WGWC Talk #5 yang mengangkat tema ”I Love You, Leave It : Kisah Para Istri Mendorong Disengangment” mengingatkan tentang cerita Mantan teroris bom Bali 1, Joko Triharmanto alias Jack Harun membeberkan jika dirinya bertaubat setelah mendengar tangisan istrinya menjadi cerita tersendiri dalam melakukan proses deradikalisasi. Ada juga cerita menjadi bagian dari disengangment. Bahkan, proses disengangment telah dimulai ketika suami menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, yaitu dengan cara melakukan kunjungan rutin ke lembaga pemasyarakatan.
Selain itu istri juga berusaha untuk tidak bergantung secara ekonomi kepada suami, hal ini secara tidak langsung dapat menjauhkan suami dari kelompok yang diikutinya. Fenomenologi ini menunjukkan bahwa istri memiliki peran dalam menderadikalisasi para suami untuk tidak lagi terlibat dalam aksi terorisme. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah, Kunjungan rutin tersebut dimanfaatkan untuk menyampaikan keluh kesah kepada suaminya bahwa keterlibatan suami dalam kelompok teroris membawa imbas pada dirinya dan anak-anaknya.
Sebelum membahas hal tersebut, ternyata para istri mengalami banyak hal sebelum mendorong adanya disengangment. Hal yang pertama, ketika penangkapan terhadap suami mereka, seringkali para istri ini mendapatkan stigma di masyarakat. begitu juga dengan anak-anak mereka. Keadaan ini menjadi persoalan sendiri di masyarakat. Sedikit cerita jika tidak sedikit para istri tersebut mengalami penurunan psikis, seperti menurunnya nafsu makan. Serta para istri dan anak mengalami stigma negative yang harus diterima mereka di lingkungan, akibatnya para berpindah rumah dan memilih berdekatan dengan keluarga besar mereka untuk memperkuat psikis mereka dan anak-anak.
Padahal, anak-anak dan istri seringkali tidak pernah tahu apa para suami lakukan ketika melakukan pengajian. Para suami hanya berpesan agar para istri mendoakannya ketika melakukan pengajian tanpa menjelaskan apa yang dilakukan para suami. Kejadian ini menunjukan jika para istri tidak pernah terlibat pada aktifitas para suami. Walaupun begitu, para istri juga tetap memberikan ruang kepada suami untuk mendidik anak-anak melalui sambungan telepon. Dari cerita para istri mantan napiter ini komunitas dari pengajian tidak memberikan dukungan kepada pada istri mantan napiter, terkesan melapaskan tangan atas kejadian yang menimpa suami mereka.
Dari cerita para istri tersebut, ada banyak catatan penting yang dialami dan dilakukan oleh para istri napiter. Pertama para istri menceritakan bagaimana cara mendesak untuk mengetahui pengajian yang para suami ikuti, terutama bertanya alasan belajar agama tapi menelantarkan keluarga. Kedua, bertanya kepada suami tentang kebencian terhadap negara. Ketiga, menceritakan trauma-trauma yang dialami oleh anak-anak saat penangkapan suami. Catatan ini menjadi catatan paling menarik dalam agenda ini, di mana para istri meminta para suami agar keluar dari kelompok ekstremis dengan pendekatan yang lebih humanis dibanding dengan menggunakan pendekatan secara agama.
Selanjutnya catatan keempat, membuka mata sumi tentang dampak penderitaan yang harus istri dan anak-anak paska suami tertanggap pihak kepolisian. Para istri harus mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya, bahkan ada beberapa diantaranya yang harus menjadi buruh cuci. Kelima, salah satu dari tiga istri mantan napiter ini pernah mendorong suami menyerahkab diri untuk adanya kepastian hukuman. Keenam, mengontrol suami untuk tidak ikut kembali gerakan ektremisme kekerasan.
Ternyata, para istri napiter ini mengalami gejolak pergolakan batin untuk menjadi perempuan mandiri. Di saat yang bersamaan, para istri tidak menyinggung harkat dan martabat suami sebagai laki-laki secara frontal. Para istri mengarah pada suatu upaya untuk merestorasi kehidupan keluarga, pada suatu kehidupan yang baik sehat, normal dan mengembangkan suasana yang kondusif untuk perkembangan kehidupan anak-anak.
Hal itu, dilakukan untuk memecah fokus pemikiran suaminya agar tidak selalu memikirkan jihad qital karena lembaga pemasyarakatan tidak memberikan jaminan bagi suaminya terlepas dari pemikiran-pemikiran Jihad. Keterlibatan istri sebagai pendamping suami dalam proses deradikalisasi menjadi penting. Yakni, istri berperan sebagai pendamping suami yang paling mengerti karakter suami. Peran penting tersebut seringkali luput dalam pembahasan mengenai deradikalisasi. Keterlibatan perempuan dalam proses deradikalisasi dan disengangment dapat melengkapi program yang selama ini sudah berjalan.