Sejauh yang saya ingat, Islam bukan makhluk sebatang kara yang ditinggalkan ibunya di depan pintu stranger di ujung malam yang sepi, lantas menangis, dan masih menangis meski sudah dalam pelukan induk barunya.
Pergulatan Islam merupakan akumulasi dari sejarah, intelegensi dan mistifikasi. Mistifikasi atas hal-hal yang berbau historis agaknya menjadi kelaziman yang sangat mengakar dalam kehidupan kita. Karena itu, jamak antropolog dan sejarawan struggling untuk memisahkan antara apa itu sejarah dan mistifikasi yang menyertai agama.
Islam, justru adalah makhluk yang membuka pintu dan berusaha mengembalikan makhluk sebatang kara itu ke pangkuan ibunya.
Dari sini muncul pameo; “Saya adalah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia”, secara sederhana diktum itu ingin mengurai lokalitas yang menjadi bookmark dari pengalaman manusia memeluk agamanya. Dengan kata lain, Islam ternyata bisa dijalankan tidak secara ideologis, melainkan kultural.
Lain kasus dengan mitologi yang hidup di kaum Tengger, ketika Aji Saka, penemu Aksara Jawa, Kalender Jawa, dikisahkan pernah berguru ke Nabi Muhammad Saw dan dipasrahi koprak (buku lontar) dan pangot (pisau untuk menulis di atas lontar), dua identitas Sastra Jawa. Mitologi hidup di kaum Tengger yang abangan ini sekilas menunjukkan sikap apologetik mereka terhadap kalangan santri, dan seolah ingin mengatakan “kami sudah mempunyai ilmu Nabi Muhammad jauh sebelum kalian, kaum santri, mulai naik haji. Islam yang sebenarnya adalah budaya Jawa kami!”
Satu hal yang lebih masuk akal, terjadi di era Sultan Agung Hanyokro Kusumo meski ia tak cukup kuat untuk merebut Batavia dari Belanda, Sultan Agung berhasil menerapkan hukum Islam dan penyesuaiannya (paralelisme) atas kalender Jawa yang dimulai oleh Prabu Ajisaka terhadap kalender Islam–yang dimulai dengan bulan Muharram. Di samping keputusannya untuk menerapkan hukum perkawinan, perceraian, dan waris Islam sebagai pelaksanaan terbatas syari’at, menjadi warisan agung yang masih dipakai bangsa kita.
Dengan begitu Sultan Agung, berhasil mencacah sifat adat masyarakat Jawa dengan mendekap pengaruh hidup masyarakat dalam berburu regulasi berupa syariat yang dilembagakan.
Artikel ini, mula-mula hadir dari rasa takut tak menemukan satu alasan untuk merayakan akhir tahun. Maka artikel ini dihadirkan tidak untuk menjawab perdebatan mengenai peran Islam di kehidupan modern: cari saja di google, sudah banyak sarjana yang melakukan pembacaan kritis untuk mengulas itu. Meski dengan kecenderungan tulisan yang hanya memaksakan unsur normativitas belaka.
Karena itu, artikel ini sengaja ditulis untuk melihat Islam sebagai konstruksi sosial yang terikat dengan trend. Bagaimana Islam dengan setumpuk agensi–tanpa ada institusi ke-Paus-an–mengimbangi persoalan-persoalan sosial. Lantaran Islam, pada awalnya merupakan agama yang membawa narasi keterhubungan antara realitas dan keyakinan.
Seperti yang dialami oleh Jame T Siegel, penulis The Rope of God (1969), sebuah buku klasik yang membahas tentang pemberontakan Aceh di bawah Darul Islam tahun 1950.
Siegel, yang kembali ke Aceh pasca tsunami 2006 itu mengatakan bahwa masyarakat Aceh sudah pulih dari tsunami, simpulan itu muncul usai ia menghabiskan sepiring penuh makanan Aceh dari berbagai dapur: feeling and food.
Menyebut Islam yang terikat dengan trend memunculkan asumsi bahwa Islam terbawa arus. Pasalnya, praktik beragama di Indonesia yang fiqh-oriented, pelan-pelan mengarah pada trend universal (Yuswohady, 2014) dalam arti religion in everyday life as way of life, atau mungkin ada kecenderungan kelompok Muslimism yang menjadi Islam tanpa kemelekatan terhadap Islam itu sendiri (Neslihan Çevik, 2016).
Padahal, banyak kaidah Islam yang melampaui zaman yang karena itu, trend membuat Islam terasa lebih membumi, lebih erat dengan pemeluknya, meminjam Shahab Ahmed (2016), inilah yang disebut dengan practised Islam.
Sederet peristiwa ‘keagamaan’ sepanjang 2024 yang menurut saya relevan, coba saya rangkum dari beberapa sumber: CRCS UGM, PPIM UIN Jakarta, dan ISEAS Yusof Ishak Institute, merupakan sisik-melik peristiwa yang terdiri dari boikot produk Israel, kelas menengah baru, gen islamism, pelecehan seksual, nikah di KUA dan trend pengajian di daerah-daerah. Selain itu, 2024 tidak hanya dinaungi awan tebal belaka, melainkan ada sebuket wacana baru yang layak disengkuyung bersama-sama.
Boikot
Ketika hendak mengajak bicara makhluk beragama rasanya selalu diajak duduk di panggung debat. Pengalaman beragama, sebagaimana halnya, pengalaman makan, minum, dan berak, sebenarnya bisa dilakukan secara soliter. Hanya saja, tata krama sosial tidak membiarkan manusia menang sendiri. Pun memahami tata krama sosial, sebenarnya tidak sesusah menyadari bahwa ada bias dalam praktik boikot. Tapi toh, jamak yang menekan sarafnya sendiri.
Dunia telah mengidap tata krama sosial dan genosida di Palestina atas ulah Israel merupakan laku kekerasan struktural yang telah menyisakan kolam darah dengan kedalaman tak terukur dari jamak warga Palestina yang tak bersalah. Teori perdamaian, sampai akan gulung tikar lantaran dinilai gagal menengahi tragedi kemanusiaan terlalim tersebut.
Sepanjang tragedi tersebut, banyak peristiwa tersangkut, mulai dari ekonomi, geopolitik, hingga ejekan bernada agama.
Pada November 2023 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa boikot produk terafiliasi Israel. Boikot telah menjadi gerakan global yang diinisiasi oleh BDS Movement–komunitas yang aktif sejak 2005. Kebencian dan kegeraman terhadap genosida Israel terhadap warga Palestina menjadi trigger dari resistensi ini. Narasi yang diangkat dari gerakan ini misalnya, “Memakan satu produk MCD, setara dengan satu warga Palestina yang meninggal”.
Fatwa boikot dari MUI, sebagai otoritas agama di Indonesia, disinyalir menjadi ledakan besar gerakan anti-genosida tersebut.
Social Research Populix (2024) merilis temuan bahwa 65% muslim telah memboikot produk berafiliasi Israel, ditambah 25% dari kelompok non-muslim. Jumlah tersebut menanam argumentasinya melalui sebuah dalih melemahkan dukungan ekonomi Israel dan solidaritas kemanusiaan.
Meski gerakan tersebut dinilai cukup berhasil, tapi perlu disadari, bahwa boikot masih memiliki bias-nya sendiri. Pengalaman boikot hanya terjadi justru di lingkaran kebutuhan pokok rumahan yang rata-rata dijual di minimarket, swalayan hingga toko kelontong di pelosok-pelosok desa. Sebagian memilih barang substitusi dari kebutuhan awal yang lazim dipakai. Sebagian yang lain tak mampu beralih.
Bias yang paling kentara adalah substitusi dilakukan dengan hanya melihat satu produk yang possible untuk benar-benar ditemukan penggantinya. Praktis, corak yang ditinggalkan dari boikot produk ini lebih dekat dengan nuansa persaingan industri daripada soliditas dan perjuangan kemanusiaan.
Middle Income Trap
Tidak semua negara bisa melewati fase middle income trap, sebagian tumbang dan memilih terbelakang. Kita hidup di dunia, bangkit dengan nasihat dan wejangan. Nasehat belajar dari kegagalan terdengar arif tapi lebih tidak masuk akal daripada nasehat belajar dari keberhasilan, karena tinggal meniru.
Kelas menengah merupakan kelompok struktural yang memiliki pengaruh ekonomi-politik, dan kerap dikelola secara politis.
Pada tahun 2024, kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan dari 21,45% menjadi 17,13% dari total penduduk. Muara penurunan ini bertolak pada resiliensi pasca Pandemi Covid-19 yang dibarengi dengan menyempitnya lapangan pekerjaan dan inflasi yang tinggi.
Hal ini membuat daya beli masyarakat melemah, kesenjangan sosial antara kelompok rentan, miskin dan kaya semakin kontras.
Secara definisi, kelas menengah telah berkembang cukup masif. Gus Dur (1990) dalam tulisan “Indonesia’s Muslim Middle Class: An Imperative or Choice?” menandai pergeseran dengan menganjurkan pandangan mengenai kelas menengah di Indonesia sebagai “entrepreneurial nature” yang memiliki kuasa terhadap lahan (land control) guna menganeksasi perubahan sosial, ekonomi dan politik nasional. Mereka adalah kelompok yang menjembatani represi kolonial: nasionalis dan nasionalis muslim.
Setelah itu muncul apa yang disebut Mahasin (1990) sebagai “priyayisasi of the santri” yang terbagi menjadi tiga kategori: the member of state bourgeoisie (the upper segment), professionals (the middle segment), dan kelas menengah perkotaan (the lower segment). Dan, pasca Reformasi lahirlah New Middle Class Muslim yang memiliki pengaruh secara sosial, ekonomi, dan barangkali politik untuk memproduksi gaya hidupnya sendiri (identities, lifestyles, and networks).
Kelas menengah lahir dari watak ekonomi yang menjunjung asset daripada passive income yang hanya diidap oleh mereka yang mapan. Dari sekian definisi, ekspansi definisi kelas menengah ini, justru memperlebar kerawanan ekonomi, bayangan berembun akan masa depan, serta ketimpangan yang kian terbelah cukup lebar antara si kaya dan miskin, di samping terselip sedikit hasrat untuk mengabulkan mimpi hidup berkecukupan yang kadang tiba-tiba terkubur begitu saja.
Tata kelola yang buruk, tidak jujur, dan korupsi merupakan segelintir faktor yang menjebak negara maju.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan, menganggap persoalan jebakan kelas menengah ini bisa diatasi dengan asas ekonomi syariah (Bisnis.com, 2021). Seorang ilmuwan Bank Dunia, mensifati administrasi hanya berbasis moral?
(Bersambung)