Sejak pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid yang menjadi simbol HTI pada 22 Oktober kemarin, soal Rayah dan Liwa menjadi ramai diperbincangkan. Felix Siauw, dai muda yang juga aktivis HTI bahkan dengan tegas mengatakan kalau itu adalah pembekaran bendera tauhid, bendera umat Islam. Ia juga meyakini bahwa Rasulullah SAW sendiri yang menuliskan kalimat tauhid di atas rayah dan liwa. Tapi, benarkah bendera (rayah dan liwa) tersebut merupakan bendera Islam, bendera Rasulullah SAW? Saya akan coba mengulas dari segi otentisitas informasi tersebut apakah benar bersumber dari hadis Nabi SAW.
Dasar yang mereka gunakan dalam mengklaim bahwa bendera tersebut adalah hadis riwayat At-Thabrani yang berbunyi :
عن ابن عباس : قال : كانت راية رسول الله سوداء ولواؤه أبيض مكتوب عليه لَا إله إلاَّ الله مُحَمَّد رَسُول الله
“Sesungguhnya rayah Rasulullah adalah berwarna hitam dan liwanya berwarna putih”
Hadis ini diriwayatkan oleh empat imam dan memiliki 7 jalur periwayatan, 1 jalur periwayatan di kitab al-Mu’jam al-Awsath karya Imam At-Thabrani, 2 jalur periwayatan melalui Imam Abu Syaikh dalam kitab Akhlak al-Naby, 3 jalur periwayatan melalui Imam Ibnu Ady dalam kitab al-Kamil fi al-Dhuafa al-Rijal, dan satu jalu periwayatan melalui al-Baghawi dalam kitabnya al-Anwar fi al-Syamail al-Naby al-Mukhtar.
Dalam sebuah tugas akhir yang fokus mengkaji kualitas riwayat hadis ini, saya berkesimpulan bahwa seluruh riwayat hadis ini adalah lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah dikarenakan terdapat beberapa perawi yang memiliki cacat menurut kacamata kritikus hadis. Perawi-perawi dalam rangkaian sanad hadis yang banyak diperbincangkan kredibilitasnya adalah Hayyan bin Ubaydillah, Ahmad bin Risydin, Muhammad bin Abi Humaid dan sebagainya. Keseluruhnya mendapat rapor merah di mata kritikus hadis.
Mengenai makna rayah dan liwa, Ibnu Hajar al-‘Asqalani penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari mengatakan bahwa mayoritas ulama menafsirkan makna keduanya sebagai dua kata yang memiliki satu arti, yakni bendera.
Rayah dalam Catatan Sejarah
Riwayat yang menerangkan warna rayah terdapat beberapa versi. Pertama adalah riwayat yang menegaskan bahwa rayah Nabi berwarna kuning, hal ini sebagaimana tertuang dalam riwayat Abu Daud sebagai berikut :
عن طريق سماك عن رجل من قومه عن أخر منهم: رأيت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم صفراء
Dari riwayat Sammak (diriwayatkan) dari seseorang dari kaumnya, dari yang lain juga: “Aku melihat rayah Rasulullah Saw. berwarna kuning.”
Riwayat lain menginformasikan bahwa warna rayah Nabi adalah merah, hal ini sebagaimana tertuang dalam riwayat Abu Bakar as-Saybani sebagai berikut:
عن كرز بن سامة قَالَ : وَكان وفد إلى رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم ، أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ : اللّهم اهد بني عامر ، اللّهمَ اهد بني عامر ، ثَلاثًا وَقِيلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: ادع على بنِي عامر ، فقال : إنِي لم أبعث لعَانا ، وإنّ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم عقد راية بني سليم حمراء
Dari Karz bin Samah, beliau berkata: ia waktu itu bersama rombongan utusan menuju Rasulullah Saw. Bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Ya Allah berilah petunjuk kepada Bani ‘Amir, berilah petunjuk pada Bani ‘Amir” sampai tiga kali. Kemudian, dikatakan kepada Nabi Saw.: “berdoalah (buruk) kepada Bani ‘Amir !”. Rasulullah Saw. bersabda: “Saya tidak diutus sebagai pelaknat !” Dan sesungguhnya Nabi Saw. menetapkan bendera (rayah) merah untuk Bani Sulaim.
Ibnu Khaldun menuturkan dalam al-Muqaddimah bahwa rayah yang dipakai Daulah ‘Abbasiyyah adalah berwarna hijau.
Mengenai redaksi tulisan yang digunakan pada rayah pun terdapat perbedaan. Ada riwayat yang mengatakan bahwa kalimat yang dicantumkan adalah kalimat syahadataain, namun ada pula yang menerangkan varian beda, yakni bahwa pada masa Daulah Umayyah kalimat yang dikenakan pada kain rayah adalah salah satu penggalan al-Qur’an yang berbunyi :
نَصْرٌ مِّنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ
“Pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya)”
Sejarah juga mencatat bahwa rayah digunakan dalam konteks peperangan saja, hal ini sebagai dikatakan oleh Ibnu Khaldun dan lain-lain.
Rayah Bukan Bendera Islam
Aksi pengklaiman bahwa jenis bendera yang dibakar kemarin, yang dipastikan bahwa itu adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia sebagai bendera Islam, hal tersebut kurang tepat ditimbang dari beberapa aspek.
Pertama, mengenai status riwayat yang digunakan. Semua riwayat hadis yang mengusung tema rayah dan liwa dengan penggambaran sebagaiamana dicirikan oleh HTI adalah lemah tak bisa dijadikan hujjah. Sebagaimana telah disinggung sekilas di bagian depan.
Kedua, mengenai redaksi kalimat yang terpancang pada kain bendera. Sejarah menuturkan bahwa tidak ada dalil atau nash yang menetapkan redaksi tertentu yang diperkenankan ditaruh di kain bendera. Ada yang menggunakan redaksi syahadatain, adapula yang menggunakan kalimat nashrun minallah wa fathun qarib.
Ketiga, adalah tidak adanya warna yang tetap untuk penggunaan kain bendera. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa rayah yang dibawa oleh Rasulullah kadang warna merah, kuning dan hitam. Seandainya ini bagian dari Islam maka tentu ada kesepakatan warna yang tidak bisa diintervensi oleh orang lain.
Berikutnya adalah soal fungsi bendera. Beberapa literatur sejarah Islam semisal Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa rayah adalah hal yang identik dengan perang (digunakan untuk menakuti lawan dan sebagai membedakan pasukan dan lawan). Maka menggunakannya di negara yang sedang damai adalah perbuatan yang kurang tepat.
Prof. Nadirsyah Hosen dalam tulisannya mengatakan jika hal tersebut terjadi maka hal tersebut merupakan bagian dari makar. Pasalnya, jika pengibaran bendera merupakan klaim eksitensi sebuah negara, maka bagaimana bisa ada negara di dalam negara.
Mengenai analisis apakah bendera termasuk bagian syariat atau tidak, rasanya perlu kita sejenak memperhatikan ungkapan mendiang Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Cara Benar Memahami Hadis. Bahwa perbedaan antara syariat dan budaya adalah jika itu syariat maka ia hanya dipakai untuk umat Islam saja. Sedangkan budaya jika ia dipakai oleh umat selain Islam. Dan bendera merupakan bagian dari budaya karena ia digunakan pula oleh umat selain Islam. Wallahu A’lam