Penggundulan Siswi Akibat Tidak Pakai Ciput Menciderai Pancasila

Penggundulan Siswi Akibat Tidak Pakai Ciput Menciderai Pancasila

Peristiwa penggundulan siswi ini menambah daftar praktik-praktik intoleransi yang ada di instansi pendidikan di Indonesia dan menciderai nilai-nilai Pancasila.

Penggundulan Siswi Akibat Tidak Pakai Ciput Menciderai Pancasila

JAKARTA, ISLAMI.CO – Seorang guru Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Sidodadi, Lamongan, Jawa Timur, menggunduli rambut sejumlah siswi kelas IX. Penyebabnya, sejumlah siswi tersebut tidak menggunakan ciput atau dalaman kerudung saat mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Kepala SMPN 1 Sukodadi Harto, mengatakan bahwa penggundulan siswi itu berlangsung pada Rabu (23/8/2023) ketika siswa kelas IX hendak beranjak pulang.

Peristiwa penggundulan siswi ini menambah daftar praktik-praktik intoleransi yang ada di instansi pendidikan di Indonesia dan menciderai nilai-nilai Pancasila. Pew Research Institute mengeluarkan laporan tahunan dari 2007-2020 mengenai kebijakan pembatasan dan persengketaan sosial terkait agama yang menunjukkan peningkatan hampir setiap tahunnya di seluruh dunia. Tidak hanya di negara-negara mayoritas Islam, namun juga di Eropa.

Indonesia sendiri masuk dalam peringkat 25 teratas dari 198 negara dengan tingkat permusuhan agama (Social Hostilities Index/SHI) dengan kategori “high”. Ini mengindikasikan bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat Indonesia masih sangat rendah.

Merespon isu di atas, INFID bekerjasama dengan AMAN Indonesia dan WGWC, berinisiasi menyelenggarakan WGWC Talk #28 dengan mengusung tema “Bukankah Lembaga Pendidikan Harusnya Jadi #RuangAmanBagiSemua?” melalui zoom webinar pada hari Rabu, 30 Agustus 2023.

“Penggunaan jilbab merupakan urusan masing-masing individu. Ketika dipaksakan dalam ruang dan lembaga publik, maka ini merupakan kekerasan dan menjadi persoalan bersama”, tegas Abdul Waidl, Program Manager HAM & Demokrasi INFID. INFID sebagai lembaga yang berkomitmen untuk mendorong kebijakan yang inklusif mengecam perilaku guru dan lingkungan sekolah serta lembaga pendidikan yang diskriminatif.

Kasus intoleransi ini menjadi alarm keras bagi regulasi pemerintahan. Ifa Hanifah Misbach, psikolog dan pendamping korban, mengatakan permasalahan intoleransi di dunia pendidikan seperti ini terjadi secara sistematis akibat dari penerapan beberapa Permendikbud dan Peraturan Daerah (Perda) yang terindikasi menjadi jembatan awal terjadinya kasus diskriminasi dan intoleransi berbasis agama.

“Contohnya adalah kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kurikulum 13. Di poin 1.5 dari KD tertulis terbiasa berpakaian sesuai dengan syariat Islam dan di poin 2.5 tertulis menunjukkan perilaku berpakaian sesuai dengan syariat Islam”, beber Ifa. Ia juga menemukan aturan yang mengontrol tubuh perempuan dalam Permendikbud No 45/2014 dan No 50/2022. Sejauh ini, Ifa sudah menemukan 73 Perda diskriminatif di 24 Provinsi di Indonesia.

“Adanya aturan-aturan pemerintah yang diskriminatif artinya ada pihak-pihak dengan ideologi tertentu yang terus memaksakan aturan ini diterapkan secara struktural dan sitematis. Maka kita harus tetap mengawal aturan ini. Jangan sampai negara Indonesia mengalami apa yang dialami oleh Afghanistan dan Iran sekarang” tukas Ifa.

