Pada dasarnya Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia. Ya, selayaknya makhluk Allah seperti kita. Namun, beliau bukanlah manusia biasa, melainkan manusia istimewa pilihan Allah SWT. Akhlaknya adalah al-Qur’an, wajahnya adalah sebaik-baik rupa. Sehingga sudah seharusnya kita menghormati Nabi Muhammad SAW.
Lantas bagaimana cara menghormati Nabi muhammad SAW? Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Yang Hilang dari Kita: Akhlak menjelaskan, “Sopan santun terhadap Nabi Muhammad SAW menuntut sikap menempatkan beliau pada tempat yang semestinya.”
Penempatan sikap ini bisa dilihat sebagaimana Allah swt memperkenalkan Nabi saw dalam firman-Nya di surat al-Kahfi ayat 110: “Manusia seperti kamu yang menerima wahyu.” Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah manusia seperti kita, namun Nabi SAW adalah manusia pilihan yang menerima wahyu dari Allah.
Kata manusia dalam al-Kahfi ayat 110 menggunakan kata basyar. Dalam al-Qur’an, manusia disebut dengan banyak kata: basyar, insan, bani Adam, khalifah. Di mana, setiap kata berarti manusia, namun memiliki makna yang berbeda.
Kata basyar berarti manusia yang maknanya menunjuk pada sifat-sifat fisik dan psikis manusia sesuai fitrah kemanusiaan yang sama tanpa perbedaan dengan manusia lain. Manusia semua sama. Punya ciri fisik mata, kaki, dan seterusnya. Jadi, surat al-Kahfi ayat 110 menjelaskan bahwa Nabi SAW adalah manusia yang sama seperti manusia lainnya, jika dilihat dari sudut pandang sebagai manusia.
Prof. Quraish Shihab menjelaskan, “…sebagai basyar/fitrah kemanusiaan beliau tidak berbeda dengan manusia lain, namun sebagai sosok yang menerima wahyu–nabi dan rasul–beliau berbeda dengan manusia lainnya. Lalu karena budi pekerti, beliau mencapai peringkat tertinggi dan jasa beliau menyampaikan dan menjelaskan ajaran, maka tentulah berinteraksi dengan beliau serta penghormatan terhadapnya harus melebihi bentuk interaksi dan penghormatan kepada manusia-manusia biasa, termasuk ayah-bunda kita, bahkan nabi-nabi selain beliau.”
Dalam surat al-Ahzab ayat 6 dijelaskan: “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah Ummahat al-Mu’minin.” Demikian, selayaknya seorang muslim dalam menghormati dan mencintai Nabi SAW.
Samsul Ma’arif dalam bukunya Berguru pada Sulthanul Auliya’: Kisah dan Hikmah dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Sang Pemimpin Para Wali menjelaskan, “Sombong kepada Rasulullah adalah, yaitu tidak menganggap sama sekali aturan-aturan Rasulullah saw, bahkan menganggap Rasulullah seperti manusia biasa yang tak perlu diperhatikan ucapan-ucapannya. Hadis-hadis beliau dianggap tidak mengandung hikmah dan pelajaran bagi manusia. Ia lebih mementingkan nalarnya sendiri.”
Sebagai Nabi dan Rasul Allah, maka penghormatan kepadanya tak bisa kita samakan dengan penghormatan pada manusia lain. Dalam menyikapi perkataan Nabi SAW, termasuk kurang penghormatan apabila muslim menyamakan perkataannya (apalagi firman Allah SWT dalam al-Qur’an) dengan perkataan para ahli pikir, apalagi sampai meremehkannya. Sebab sebagai muslim yang meyakini Nabi saw merupakan Rasul Allah, pastinya meyakini bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah swt dan perkataan atau hadis-hadis Nabi saw adalah juga termasuk petunjuk yang berasal dari-Nya.
Salah satu cara berakhlak menghormati Nabi Muhammad SAW adalah dengan bersalawat padanya. Allahumma shalli ala sayidina Muhammad wa ala alihi sayidina Muhammad, dan banyak lagi redaksi atau macam salawat Nabi Muhammad saw.
