Dawam Rahardjo dan Gus Dur adalah dua sahabat cum intelektual muslim yang banyak dibicarakan. Bagaimana keduanya mampu menjadi sosok berpengaruh? Malcom Gladwell dalam bukunya, Outliers (2018), menjelaskan bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh faktor perjuangan dan motivasi saja. Akan tetapi, kesuksesan itu juga dipengaruhi oleh kapan kita lahir, siapa orang tua kita, kondisi kebudayaan dan seberapa jauh lingkungan kita memberikan kita kesempatan untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan kita. Outlier juga didefinisikan sebagai orang yang tidak sesuai dengan pemahaman pencapaian orang normal.
Malcom telah menggunakan puluhan studi kasus untuk mendukung argumennya. Mulai dari para milyarder, mengapa negara tertentu sering mengalami kecelakaan pesawat hingga asal usul anak keturunan Asia yang pandai matematika. Sayangnya, Malcom belum sempat meniliti orang Indonesia yang pemahamannya di luar pemahaman orang normal, sebut saja nyelneh atau unik, seperti halnya Dawam Rahardjo dan Gus Dur.
Kedua cendikiawan muslim tersebut adalah pemikir dari latar organisasi keagamaan yang berbeda. Dawam pernah menjabat sebagai ketua umum di PP Muhammadiyah, sampai dipecat. Gus Dur juga begitu, pernah menjadi ketua umum PB Nahdlatul Ulama; selama tiga periode. Keterlibatan mereka di organisasi tersebut tidak lantas disambut baik oleh lingkungannya, akan tetapi malah menjadi bahan gunjingan, karena kenyelnehan mereka dalam berpikir dan bertindak.
Kenyelnehan itulah yang menjadi bekal mereka menjadi manusia pelintas batas. Orang-orang yang berhasil untuk berfikir maju dari orang pada umumnya. Sehingga tidak heran jikalau mereka terkenal di Indonesia, bahkan dunia, sebagai cendikiawan muslim.
Dawam dikenal oleh banyak orang sebagai bapak ekonomi islam, selain pemikir islam progresif. Tidak hanya itu, dia juga sangat gandrung membaca karya sastra. Terbukti, saat masih menjadi mahasiswa, Dawam banyak menerjemahkan karya sastra Yunani, dan beberapa kali ditebitkan di majalah horizon. Selain itu, Dawam juga seorang politisi moral, yang menjunjung tinggi moralitas politik, memilih jalur civil society, dan menghindari pragmatisme politik.
Jalur pemikiran Dawam bisa dibagi menjadi dua, pemikiran ilmiah dan literat. Pemikiran ilmiah ini tertuju pada kegemaran Dawam untuk mengkaji berbagai kursus keilmuan, khususnya pada topik ekonomi islam. Pada jalur literat, Dawam memilih melakukan aktivitas membaca dan menulis. Jalur literat inilah yang membuat berbagai karya Dawam terabadikan dalam berbagai jurnal dan majalah ilmiah.
Tidak hanya sampai di situ, Dawam bersama Gus Dur, Nurcholis Madjid, Daniel Dhakidae dan Sudjatmoko turut menghidupi jurnal ilmiah Prisma dan LP3ES. Hingga pada akhirnya Dawam juga mendirikan lembaga diskursus Filsafat, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Di LSAF itulah Dawam juga membuat jurnal keagamaan dan kebudayaan Ulumul Quran tahun 1990-an.
Jauh sebelum isu fundamentalisme era digital ini, Dawam sudah pernah menuliskannya topik itu di Ulumul Qur’an, dengan judul Skriptualisme dalam Pemahaman Keagamaan. Dawam menyayangkan pemahaman keagamaan yang dogmatis. Dawam ingin menunjukkan wajah islam yang progresif.
Tidak hanya menulis berbagai artikel ilmiah, Dawam juga banyak menulis cerpen. Beberapa cerpennya juga dimuat di Ulumul Quran. Selain itu, cerpen Dawam juga terhimpun dalam buku berjudul Anjing yang Masuk Surga.
Kesukaannya menulis karya sastra seperti cerpen sudah dilakukan sejak menjadi mahasiswa. Dengan banyak membaca karya sastra Yunani, lalu menerjemahkannya. Alhasil, banyak cerpen yang dihasilkan Dawam, dengan membawa nilai pembaharuan atau penyegaran islam.
Cerpen-cerpen Dawam terkesan sangat lugas dan lurus, tanpa lekukan. Hal itu, karena dipegaruhi oleh gaya berfikirnya yang serba serius dan ilmiah. Berbeda dengan Kuntowijoyo, pendahulunya yang masih ada lekukan dalam cerpennya. Jika dibandingakn dengan Mahbub, cerpen Mahbub juga masih ada lekukannya. Akan tetapi, ketiganya berhasil membuat hal yang tak terduga (suspen) dalam akhir cerpennya.
Dalam cerpennya, Dawam tidak hanya melakukan pembaharuan keagamaan pada konteks kebudayaan saja, akan tetapi pada konteks sosial dan ekonomi. Baginya, ekonomi adalah hal yang sangat dekat dengan kita. Kelaparan atau kemiskinan, kemakmuran atau kesejahteraan. Seperti halnya pada cerpennya berjudul Pohon Keramat, Rumah Hantu, Atheis dan Mas Parman Mencari Tuhan.
Hingga pada akhirnya, Dawam menulis cerpen untuk terakhir kalinya setelah istrinya wafat. Cerpen itu berjudul Wirid. Ada kutipan romantis nan platonik di cerpen itu, yakni; aku mengecup kedua mata istriku yang terakhir kalinya ketika jenazahnya hendak digotong ke masjid sebelah, hendak disalatkan. Bulu matanya terasa di bibirku, seolah ia masih hidup.
Selain itu, masih banyak sumbangan intelektual Dawam untuk Indonesia. Sempat juga ia mendirikan majalah Madinah, di saat banyak kaum menengah muslim tumbuh. Meskipun majalah itu hanya hidup 2-3 tahun. Adapaun buku-buku yang pernah ia terbitkan di antaranya adalah Ensiklopedia Al Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (paling fenomenal), Ekonomi Islam dan Paradigma Al Quran.
Tidak salah, jika penulis menganggap Dawam maupun Gus Dur adalah Outliers kebanggan Indonesia. Pikiran Dawam banyak dipengaruhi lingkungannya yang kritis. Banyak teman yang diajaknya berdiskusi di antaranya ada Gus Dur, Kuntowijoyo, Marsillam Simanjuntak, Adi Sasono, Arif Budiman, Sudjatmoko, Muslim Abdurrahman, Ahmad Sobary dan lainnya. Dengan membawa semangat yang sama, untuk menyegarkan kembali konsep islam yang progresif nan sosialis, dan menentang purifikasi islam.
*Tulisan ini diulik dari hasil kudapan buku Anjing yang Masuk Surga karya Dawam Rahardjo, bersama Prof. Djoko Saryono (Guru Besar Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang) di Ngabuburead Gubuk Tulis di Malang. (7/6)