Islami.co (Haji 2024) — Setiap ulama memiliki pengalaman tersendiri saat naik haji. Sebagian menuliskannya, sebagian hanya bercerita lewat lisan. Salah satu ulama yang pengalaman uniknya saat naik haji diceritakan adalah Kiai Mohammad Ali Yafie. Mantan Ketua Umum MUI ini pernah berhaji pada tahun 1957.
Pada tahun itu Kiai Ali Yafie masih menggunakan jalur laut untuk berangkat haji. Ia bercerita bahwa perjalanannya memakan waktu yang cukup lama. Terhitung dari berangkat hingga sampai di tanah suci sekitar 100 hari untuk pulang-pergi. Durasi waktu berhaji K.H Ali Yafie ini lebih lama dari pada durasi terlama petugas haji, yaitu hanya sekitar 72 hari.
“Pertama kali saya naik haji tahun 1957 dengan kapal laut. Cukup lama di perjalanan, pulang pergi masing-masing setengah bulan. Jadi secara keseluruhan menghabiskan waktu sekitar seratus hari,” ungkap Kiai Ali Yafie dikutip dari Haji Sebuah Perjalanan Air Mata.
Mengobati Kerinduan pada Ka’bah
Bagi orang yang pertama kali naik haji, salah satu hal yang ingin dilihat adalah Ka’bah. Betapa tidak, selama ini hanya melihatnya lewat lukisan, pajangan rumah, atau hanya video di televisi. Mumpung naik haji, melihat dan memandangi bangunan kubus ini tak bisa dilewatkan.
Pun saat berhasil memandangi Ka’bah, setiap orang memiliki ekspresi berbeda. Ada yang biasa saja, bahkan ada yang menangis haru bahagia. Kiai Ali Yafie termasuk jemaah haji yang kedua. Ia sempat menangis saat pertama kali melihat Ka’bah.
Ia mengibaratkan pertemuannya dengan bangunan peninggalan Ibrahim As ini seperti pertemuan dengan orang terkasih yang telah lama tak berjump, seperti melepaskan kerinduan kepada orang yang diidamkan. Kiai Ali Yafie bahkan bercerita bahwa ada sebuah getaran di hati saat pertama kali melihat bangunan bersejarah itu. Hal ini, menueutnya, karena Ka’bah memiliki magnet, daya tarik yang sangat kuat.
“Memang haji seakan-akan memiliki daya tarik tersendiri dan Ka’bah itu seperti punya magnet yang begitu kuat pengaruhnya. Barangkali inilah yang lazim disebut panggilan Nabi Ibrahim,” ujarnya.
Menurutnya, orang yang pertama kali bertemu Ka’bah, pasti akan meneteskan air mata.
“Oleh karena itu, ketika orang-orang pertama kali melihat Ka’bah, mau tidak mau meneteskan air mata.”
Semakin banyak orang, nikmatnya ibadah haji semakin berkurang
Kiai Ali Yafie menceritakan pengalamannya berhaji dengan jumlah jemaah yang tak banyak. Menurutnya saat berhaji dulu, kenikmatan lebih terasa. Ia tak perlu berdesak-desakan dan lain sebagainya.
Berbeda halnya dengan sekarang, menurut Kiai Ali, akibat terlalu banyak orang nikmat haji terasa berkurang.
“Apalagi pada zaman dahulu, melakukan ibadah haji terasa sangat nikmat karena belum banyak orang. Tidak seperti sekarang nikmat berhaji terasa berkurang karena begitu padatnya orang yang datang dari segala penjuru dunia. Dahulu dalam kapasitas jamaah haji hanya sekitar dua atau tiga ratus ribu orang saja,” tuturnya.
Haji itu Unik: Siapapun Dapat Ibrahnya
Bagi Kiai Ali Yafie, orang yang berhaji itu mengeluarkan semua daya yang tersimpan. Kiai Ali mengibaratkannya dengan mesin mobil, yang ketika berjalan, menyimpan tenaganya. Tapi saat dibutuhkan, mobil itu bisa berjalan lebih kencang.
Sama seperti orang yang beribadah haji. Menurut Kiai Ali, mereka mungkin tidak pernah merasakan panas sepanas di Arafah dan Mina, atau berjalan sejauh yang perjalanan saat puncak haji. Tapi ketika waktunya Armuzna, mereka menjadi kuat dan bisa tiba-tiba bertenaga.
Hal ini karena saat haji tidak hanya menggunakan fisik, tapi juga hati dan pikiran. Semua bekerja secara simultan. Oleh karena hati juga ikut bekerja, maka orang yang berhaji selalu punya cara untuk mengambil pelajaran dari perjalanan spiritualnya.
“Semua orang akan menghayati pengalaman masing – masing sesuai dengan tingkat intelektualnya. Tetapi hampir tidak ada atau jarang yang tidak bisa memetik pengalaman berharga dari ibadah haji itu. Sebodoh – bodohnya orang datang dari kota , semuanya bisa mengambil manfaat dari pelaksanaan haji,” ujarnya.
(AN)