Dulu saya mengira setiap orang berjubah, berjenggot, dan bersurban sudah pasti seorang ulama. Sehingga saya tak segan-segan menundukkan kepala dan mencium tangannya ketika bertemu. Namun pikiran tersebut mulai berubah semenjak saya hijrah ke Jakarta, belajar di Universitas Islam, sambil nyantri di pesantren hadis. Perubahan pola pikir itu berawal dari kunjungan saya ke Tanah Abang. Di sana saya melihat ada banyak pedagang parfum dan kurma berjubah dan berjenggot.
Mulanya saya berpasangka baik kalau pedagang yang keturunan Arab tersebut fasih berbahasa Arab, mahir baca kitab kuning, hafal matan alfiyah, laiknya ulama kebanyakan. Tapi ternyata asumsi itu salah, ketika teman saya melontarkan satu-dua patah kata bahasa Arab, sang pedagang tampaknya kesulitan menjawabnya.
Beberapa hari kemudian, saya saksikan salah satu stasiun TV Arab menayangkan pertandingan sepak bola, hampir semua suporternya berjubah dan berjenggot memenuhi kursi stadion. Sontak saya mengkhayal, apakah mungkin ini acara kumpulannya ulama? Kayaknya tidak mugkin.
Berikutnya saya lihat pula sebagian penyanyi dan artis Timur-Tengah juga menggunakan jubah, surban, plus jenggot. Dari situ saya simpulkan, jubah, surban, dan jenggot tidak selalu identik dengan keulamaan dan keislaman.
Bedakan Agama dan Budaya
Saat mengaji hadis kepada Kiai Ali Mustafa Yaqub, beliau sering menekankan kepada santrinya untuk pandai memilah mana yang hadis dan mana yang budaya ketika membaca hadis. Bagaimanapun, hadis tidak hanya memuat doktrin agama, tetapi juga memuat kandungan budaya dan tradisi Arab yang menjelma dalam wujud Nabi Muhammad SAW.
Misalnya hadis tentang pakaian Nabi, sekalipun riwayatnya disepakati keabsahannya (baca: shahih) oleh kebanyakan ulama, namun bukan berati hadis ini mesti diamalkan. Pasalnya, bentuk dan model pakaian adalah urusan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Agama hanya menjelaskan norma dan etika berpakaian, bukan model dan bentuk pakaian.
Jika dikatakan jubah dan surban bagian dari agama, permasalahannya yang menggunakannya bukan hanya orang Islam saja, tapi kebanyakan non-muslim Arab pun memakai model baju yang sama. Menurut Kiai Ali, perihal ini penting untuk diperhatikan. Bila model pakaian tersebut digunakan oleh kebanyakan bangsa Arab, baik muslim maupun non-muslim, berati itu bukanlah doktrin agama, melainkan tradisi.
Segala bentuk tradisi dan budaya Arab tidak mesti diikuti, meskipun yang memakainya Nabi Muhammad. Untuk memperkuat kesimpulan ini, Kiai Ali mengutip pernyataan Imam Nawawi, “bahwa sudah keharusan mengikuti perkataan Nabi yang mengandung dimensi syariat, sementara yang berkaitan dengan permasalahan dunia yang didasarkan pertimbangan akal tidak mesti diikuti”.
Bahkan dalam bukunya Setan Berkalung Surban, Kiai Ali menyebut surban dan jubah haram. Argumentasinya adalah hadis riwayat Ibnu Majah yang berbunyi, “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka”.
“Pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal orang-orang,” demikian kata Kiai Ali.
Saya tambahkan lagi kutipannya biar mantap, “Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu.”
Barangkali inilah alasan Kiai Ali menegur teman seperguruan saya yang saat itu memakai jubah putih ketika mengikuti halaqah pengajian. Beliau mengatakan, hadza libas la yunasib bi jismika anta (baju ini tidak cocok dengan tubuhmu). Pada kesempatan lain, beliau juga pernah guyon, “kalian jangan tua sebelum masanya”.
Ada banyak pengalaman menarik saat belajar hadis kepada Kiai Ali. Ini hanyalah sebagian kecil dari kenangan saya. Menurut saya, beliau adalah sosok ulama yang sederhana, tegas, disiplin, dan sangat lihai menerjamahkan hadis agar sesuai dengan konteks Indonesia. Selama belajar hadis bersamanya, saya tidak “mengarab” seperti orang Arab kebanyakan, tapi malah semakin “menusantara”. []
Hengki Ferdiansyah adalah pengelola rubrik ubudiyah NU Online dan alumnus Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah, Ciputat.