Bom Takjil, Cadar dan Guyonan Tak Perlu

Bom Takjil, Cadar dan Guyonan Tak Perlu

Bom Takjil di Malang malah membuat kisruh dan stigma, tidak segala hal bisa dibuat guyon

Bom Takjil, Cadar dan Guyonan Tak Perlu
Bom Takjil muncul, katanya, sebagai pencair suasana oleh sekelompok muslimah di Malang. Benarkah hal seperti ini penting dilakukan?

Muncul sekelompok yang membagikan takjil tapi dengan memakai kata ‘Bom Takjil’ di Malang, Jawa Timur kemarin. Alasannya, untuk mencairkan suasana setelah bom di Surabaya tempo hari. Saya paham, bahwa guyonan itu bisa mencairkan suasana. Tapi sekaligus guyonan juga perlu beberapa hal yang menjadi modal dalam penyampaiannya.

Guyonan yang baik adalah yang mampu membuat orang tertawa dari lintas sekat sosial dan sejenisnya, tanpa ada yang merasa tersakiti. Maka diperlukan sensitifitas sekaligus kecerdasan dalam meramunya.

Guyonan juga biasanya hanya mampu dipakai satu kali, karena setelahnya jika disampaikan ulang akan terasa garing.

Lagi-lagi mereka yang mampu membuat guyonan, biasanya selain dibutuhkan kecerdasan (otak maupun batin) juga diperlukan inovasi. Contoh konkrit manusia yang mendekati keidealan dalam meramu guyonan yang cerdas adalah Gus Dur.

Dan biasanya, semakin tinggi ilmu seseorang yang dimiliki, semakin mahir pula dia membuat guyonan-guyonan yang cerdas.

Tapi, foto yang viral tentang bom Takjil adalah adalah contoh guyonan yang gagal. Dua kerugian sekaligus yang didapat.

Pertama, alih-alih “memulihkan” stigma yang sedang coba dijernihkan, dan malah orang tidak akan fokus di hal tersebut, yang kedua adalah “image” seperti tidak empatinya mereka kepada korban bom kemarin.

Guyonan ini sejenis dengan mereka yang suka membuat materi bercandaan dengan kasus perkosaan atau bencana. Hal yang sangat tidak layak disebut sebagai guyonan.

Berbicara mengenai sensifitas, tentu bukan perkara mudah.

Dia juga bukan perkara yang ujug-ujug datang.

Mungkin sensitifitas bisa terbentuk saat kita berusaha mengerti bagaimana sebuah penderitaan dirasakan. Hal yang paling mudah adalah memakai perumpaan tentang, misalnya, peristiwa itu bisa saja terjadi dengan keluarga kita.

Saya mencoba berbaik sangka, tujuan mereka membagikan takjil gratis sembari mengajak untuk tidak mendiskrimasi hanya karena persoalan simbol itu tentu baik, tetapi sambil memasang spanduk bertuliskan yang tidak perlu bahkan tidak sensitif itu mending tidak perlu diteruskan
.

Jika kembali kepada persoalan ajakan tidak mendiskrimasi kepada para pemakai niqab, saya jadi teringat dengan sosok mbak Hesti Sutrisno dari Pamulang. Beliau pemakai niqab dan tidak ngoyo harus meminta dipeluk atau membawa spanduk saat pembagian takjil.

Mbak Hesti Sutrisno, lebih memilih memelihara kucing dan anjing yang terlantar di jalanan untuk dipelihara dan diberi makan.

Bukti bahwa dakwah untuk menebar kasih sayang bisa dilakukan kepada siapa saja dan apa saja, termasuk kepada mereka yang ditelantarkan.

Kembali kepada persoalan guyonan tadi,
Semoga kita senantiasa diberikan sensitifitas untuk membedakan mana yang pantas dibuat guyonan dan mana yang tidak.