sejumlah video menyuguhkan kekeliruan

Ekstremitas Guru Gembul, Matinya Kepakaran dan Intoleransi Komunitas Habaib

Ekstremisme bisa merasuki siapa saja; Islam kanan, Islam kiri, Wahabi, Sunni, Syiah, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, Khonghucu, nasionalis, liberalis, pendeta, habib, kiai, gus, public figure, influencer, dan lain sebagainya. Dan ekstremisme (pandangan, ujaran, dan sikap) dalam konteks kebencian SARA ditandai antara lain dengan produksi hoax berisi keburukan golongan yang menjadi sasaran kebencian. Kali ini saya hendak menyoroti Guru Gembul, seorang Youtuber terkenal.

Terus terang saya tidak terlalu mengikuti konten-konten Guru Gembul, hanya melihat beberapa episode saja dan banyak di antaranya tidak saya tonton sampai tuntas. Dari apa yang saya lihat itu, saya menangkap kesan bahwa Guru Gembul merupakan Youtuber yang membicarakan apa saja, dari sejarah peradaban manusia, fisika kuantum, biologi molekuler, nutrisi anak, gizi lansia, meteorologi dan geofisiska, hingga agama. Dengan gaya bicara yang lancar dan penuh rasa percaya diri, Guru Gembul tampil bagaikan seorang pakar pada setiap topik yang sedang dibahasnya. Videonya ditonton banyak orang dan ia diundang oleh berbagai podcast untuk diwawancarai, termasuk oleh Deddy Corbuzier.

Saya melihat itu sebagai fenomena biasa yaitu “matinya kepakaran” (death of expertise). Di era digital ini, setiap orang bisa tampil bicara di depan publik (melalui tayangan di media sosial) dan mengemukakan pendapat dan nasihat tentang apa saja. Profesor ahli sejarah, ahli fisika, dan ahli tafsir, misalnya, tidak menjadi syarat untuk boleh “naik ke podium” dan berbicara tentang soal-soal terkait. Semua orang diperkenankan dan diberi kesempatan yang sama, sepanjang tahu cara merekam konten dan mengunggahnya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Sebagaimana yang dianalogikan oleh penulis Iqbal Aji Daryono dalam salah satu esainya tentang wacana matinya kepakaran: media sosial adalah warung kopi. Di tempat semacam itu, siapa pun bisa berbincang tentang apa pun. Tidak ada aturan yang melarang pengunjung warung membicarakan topik di luar keahliannya.

Setiap orang bebas berbicara. Dan serupa di warung kopi, yang paling banyak didengar adalah yang paling ceriwis dan pandai berbicara, bukan yang paling berilmu. Selanjutnya tingkat pendidikan dan intelektual pengunjung yang akan menentukan untuk memercayai dan menuruti pendapat si pembicara atau tidak.

Baca juga: Selamat Datang di Era Matinya Kepakaran dalam Agama

Dengan demikian, wacana yang populer sejak terbitnya buku The Death of Expertise karya Tom Nichols pada 2017 itu, bagaikan pisau bermata dua: di satu sisi memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk mengemukakan pendapat, namun di sisi lainnya bisa membuat penyesatan informasi publik yang berpotensi membahayakan kehidupan masyarakat.

Contohnya antara lain adalah saat sebagian orang lebih meyakini dan mengikuti nasihat para konten kreator dalam mengatasi persoalan kesehatan, termasuk ketika terjadi pandemi Covid-19, ketimbang arahan dari pemerintah melalui Departemen Kesehatan.

Contoh dampak negatif lainnya adalah penyebaran kebencian SARA terhadap suku tertentu (dalam hal ini habib) sebagaimana yang terkandung dalam salah satu konten Guru Gembul yang beredar beberapa pekan lalu. Tren kebencian rasial terhadap etnis habib memang telah digelorakan oleh pihak tertentu sekitar setahun belakangan ini, dengan mengunggah dan menyebarkan secara masif konten-konten berisi perbuatan buruk oknum-oknum habib, dengan diiringi berbagai narasi dan diksi bermuatan hujatan rasial. Fenomena seperti itu tentu tidak baik bagi kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan agama.

Sebagaimana suku lain; Jawa, Sunda, Madura, Batak, Tionghoa, dll, komunitas habib tentu ada yang baik dan ada yang buruk. Yang baik layak diapresiasi dan yang buruk patut dikritisi. Namun semuanya itu tak perlu dikait-kaitkan dengan etnisitasnya, cukup kepada person-personnya saja. Kritik terhadap person tidak boleh dilambari kebencian terhadap etnisitasnya, apalagi melalui konten-konten hoax.

Baca juga : Anhar Gonggong, Peter Carey, dan Jaringan Anti-Habib

Sebenarnya, sebagai seorang pendidik (guru SMA) yang memiliki banyak follower di “warung kopi” media sosial, diharapkan Guru Gembul bisa menjadi pihak yang mengajak masyarakat untuk bersikap adil dan bermartabat. Namun yang terjadi sebaliknya; Guru Gembul justru ikut menjadi bagian dari arus intoleransi terhadap komunitas habib dengan menceritakan sesuatu yang tidak logis dan berlebihan. Dan cerita ganjilnya itulah yang hendak saya bahas.

Terdorong oleh rasa penasaran melihat para santriwati bercadar di sebuah pondok pesantren NU di daerah Cimahi, Guru Gembul mengutus istrinya untuk menemui kiai pengasuh ponpes tersebut. Perlu diketehahui, cadar adalah busana yang tidak lazim di kalangan NU. Dan betapa terkejutnya Guru Gembul mendapat informasi dari istrinya (yang mendengar dari sang kiai) perihal alasan pemakaian cadar di pondok pesantren itu, yaitu untuk menyelamatkan para santriwati dari para habib!

Diceritakan bahwa pondok pesanten itu sering (tidak dijelaskan seberapa sering) didatangi para habib dan mata mereka “jelalatan” mencari-cari santriwati yang cantik untuk dibawa pulang. Karena habib diagggap sebagai keturunan Nabi yang wajib dihormati, maka pihak pesantren merasa tidak nyaman menolak permintaan tersebut. Akhirnya, untuk mengatasi situasi sulit itu, para santriwati diharuskan mengenakan cadar agar wajahnya tidak bisa dilihat.

Mari kita urai satu persatu keganjilannya. Pertama, jika para santriwati itu mengenakan cadar dalam kesehariannya, maka artinya para habib itu berada di sana setiap hari dan sepanjang waktu. Berarti cadar tidak lagi dipakai sebagai  “mitigasi” insidentil melainkan permanen. Masuk akalkah ini?

Kedua, bisakah cadar “menyelamatkan” seorang santriwati; yaitu agar tidak dipilih oleh para habib itu untuk dibawa pulang? Rasanya tidak. Dinarasikan bahwa semua santriwati mengenakan cadar untuk menyembunyikan wajah cantiknya dari tatapan para habib. Pertanyaannya: mengapa semua santriwati bercadar? Apakah semuanya berwajah cantik? Terus terang saya ragu. Dan keraguan saya ini diperkuat oleh cerita Guru Gembul sendiri bahwa para habib itu kerap menanyakan ke pihak ponpes kalau-kalau ada santriwati yang cantik yang bisa dibawa pulang.

Ketiga, tadi dikatakan bahwa pihak ponpes merasa tidak nyaman menolak permintaan para habib untuk membawa pulang santriwati lantaran mereka diyakini sebagai keturunan Nabi. Maka kiai pimpinan ponpes mengambil jalan tengah dengan menyuruh santriwatinya mengenakan cadar. Pertanyaannya: jika para habib itu bisa meminta santriwati untuk dibawa pulang, lalu apa susahnya bagi mereka untuk sekadar meminta pihak ponpes membuka cadar para santriwatinya? Bukankah sang kiai juga akan merasa tidak nyaman untuk menolak permintaan mereka?

Baca juga: Habaib, Sunni-Syiah, dan Anies Baswedan

Dari keganjilan-keganjilan itu, kita boleh yakin bahwa apa yang disampaikan oleh Guru Gembul merupakan kebohongan belaka. Meski demikian, konten yang tendensius terhadap suku (dalam hal ini habib) dan, pada ukuran tertentu, agama (dalam hal ini Islam tradisional) itu, merupakan sesuatu yang layak untuk didalami guna mencari tahu siapakah yang sebenarnya berbohong? : Guru Gembul, istri Guru Gembul, atau kiai pengasuh pondok pesantren itu?

Diksi “yang bisa dibawa pulang” adalah sesuatu yang serius. Ini berkonotasi praktik prostitusi terselubung. Apalagi kalau usia para santriwati itu masih di bawah umur, maka persoalannya bisa lebih berat lagi. Patut ditelisik jangan-jangan pihak pondok pesantren pernah mengizinkan santriwatinya dibawa pulang oleh para habib, baik lantaran ketidakmampuan menolak permintaan terkait relasi kuasa sebagaimana yang digambarkan, maupun karena motif-motif lain.

Komnas Perempuan, Komnas Anak, dan Kepolisian perlu turun ke lapangan untuk menginvestigasi apa yang bisa digolongkan sebagai kejahatan perdagangan manusia (human trafficking) itu. Dan jika memang terbukti berlangsung praktik tercela itu, maka semua pihak yang terlibat, baik sang kiai pengasuh ponpes maupun habib itu, harus diproses secara hukum. Setiap warga negara, tidak peduli habib, gus, dan kiai, adalah setara di mata hukum. Dan itulah yang telah dipraktikkan dalam sistem peradilan di negara  kita selama ini.

Namun jika ternyata cerita itu hoax, Guru Gembul mesti mengklarifikasi. Tidak boleh mentang-mentang ia seorang guru yang memiliki banyak follower, lalu merasa bisa seenaknya kencing berdiri.[]