Sebelum membahas talfiq, mari kita bahas dahulu induk dari talfiq yaitu taklid. Karena talfiq merupakan bagian dari taklid. Fenomena taklid muncul di awal abad ke-4 H, yaitu setelah masa khairul qurun berakhir. Definisi taklid menurut sekelompok ulama berbeda dengan ittiba’, walaupun memiliki esensi yang sama yaitu sama-sama beramal mengikuti. Taklid yaitu mengambil pendapat orang lain dengan tanpa mengetahui dalilnya. Sedangkan ittiba’ mengambil pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya. Dalam hal ini yang diikuti dan diambil pendapatnya adalah seorang mujtahid. Sementara kita juga harus ketahui bahwa tidak semua ulama atau orang yang paham agama disebut dengan mujtahid.
Contoh dari praktik taklid yang sering kita temukan yaitu “membasuh sebagian rambut kepala ketika berwudhu karena bertaklid kepada imam Syafi’I atau tidak membaca surat al-Fatihah bagi makmum saat salat karena bertaklid kepada Imam Abu Hanifah”. Kemudian, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh Al-Islami menjelaskan ruang lingkup yang dibolehkan dan tidak diperbolehkan untuk bertaklid.
Pertama bahwa “tidak boleh bertaklid dalam hal akidah dan ushul ‘ammah. Kedua yaitu boleh bertaklid dalam permasalahan furu’ bagi orang awam dan bukan mujtahid. Bahkan diwajibkan bertaklid bagi orang awam, termasuk orang alim atau ustadz dan ulama yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi mujtahid.
Syeikh Wahbah membagi taklid menjadi dua, yaitu taklid terpuji dan taklid tercela. Taklid terpuji yaitu taklidnya orang awam, alim, ustadz yang tidak berpotensi untuk berijtihad kepada seorang mujtahid. Sedangkan taklid tercela ada tiga: (1) taklid yang mengandung unsur yang dilarang Allah SWT (2) taklid kepada orang yang tidak diketahui kredibilitasnya dan (3) taklid setelah muncul hujah atau pendapat lain yang berseberangan dengan pendapat orang (mujtahid) yang ditaklid.
Kemudian, dari taklid ini lahirlah talfiq yang muncul dan dibahas pada abad ke-7 H. Talfiq yaitu menggabungkan pendapat dua mazhab atau lebih sehingga terbentuk sebuah kombinasi praktik yang tidak dibenarkan oleh masing-masing mazhab. Contohnya yaitu ketika berwudhu, seseorang membasuh sebagian kepala dengan bertaklid kepada Imam Syafi’I, sekaligus bertaklid kepada Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, yaitu dalam keadaan berwudhu kemudian bersentuhan dengan wanita (bukan anak kandungnya) maka tidak membatalkan wudhunya tersebut.
Nah, dalam hal talfiq ini, Syeikh Wahbah lebih cenderung berpendapat untuk membolehkan talfiq. Akan tetapi dengan syarat dalam kondisi darurat dan tidak ada unsur sengaja mencari rukhsah atau keringanan. Jadi, boleh bertalfiq seperti contoh di atas, jika pada saat itu seseorang tersebut sedang tawaf di mekah, karena sulitnya untuk berwudhu sebab jauhnya tempat wudhu.
Jika talfiq dilarang, maka menurut Syeikh Wahbah hal tersebut sama saja dengan (1) melarang taklid yang asalnya justru diwajibkan bagi orang awam, (2) menyalahi prinsip bahwa perbedaan pendapat para imam adalah rahmat bagi umat dan (3) menyelisihi asas yang menjadi pondasi syari’at yaitu kemudan dan menolak kesulitan. Sehingga, pada akhirnya jika talfiq tidak diperbolehkan, maka sedikit sekali orang awam yang benar-benar mengerjakan satu ibadah dengan satu mazhab tertentu dan hal tersebut dapat membatalkan banyak ibadah amaliah mereka.
Ruang lingkup talfiq sama dengan taklid, yaitu dalam permasalahan furu’. Syeikh Wahbah menjelaskan bahwa terdapat dua jenis talfiq yang dilarang; (1) bathil lidzatih (2) mahzhur la lidzatih. Adapun bathil lidzatih yaitu yang memang dilarang dari asalnya, seperti talfiq yang dapat menghalalkan keharaman. Sementara mahzhur la lidzatih adalah talfiq yang dilarang sebab 3 alasan: (1) sengaja ingin mencari-cari keringanan (tidak dalam keadaan darurat) (2) yang dapat membatalkan keputusan dan (3) talfiq selain dalam hal ibadah (yang mengharuskan untuk meninggalkan perkara yang sudah disepakati ulama mujtahid)
Kesimpulannya di sini bahwa diajurkannya bagi selain mujtahid untuk berpegang pada salah satu mazhab (mazhab yang diakui) tertentu saja, supaya terhindar dari praktik talfiq yang terlarang dan demi keselamatan suatu amaliyah ibadah. Serta yang paling penting yaitu hanya melakukan talfiq saat dalam keadaan darurat saja. Karena kebolehan talfiq bersifat tidak mutlak, akan tetapi terdapat ketentuan-ketentuan yang mengikatnya.