Seiring dengan melesatnya laju modernitas, prototipe seorang perempuan yang dulunya lebih sering berdiam diri di rumah untuk mengurus berbagai kebutuhan rumah tangga dan melayani suaminya, kini sudah semakin bergeser.
Banyak kita temukan para perempuan yang setiap harinya tidak lagi diliputi dengan urusan dapur, sumur dan kasur yang dulu sangat identik sebagai tugas perempuan, tapi lebih cenderung mengurusi pekerjaan pribadinya, mulai dari pegawai bank, polwan, pramugari, artis, bahkan politikus serta berbagai posisi-posisi strategis baik dalam dunia birokrasi maupun wiraswasta.
Fenomena seperti ini, sangatlah berbanding terbalik dengan peran perempuan di zaman keemasan Islam terdahulu, para perempuan zaman dahulu banyak yang memilih untuk tidak bekerja di luar, tapi lebih memilih melayani suami dan mengurusi segala kebutuhan rumah tangganya.
Hal ini dapat kita lihat jika menilisik berbagai catatan sejarah yang ada dan juga rumusan fikih keperempuanan yang tertulis dalam kitab fikih klasik. Walaupun zaman dahulu juga ditemukan perempuan-perempuan yang memiliki peran penting dalam masyarakat seperti Sayyidah Khadijah misalnya, namun hal ini tidak sampai menggejala sampai menjadi mindset para perempuan secara umum seperti fenomena yang terjadi di dunia modern saat ini.
Islam sendiri sama sekali tidak melarang para perempuan untuk mengais rezeki melalui meniti karir dalam pekerjaannya selama dalam menghadapi proses pekerjaan yang mereka lakukan tetap berlandaskan ketentuan syariat Islam, seperti di izinkan bekerja oleh suaminya, pergi bekerja dengan perempuan yang dapat dipercaya, aman dari berbagai fitnah, menutup aurat dan berbagai ketentuan lain yang wajib dilakukan bagi perempuan dalam hal pergi keluar rumah.
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Syekh Khalid Abdurrahman al-‘Ak:
ليس في الإسلام ما يمنع المرأة أن تكون تاجرة أو طبيبة أو مدرسة أو محرفة لأي حرفة تكسب منها الرزق الحلال ما دامت الضرورة تدعو إلى ذلك وما دامت تختار لنفسها الأوساط الفاضلة وتلتزم خصائص العفة التي أسلفنا بعضها.
“Islam sama sekali tidak mencegah seorang perempuan menjadi saudagar, dokter, pengajar atau berbagai pekerjaan lain yang dapat menghasilkan rizki, selama segala pekerjaan diatas memang merupakan hal yang harus ia laksanakan (demi memenuhi kebutuhan hidup) dan juga selama ia memilih jalan tengah yang utama dan senantiasa menetapi hal-hal yang membuatnya menjadi terjaga seperti penjelasan yang lalu telah disampaikan” (Syekh Khalid Abdurrahman Al-‘Ak, Adab al-Hayat az-Zaujiyah fi Dhow’i al-Kitab wa as-Sunnah, Hal. 163)
Segala ketentuan di atas, sejatinya merupakan wujud penghormatan syara’ terhadap harga diri seorang perempuan.
Meski Islam tidak melarang perempuan untuk berkarir, namun Islam lebih menyarankan agar para perempuan lebih mengutamakan untuk mendidik putra-putrinya (Al-Madrasah Al-Ula). Walaupun hal ini sebenarnya bisa dilakukan dengan berkarir. Asalkan jangan sampai meninggalkan kewajibannya untuk menjadi pendidik utama bagi putra-putrinya, juga berbakti kepada suaminya.
Namun, ketika seorang perempuan memiliki peran penting bagi masyarakat secara umum, seperti di dunia birokrasi, perusahaan dan sebagainya, maka yang lebih dianjurkan bagi perempuan adalah terus menggeluti bidang yang mereka geluti demi menciptakan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, sebab Khoirunnas anfa’uhum li an-Nas (manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain).
Wallahu a’lam.