Ketupat adalah makanan khas lebaran Idul Fitri. Bahannya menggunakan janur. Cara membuatnya pun khas. Namun, tak semua orang bisa membuatnya, bahkan yang beragama Islam sekalipun, walaupun makanan ini menjadi salah satu simbol hari raya umat Islam.
Pada akhir Ramadhan tahun ini, penulis belajar membuat ketupat dengan teman santri di Pondok al-Fadlu Djagalan Kaliwungu Kendal. Tahun ini penulis lebaran di Pondok, yang di asuh oleh Abah Dem (begitulah santri dan masyarakat memanggil KH. Dimyati Rois), dan pengalaman pertama tidak shalat hari raya di rumah.
Membuat ketupat, penulis kira mudah, tapi ternyata tidak. Perlu kesabaran dan ketlatenan. Ada prinsip dalam membuat ketupat, yang penulis pelajari dari teman santri, yaitu merenggangkan janur yang telah digulung dengan tiga gulungan di kedua tangan, namun jangan sampai formasi tiga bundelan itu rusak.
Prinsip di atas mengingatkan penulis dengan metode dakwah yang dipakai Walisongo dalam menyebarkan Islam. Walisongo tidak kaku, tapi renggang dengan tetap melestarikan budaya setempat, namun juga tetap menjaga substansi Islam. Dakwah yang seperti itu justru lebih bisa diterima. Sejarah membuktikan itu.
Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayah al-Hidayah menjelaskan, bahwa dalam menasihati seyogianya mempertimbangkan keadaan seseorang yang ingin dinasihati, apakah ada potensi menerima nasehat tersebut atau tidak, sehingga tidak berakibat negatif, seperti alih-alih menerima nasehat, justru menimbulkan permusuhan. Penulis memahami penjelasan Imam al-Ghazali ini sebagai pentingnya konstektual dalam berdakwah, atau mengajak kebaikan.
Kalau kita mengacu kepada ayat al-Qur’an, misalnya surat at-Tahrim ayat 6, Allah memerintahkan supaya orang-orang beriman memelihara dirinya dan ahlinya dari api neraka. Dalam usaha memelihara ahli supaya selamat dari api neraka, tentu tidak bisa dengan cara kaku, tapi juga tidak bisa dengan cara mengumbar secara total, namun perlu renggang tapi tetap menjaga substansi.
Tata cara berdakwah juga dijelaskan dalam al-Qur’an, surat al-Nahl ayat 125, bahwa dalam mengajak ke jalan Tuhan diperintahkan menggunakan hikmah dan mauidhoh hasanah. Dan, jika diperlukan untuk dialog, maka harus dengan cara yang paling baik.
Melihat keterangan di atas, menjadi jelas bahwa tujuan dakwah tidak lain adalah mengajak keselamatan. Oleh karena itu tidak cocok bagi mereka yang mengajak kepada keselamatan tersebut menggunakan kacamata yang hanya bisa membedakan hitam dan putih, atau salah dan benar. Bagi para pendakwah perlu kacamata yang mampu melihat bahwa orang buruk bisa bertransformasi menjadi baik.
Supaya ajakan kepada kebaikan itu diterima dan diikuti, maka konstektual dalam berdakwah, menurut penulis, menjadi faktor penting diterimanya ajakan kebaikan tersebut. Salah satu kontekstual dalam berdakwah adalah dengan berdakwah seperti membuat ketupat: renggang tapi terarah dan tetap menjaga substansi. Wallahhu a’lam.
Zaim Ahya, Sarjana Tafsir Hadis UIN Walisongo Semarang.