Ketika Para Siswa Sadar Perbedaan Agama: Saatnya Menyemai Toleransi di Bangku Sekolah

Ketika Para Siswa Sadar Perbedaan Agama: Saatnya Menyemai Toleransi di Bangku Sekolah

Anak-anak yang sadar dengan perbedaan agama, jika tidak mendapatkan pendidikan dan jawaban yang tepat, maka bibit intoleransi bisa jadi muncul. Inilah pentingnya pembelajaran toleransi di bangku sekolah.

Ketika Para Siswa Sadar Perbedaan Agama: Saatnya Menyemai Toleransi di Bangku Sekolah
Sumber: Gettyimage

Ketika saya tengah mengajar siswa-siswa muslim di sebuah sekolah, seorang pelajar Kristen meminta izin masuk untuk mengambil peralatan tulisnya yang tertinggal. Di tempat saya mengajar, saat kelas agama, para pelajar memang dibagi berdasarkan kelas yang sesuai kepercayaan masing-masing.

Melihat teman non-muslimnya masuk, muridku berucap padanya “You’re not muslim,” kemudian beberapa siswa bersama-sama melafalkan syahadat ke arah kawan Kristennya itu, seolah-olah mengajaknya masuk Islam. Tentu saja, mereka melakukan itu hanya sebagai candaan.

Pada waktu lainnya, seorang siswa Budhis yang berpapasan dengan saya tiba-tiba berucap “Don’t say salam to me. I am not muslim.” Di lain kesempatan, anak-anak juga sering bertanya mengenai perbedaan agama, serta konsep ketuhanan dari agama-agama lain yang dianut kawan-kawan mereka.

Beberapa kejadian ini menyadarkan saya bahwa anak setingkat Sekolah Dasar pun sejatinya telah “melek” terhadap isu agama. Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan dan jawaban yang tepat, bibit-bibit intoleransi bisa saja muncul hingga kemudian berujung pada perpecahan.

 

Upaya menyemai toleransi di bangku sekolah

Toleransi harus ditanamkan pada anak sedini mungkin, tak terkecuali di lingkungan sekolah. Pendidikan yang bernuansa toleransi sejatinya tersirat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 pasal 4 tahun 2003: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”

Berdasarkan undang-undang ini, sebuah institusi pendidikan perlu menanamkan dan menyemai toleransi di lingkungan sekolah. Tentunya yang cocok dan bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing sekolah.

Di sekolah tempat saya mengajar misalnya, setiap Jumat diadakan “Friday prayer” (doa bersama pada hari Jumat) untuk semua agama, tepat di waktu shalat Jumat. Para murid muslim akan menggelar shalat Jumat berjamaah di aula, siswi muslimah melaksanakan shalat zuhur berjamaah di mushala. Demikian pula para pelajar Kristen, Katolik, dan Budha. Mereka juga akan menggelar doa bersama dibimbing oleh guru agama masing-masing.

Sekitar setengah jam sebelum waktu shalat Jumat, murattal Al-Qur’an akan diputar di aula sekolah. Suaranya tentu memenuhi aula dan dapat didengar siapapun. Setiap ada perayaan-perayaan keagamaan, lingkungan sekolah juga akan didekor sesuai dengan perayaan tersebut.

Upaya ini dilakukan agar para siswa dapat memahami bahwa mereka hidup di lingkungan yang amat sangat beragam, tidak hanya dari aspek agama, tetapi juga suku, bahasa, dan budaya. Mereka perlu mengetahui bahwa wilayah sekolah adalah tempat aman bagi setiap pemeluk agama. Sehingga tidak boleh ada diskriminasi terhadap sesama umat beragama.

 

Peran pendidik sebagai penyemai toleransi di kalangan siswa

Sri Rejeki dan Nurafiah mengutip Tilaar dalam “Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional” mengenai tiga langkah untuk menerapkan toleransi kepada siswa. Pertama, membentuk dan memupuk toleransi. Pendidik sangat berperan penting pada langkah ini, misalnya guru harus senantiasa aktif memberikan informasi positif kepada siswa dan memiliki sifat peka terhadap berbagai perbedaan, guru tidak boleh membiarkan siswa mengucapkan perkataan dan berbuat diskriminatif.

Guru mendorong siswa untuk bergaul dan berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai ras, agama atau budaya. Guru juga harus mencerminkan sikap toleran, karena ia adalah role model bagi murid-muridnya.

Kedua, kembangkan apresiasi terhadap perbedaan. Usaha ini dapat dilakukan dengan cara melatih siswa untuk bisa mengenali suatu perbedaan sejak dini. Tugas guru adalah memberi pemahaman kepada siswa bahwa perbedaan bukanlah masalah, adanya perbedaan justru membuat kehidupan kita semakin berwarna.

Tak hanya itu, bantu juga siswa untuk melihat persamaan. Sebab, di balik perbedaan yang kita miliki, tentunya akan ada satu bahkan lebih persamaan dari aspek lainnya. Ketiga, mengabaikan stereotip dan bebas dari prasangka. Misalnya, ketika terjadi suatu prasangka antar sesama murid, mintalah mereka untuk memeriksanya terlebih dahulu, kemudian ajak mereka berdiskusi bersama.

Selain tiga langkah ini, guru juga perlu memberikan pemahaman kepada para siswa untuk saling menghormati perbedaan agama, di antaranya dengan cara:

  1. Tidak membeda-bedakan teman yang berbeda keyakinan.
  2. Jangan memaksa orang lain untuk mengikuti suatu agama tertentu.
  3. Jangan mengganggu umat agama lain yang sedang beribadah.
  4. Tidak menyinggung atau menghina keyakinan dan sesembahan umat yang berbeda dengan kita.
  5. Menghormati dan menghargai perayaan hari besar umat agama lain.

Melalui berbagai upaya ini, sikap toleransi diharapkan bisa tumbuh di kalangan para pelajar, bahkan dari level pendidikan yang paling bawah sekalipun. Ajak siswa untuk terus berlatih menerima perbedaan. Sebab, toleransi tidak membutuhkan teori belaka. Ia perlu dipraktikkan dalam setiap aspek kehidupan. Jika di lingkungan sekolah murid-murid sudah biasa bertoleransi terhadap sesama. Di lingkungan yang lebih luas, mereka tentu akan terbiasa dan semakin mudah menerima dan menghargai perbedaan. (AN)

 

* Tulisan ini merupakan bagian dari program alternatif naratif yang dilaksanakan oleh Podcastren dan didukung oleh Indika Foundation