Firman Allah swt dalam al-Ahzab ayat 55 menegaskan bahwa Allah sendiri dan para malaikat bersalawat kepada Nabi Muhammad: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Ketika nama Nabi Muhammad SAW disebut dan seseorang enggan untuk bersalawat padanya, muslim yang seperti ini disebut sebagai orang yang kikir. Sebagaimana dalam Hadis yang diriwayatkan Imam al-Hakim: “Sungguh, yang bakhil adalah yang namaku disebut di sisinya lalu dia tidak bersalawat kepadaku.”
Adapun cara berakhlak menghormati Nabi saw adalah mencintai atau menghormati keluarganya. Salah satu cara umat muslim menghormati keluarga Nabi Muhammad SAW tergambar pada penyebutan bagi keturunannya dengan menggunakan kata “habib”, yang secara sederhana berarti yang dihormati atau yang dicintai.
Nur Solikhin dalam bukunya “Para Habib Terkemuka di Indonesia: Amalan dan Kebiasaan-kebiasaannya” menjelaskan, “Bagi orang Arab-Indonesia, habib merupakan gelar bangsawan Timur Tengah. Ia merupakan keturunan Rasulullah saw melalui Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Habib yang datang ke Indonesia mayoritas keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah (Putri tercinta Nabi Muhammad saw).”
Selain menghormati keturunan Nabi Muhammad saw, juga harus menghormati keluarganya–baik itu orang tua dan pamannya. Sehingga menurut Prof. Quraish Shihab, orang-orang yang menduga kalau ayah dan ibunya masuk neraka karena belum muslim, mereka adalah orang yang tidak memiliki sopan santun. Demikian juga dalam konteks menjaga perasaan Nabi SAW, tidak elok mendiskusikan apa pamannya, Abu Thalib, masuk surga atau neraka.
Bayangkan, bagaimana perasaan Nabi SAW seandainya mengetahui kita mendiskusikan perihal orang tua dan pamannya, apakah mereka masuk surga atau neraka. Jelas itu termasuk sikap yang tak menjaga perasaan Nabi SAW. Maka alangkah baiknya, jika meninggalkan diskusi atau perdebatan yang demikian. Selain karena putusan seseorang masuk surga atau neraka itu hanya milik Allah SWT.
Selain itu, masih banyak lagi sikap berakhlak menghormati Nabi Muhammad SAW. Quraish Shihab mengingatkan dalam buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak: “Perlu ditambahkan menghormati dan mencintainya bukan berarti menghadapi setiap yang melecehkan beliau dengan sikap yang berlebihan, apalagi bisa jadi pelecehan itu karena mereka belum mengenal atau bahkan diakibatkan oleh sikap kasar yang diperagakan oleh sementara orang atas nama Islam.”
Dalam satu kisah yang masyhur, Abu Bakar, sahabat Nabi SAW yang amat menghormati dan mencintainya, pernah memberi makan Yahudi tua yang buta. Tiba-tiba, Yahudi itu malah menghina Nabi SAW. Menanggapi hinaan tersebut, Abu Bakar tidak bersikap berlebihan dan tidak bersikap kasar sama sekali. Beliau berusaha bersikap lembut, lantas mengatakan pada orang buta itu kalau yang selama ini sering memberinya makan adalah Nabi Muhammad SAW. Sikap bijak yang kemudian berbuah masuk Islamnya orang tua itu.
Saat peristiwa Fathu Makkah (Penaklukkan Mekah), Nabi Muhammad SAW memaafkan semua orang yang pernah menyakitinya. Tak sedikit pun ada setitik dendam di hatinya. Oh, Nabiku, kaubenar-benar manusia suci dan mulia. Kesombongan dan dendam tak pernah menghinggap di hatimu.
Sikap bijak dan penuh kasih sayang Nabi Muhammad saw merupakan contoh teladan umat muslim dalam kehidupan. Jika akhlak Nabi Muhammad SAW sedemikian mulianya, kita sebagai umatnya tidak punya alasan sama sekali untuk tidak menirunya, barang sedikit.