Beberapa hari yang lalu, seseorang bertanya di forum diskusi online “Apakah daging hewan yang disembelih perempuan halal dimakan?” Sesaat saya mengernyitkan dahi, mempertanyakan mengapa orang tersebut sampai meragukan kehalalan sembelihan yang dilakukan perempuan.
Bagi masyarakat Indonesia, perempuan memang tidak lazim menyembelih hewan, apalagi hewan kurban. Pasalnya, memotong hewan memang terkesan ekstrem dan membutuhkan tenaga ekstra. Sehingga dianggap lebih cocok dilakukan laki-laki.
Pertanyaan tentang kebolehan perempuan menyembelih hewan juga termaktub dalam Fatāwā al-Lajnah ad-Dāimah lil Buhūts al-‘Ilmiyah wal Iftā. Dituliskan bahwa ada seorang lelaki Sudan yang berkunjung ke Arab Saudi. Tatkala ia berada di Selatan Arab, ia keheranan melihat perempuan muslimah menyembelih kambing. Sembelihan itu bahkan dimakan juga oleh para lelaki. Sehingga ia pun turut mempertanyakan keraguannya itu.
Lalu bolehkah perempuan menyembelih hewan? Apakah hewan yang disembelih perempuan halal dimakan?
Mengenai persoalan ini, para ulama mengacu pada hadis shahih riwayat Ka’ab bin Malik. Salah satunya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
أنَّ امْرَأَةً ذَبَحَتْ شَاةً بحَجَرٍ، فَسُئِلَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عن ذلكَ فأمَرَ بأَكْلِهَا
“Bahwasanya ada seorang perempuan menyembelih domba menggunakan batu. Maka ditanyakanlah kepada Nabi SAW mengenai hal itu. Beliau kemudian memerintahkan untuk memakan sembelihan tersebut” (Shahih al-Bukhari no 5504)
Hadis ini juga diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majjah no 3182 dengan sedikit perbedaan redaksi:
أَنَّ امْرَأَةً ذَبَحَتْ شَاةً بِحَجَرٍ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ ﷺ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا
“Bahwasanya ada seorang perempuan menyembelih domba menggunakan batu. Maka ditanyakanlah perkara tersebut kepada Rasulullah SAW. Beliau tidak melihat ada yang salah dengan itu” (Ibnu Majah no 3182)
Hadis-hadis ini menceritakan tentang seorang budak perempuan Ka’ab bin Malik yang bertugas menjaga ternak Ka’ab di Sal’in, sebuah daratan tinggi di Madinah. Saat sedang menggembala, perempuan itu menemukan seekor domba yang sekarat. Ia lalu memecahkan batu dan menajamkannya, kemudian menyembelih domba itu menggunakan batu.
Begitu Ka’ab mengetahui peristiwa tersebut, ia berkata kepada keluarganya “Jangan makan sembelihan ini sampai kita tanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW.” Maka, diutuslah seseorang untuk menanyakannya kepada Nabi Muhammad SAW. Rupanya, beliau tidak melihat ada yang salah dengan hal itu. Bahkan beliau memerintahkan keluarga Ka’ab untuk memakan sembelihan itu.
Dalam Kitab Ihda ad-Dibājah bi Syarhi Sunan Ibnu Majah dijelaskan bahwa hadis ini menunjukkan dua hukum. Pertama, perempuan diperbolehkan untuk menyembelih hewan. Kedua, diperbolehkan menyembelih hewan menggunakan batu (yang tajam).
Imam al-Mawardi dalam al-Hāwi menyatakan “Perempuan dibolehkan menyembelih hewan sebagaimana laki-laki. Tidak ada kemakruhan.” Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah Muhadzab (bab 76-jilid 9) juga menuliskan kebolehan perempuan menyembelih hewan, tanpa khilaf (perbedaan pendapat). Kebolehan ini bahkan berlaku dalam keadaan darurat maupun tidak, sebagaimana tercantum dalam Fatāwā al-Lajnah ad-Dāimah lil Buhūts al-‘Ilmiyah wal Iftā.
Imam an-Nawawi mengemukakan, penyembelih hewan diutamakan adalah orang yang aqil (berakal) dan balig. Maka, anak yang sudah tamyiz pun sejatinya boleh menyembelih hewan. Sebagaimana dikemukakan oleh jumhur ulama.
Meskipun hukum menyembelih hewan bagi perempuan adalah boleh, sejumlah ulama seperti Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ dan Syekh Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho dalam I’anatut Thālibin menganjurkan agar lebih mendahulukan laki-laki yang menyembelih hewan daripada perempuan.
Kemudian, mengenai hukum memakan sembelihan perempuan. Al-Hāfizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bāri menjelaskan, sembelihan perempuan halal dimakan. Baik hewan yang disembelih oleh muslimah maupun ahli kitab, perempuan yang merdeka, budak, perempuan yang haid, maupun perempuan yang nifas, semua sembelihannya halal dimakan. Sebagaimana ditetapkan Imam Syafi’i dan jumhur ulama.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan ini, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama untuk menyembelih kurban. Mengenai siapa yang lebih didahulukan, menurut penulis itu bergantung pada kebiasaan yang berlaku di masyarakat, juga sangat bergantung pada orang yang memiliki kapabilitas untuk menyembelih hewan. Sehingga apabila di suatu daerah ada perempuan yang justru lebih piawai dan lebih mampu menyembelih hewan dibanding laki-laki, maka ia bisa diutamakan. (AN)
Wallahu a’lam.