Sejarah menunjukkan Rasulullah tidak hidup dalam lingkungan yang monolitik. Rasulullah tinggal dan menetap di lingkungan yang plural. Beliau hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, suku yang plural, dan karatekter masyarakat yang berbeda-beda pula. Sangat dimafhumi ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, yang pertama kali dilakukan adalah mengikat perbedaan itu dengan perjanjian dan kesepakatan. Ini penting diupayakan agar tidak terjadi konflik dan pertengkaran antara satu agama dengan agama lain, satu suku dengan suku yang lain. Apalagi masyarakat Arab pada waktu itu, cara mempertahankan hidup dan martabatnya ialah dengan perang.
Walaupun ada perang dengan pemeluk agama yang berbeda pada masa itu, penyebabnya bukanlah semata karena berbeda keyakinan dan agama. Ada penyebab lain di luar urusan keyakinan yang membuat perang itu Meletus. Di antaranya adalah pengkhiatan. Perjanjian yang dikhianti biasanya menjadi asal muasal perperangan. Andaikan perbedaan keyakinan yang menyebabkan perang, tentu sudah sejak dulu Nabi memerangi pamannya sendiri, Abu Thalib. Namun faktanya, Nabi tidak pernah memerangi dan menyakiti pamannya, sekalipun berbeda keyakinan.
Selain itu, sejarah menunjukkan Nabi menjalin hubungan baik dengan pemeluk agama lain. Nabi pernah menerima bantuan logistik perang dari pemuka Yahudi. Namanya Mukhairik. Bayangkan, Nabi tengah berperang, yang memberi bantuan adalah orang Yahudi. Andaikan agama menyuruh memerangi Yahudi karena keyakinannya, pasti Nabi tidak akan mau menerima bantuan dari Mukhairik. Nabi juga tidak memerangi mertuanya yang beragama Yahudi, Huyay bin Akhtab.
Ali Mustafa Yaqub mengingatkan, perbedaan agama bukan menjadi alasan perang pada masa Nabi, religion is not a reason for battle. Dalam perperangan sekalipun, agama Islam melarang untuk membunuh warga sipil. Yang diperangi hanyalah orang yang memerangi.Sementara rakyat sipil yang tidak ikut perang, walaupun dari pihak musuh, seperti pemuka agama, anak-anak, dan perempuan, haram untuk dibunuh.
Tradisi hidup berdampingan ini masih terus berlanjut pasca Nabi Wafat, khususnya pada masa kekhalifahan Islam. Umar bin Khattab misalnya, beliau pernah mengajak orang Yahudi untuk kembali ke Yerusalem setelah mereka diusir oleh kerajaan Romawi, dan Umar bin Khattab memberi jaminan kebebasan kepada mereka untuk menjalankan agama mereka. Beberapa abad berikutnya, Shalahuddin Al-Ayyubi, atau Saladin, juga pernah mengundang orang Yahudi untuk kembali ke Yerusalem, setelah dia mengalahkan tantara Salib yang sebelumnya mengusir orang Yahudi. Ketika Islam menguasai Andalusia, Muslim dan Yahudi memiliki hubungan yang sangat baik dan keduanya bisa hidup damai.
Memberi perlindungan terhadap pemeluk agama lain merupakan ajaran dari Rasulullah SAW. Karenanya, yang melakukan hal itu, tidak hanya Umar bin Khattab, tetapi juga dilakukan oleh sehabat yang lain, khalifah sebelum dan setelahnya. Ahmad ‘Arafah dalam Al-Tasamuh al-Islami menyebut beberapa nama pemimpin, selain Umar bin Khattab, yang memberi perlindungan terhadap non-Muslim.
Usamah bin Zaid diberi amanat oleh Khalifah Abu Bakar untuk tidak membunuh para pemuka agama dan memberi kebebasan kepada mereka untuk menjalankan ibadah. Khalid bin Walid berjanji kepada penduduk Hirah untuk tidak menghancurkan gereja mereka, dan tidak akan melarang mereka untuk membunyikan lonceng gereja dan mengeluarkan tanda salib ketika hari raya. Sa’ad bin Abi Waqqash menjauhkan pasukannya dari kampung non-Muslim, tidak menjadikan wilayah perkampungan mereka sebagai medan tempur, sehingga penduduk di kampung itu tetap aman, dan tidak terkena dampak perang.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menegaskan kepada bawahannya untuk tidak menghancurkan rumah ibadah pemeluk agama lain dan memberi keamanan kepada mereka. Amr bin Ash ketika menguasai Mersir juga memberi keamanan dan perlindungan terhadap gereja dan simbol peribadatan mereka. Amr bin Ash tidak pernah ikut campur urusan pemeluk agama lain dan memberi kebebesan pengelolaan gereja kepada mereka. Sampai akhir kekuasannya, Amr bin Ash tidak pernah merusak dan menghancurkan rumah ibadah pemeluk agama lain.
Pada masa kekhalifahan Turki Utsmani, pemeluk agama Kristen dan Yahudi diberi kebebasan untuk menjalankan ritual keberagamaan mereka. Penting juga dicatat, selama Holokaus, yaitu genosida atau pembunuhan sistematis terhadap jutaan Yahudi Eropa, banyak Muslim di Balkan dan wilayah lain menyelamatkan orang Yahudi dari serbuan Nazi. Bahkan, Abdol Hossein Sardari, duta besar Iran di Paris pada masa perang, mempertaruhkan hidupnya untuk menyelematkan ribuan orang Yahudi dengan memberi paspor Iran kepada mereka.
Karenanya, menurut Mohammad Hashim Kamali, masyarakat Muslim adalah masyarakat yang pluralis, terbuka dengan keberagaman, menghargai perbedaan, dan bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT