Memasuki awal tahun 2021, saya mendapatkan kabar tidak enak. Teman saya dinikahkan paksa oleh orangtuanya ketika pulang kampung, Jambi. Alasannya cukup sederhana ketika dinikahkan, alasannya kara corona sehingga orangtua mengawinkan teman saya tanpa persetujuan. Orangtuanya menikahkan teman saya dengan lelaki yang masih dianggap sanak-saudara. Untung saja, teman saya bukan lagi berusia di bawah umur. Usianya hampir serempat abad, cukup dewasa untuk memilih jodoh sendiri. Namun, tetap saja mendengar kabar tersebut, saya cukup kecewa.
Dari kejadian tersebut, saya banyak merefleksikan banyak hal. Pertama yang saya sesali adalah ternyata perempuan masih belum banyak merdeka dengan pilihannya sendiri. Kedua, nampaknya kasus kawin paksa masih terjadi pada perempuan lainnya di Indonesia. Saya jadi teringat dengan kejadian di Lombok menjelang akhir 2020, lalu.
Pemaksaan perkawinan atas dasar aturan adat sampai saat ini masih kerap terjadi, tidak hanya di Lombok tetapi juga di gugusan pulau Nusa Tenggara yang lain hingga ke Sumba di Nusa Tenggara Timur. Ada istilah kawin culik di Lombok Timur, sedangkan di Sumba dikenal sebagai kawin tangkap. Semua ini berinti pada pernikahan paksa yang digelar atas tuntutan adat. Secara budaya, konteks kawin tangkap adalah pernikahan yang dilakukan tanpa proses melamar. Dari berbagai sumber tertulis, lanjutnya, budaya ini memang ada di Sumba. Selain wilayah tersebut, saya juga menemukan kasus kawin paksa di wilayah Bangkalan, Madura. Selanjutnya terjadi di Pulau Buru.
Dari rententan kejadian tersebut, saya jadi teringat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah (no Hadist : 1947) dan Imam Nasa’I dalam Sunannya (hadist: 3292). Dalam hadist tersebut diceritakan jika ada seorang anak perempuan yang menceritakan tentang ayahnya yang akan menikahkannya secara paksana. Namun, nabi Muhammad menjawab jika keputusan akhir berada di tangan perempuan tersebut.
Dari hadist tersebut, terdapat dua hal yang saya jadikan refleksi. Kondisi pertama, hak pernikahan perempuan adalah perempuan itu sendiri, nikan ayahnya atau keluarganya. Sebab yang akan hidup berumah tangga adalah perempuan tersebut sehingga dia harus benar-benar merasa nyaman, rela dan tidak ada unsur paksaan sama sekali. Kondisi kedua, menegaskan kemandirian dan kemanusiaan perempuan. Karena tidak sedikit yang masih menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan laki-laki. Jika anak perempuan tunduk pada ayahnya, namun jika terjadi pada seorang istri, istri harus tunduk pada suaminya. Keadaan ini menyalahi kemandirian perempuan sebagai manusia yang utuh.
Dari hadist yang saya kutip tersebut, Nabi SAW ternyata sedang membangun suara lingkungan yang aman dan nyaman untuk perempuan berbicara. Keberanian perempuan untuk melaporkan pelanggaran hak yang diaminya tidak mungkin terjadi jika suasana politik tidak dikondisikan terlebih dahulu oleh Nabi SAW. Di mana perempuan merasa nyaman untuk bersuara menuntut hak-haknya dan melaporkan hal-hal yang dianggap melanggar hak-hak tersebut.
Namun, dari refleksi kedua ini saya ingin bertanya, jika pernikahan paksa kembali terjadi, kemana para perempuan akan mengadu? Di Indonesia sendiri, ruang perempuan nyaman berbicara masih belum terjadi. Lingkungan keluarga terkadang menjadi lingkungan yang tidak nyaman untuk mengemukakan hak dan pendapat. Pemerintah daerah dan elemen lainnya, seringkali mengambil jarak bila masuk dalam ranah pernikahan sebab dianggap sebagai ruang privat yang tidak boleh dimasukin dan dikomentari banyak orang.
Urusan adat menjadi persoalan lain sehingga pemerintah tidak bisa mengintevensi lebih dalam, terutama untuk mencegah hal-hal ini kembali terjadi. Hal lainnya, negara mempunyai undang-undang untuk melindungi anak dan perempuan dari eksploitasi, khususnya kawin paksa, namun mekanisme proteksi belum sepenuhnya dilakukan pemerintah daerah.
Bahkan, menurut Global Slavery Index 2016, perbudakan atau slavery, merupakan suatu situasi eksploitasi di mana seseorang tidak bisa menolak atau meninggalkan sesuatu, karena adanya ancaman, kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penipuan. Slavery dalam bentuk kawin paksa masih banyak terjadi, terutama di Indonesia bagian timur.
Di saat yang bersamaan, pegiat HAM perempuan Yuniyanti Chuzaifah menambahkan berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) 2017, sekitar 40 juta orang mengalami modern slaves. Rinciannya, dari jumlah tersebut 71 persen adalah perempuan, 84 persennya mengalami kawin paksa yang sepertiga dilakukan anak-anak. Kawin paksa masuk dalam modern slaves atau perbudakan karena dia tunduk seumur hidupnya sehingga dia harus takluk kepada keputusan kemauan, penghambaan, kepada orang lain secara paksa.