Realita tersebut dialami oleh Widiya Hastuti, salah satu narasumber dan juga seorang penyintas. Ia menceritakan pengalamannya saat mengalami tindak intoleransi saat ia masih menjadi siswi di salah satu SMA di wilayah Aceh. Ia mengatakan bahwa aturan pemaksaan penggunaan model pakaian tertentu bagi perempuan disana tidak hanya berlaku di sekolah, tapi juga berlaku di kehidupan bermasyarakat. Hal itu dikarenakan Aceh menerapkan sistem syariat Islam/kanon yang mengharuskan wanita berpakaian tertentu di lingkungan masyarakat.

“Saat SMA dulu, ada kewajiban untuk para siswi supaya memakai pakai rok panjang, harus pakai baju berlengan panjang, wajib kerah cina, dan pakai jilbab dan ciput. Selain itu juga harus pakai 2 pin untuk jilbab dan baju, legging, dan kaos kaki panjang. Aturan ini akan dipantau terus dan kalau saat dirazia ketahuan tidak ikut aturannya, maka harus siap-siap dapat hukuman dari guru” ucap Widiya.

Narasumber lainnya, Anis Farikhatin, yang merupakan perwakilan guru SMA/K PIRI Yogyakarta, melihat perspektif para guru yang masih belum sensitif gender. Menurutnya, kasus pemaksaan pemakaian jilbab atau busana tertentu di sekolah, seperti yang Widiya alami, disebabkan karena kebanyakan lembaga pendidikan di Indonesia masih berangkat dari cara pandang agama yang fikih-oriented dan cara pandang bias gender yang melihat perempuan sebagai sumber fitnah dan dibatasi geraknya.

“Seringkali semangat guru agama adalah semangat dakwah. Tapi ia lupa bahwa itu ruang publik dan bahkan sekolah negeri. Sekolah negeri kan sekolah pemerintah dengan berbagai macam latar belakang yang dimiliki siswanya. Maka, pemaksaan untuk berpakaian sesuai agama tertentu jelas mencederai prinsip kesetaraan hak dan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan yang diatur oleh negara” ujar Anis.

Kekhawatiran Anis terkait minimnya kalangan masyarakat yang sadar terhadap isu intoleransi beragama juga menjadi salah satu concern Rina Tiarawati. Rina merupakan pegiat dan pendamping korban perundungan. Ia sudah lama melakukan kampanye untuk menolak kekerasan seksual lewat berbagai platform media sosial popular seperti Facebook dan TikTok. Menurut Rina, kasus intoleransi seperti yang terjadi di SMP Negeri di Lamongan disebabkan adanya penafsiran tunggal terhadap ajaran agama.

“Kita ingin kampanye bahwa memakai jilbab itu adalah sebuah pilihan, bukan paksaan. Orang yang tidak berjilbab itu bukan berarti belum atau akan berjilbab di kemudian hari, tapi bisa jadi memang ia memilih untuk tidak berjilbab, dan kita semua wajib untuk menghormati pilihannya” jelas Rina.

Rina mengajak masyarakat untuk menanamkan kesadaran untuk menghormati pilihan individu dan melawan sudut pandang yang intoleran secara masif di media sosial melalui penggunaan tagar bersama seperti #JilbabituPilihan & #BukanTakberartiBelum.

Pemerintah sudah waktunya mengevaluasi kembali regulasi-regulasi di wilayahnya dan menajamkan sudut pandang yang menghormati HAM secara sistemik ke dalam turunan peraturan dan institusi publik. Merupakan sebuah kemunduran bangsa saat regulasi pemerintah justru tidak sejalan dengan nilai-nilai pluralisme Pancasila yang menjadi landasan negara. [NH]

Baca JugaGuru SMP Botaki 12 Siswi Efek Standarisasi Jilbab, Tamparan Keras Dunia Pendidikan Kita