Tulisan ini bermaksud menelusuri apakah benar Nabi Ayyub memukul istri seperti yang beredar dalam banyak literatur tafsir Surah Ṣaḍ (38): 44.
Istilah memukul yang dimaksud dalam tulisan ini, merujuk pada kata ḍaraba yang dalam bahasa arab berarti (telah) memukul, ḍaraba merupakan bentuk kata kerja dari masdar ḍarbun, yang berarti pukulan atau pemukulan.
Fathullah Aksam dalam “Hukm Ta’dīb az-Zaujah bi ad-Ḍarb fi al-Fiqh al-Muqarin” mengartikan kata ḍarbun dengan ‘perbuatan menimpakan sesuatu kepada yang lain, menggunakan perantara yang sudah dikenal pada umumnya, seperti menggunakan tangan, kaki, atau tongkat dan sesamanya’.
Abd al-Baqi dalam “al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim” mengungkap, kata ḍaraba dan bentuk turunannya dapat dijumpai sebanyak 58 kali dalam 54 ayat al-Qur’an. Tetapi dapat dipastikan kata ḍaraba yang memiliki kaitan dengan tema pemukulan suami terhadap istri ialah ḍaraba yang terdapat dalam Surah an-Nisa’ (4): 34 dan Surah Ṣaḍ (38): 44. Namun tulisan ini tidak hendak membahas an-Nisa’ (4): 34 dalam kaitan tema pemukulan suami terhadap istri. Tulisan ini bermaksud menelusuri apakah benar Nabi Ayyub melakukan pemukulan terhadap istrinya? seperti yang beredar dalam banyak literatur tafsir Surah Ṣaḍ (38): 44.
Ayat ini (Surah Ṣaḍ (38): 44), menuturkan ihwal Nabi Ayyub yang dikisahkan dalam banyak kitab tafsir, memukul istrinya. Menurut al-Maraghi, ayat ini (dan al-Qur’an secara keseluruhan) sebenarnya tidak menerangkan atas dasar apa Nabi Ayyub bersumpah dan terhadap siapa sumpahnya diucapkan. Namun, para periwayat menyebutkan bahwa Nabi Ayyub bersumpah terhadap istrinya, Rahmah binti Ifratsim, karena ia telah pergi untuk suatu keperluan, lalu terlambat untuk kembali.
Nabi Ayyub lalu bersumpah bahwa ia akan memukul istrinya sebanyak 100 kali jika ia sembuh dari sakitnya. Allah kemudian memberi keringanan pada Nabi Ayyub agar mengambil seikat kecil rumput (sejumlah 100) atau tumbuhan lalu memukulkannya kepada istrinya. Dengan demikian, gugurlah tebusan sumpah Nabi Ayyub, sebagai rahmat dari Allah kepada Nabi Ayyub dan istrinya, karena sang istri telah berkhidmat kepadanya dengan baik dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri pada saat ia menderita sakit.
Mengenai apakah benar Nabi Ayyub memukul istri? tentu sangat tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut secara akurat. Tetapi setidaknya ada empat pendekatan (approach) yang bisa digunakan untuk sedikit menunjukan bahwa Nabi Ayyub tidaklah melakukan pemukulan terhadap istrinya.
Pertama, melalui pendekatan bahasa (qira’at). Kalimat “fadrib” dalam Surah Ṣaḍ (38): 44 tidak disebutkan secara eksplisit objek pemukulan (maf”ul bih) didalamnya. Bagi Syahrur misalnya, kata “daraba” dalam “wadribuhunna” dalam Surah an-Nisa’ (4): 34 tidak bisa diartikan sebagai pemukulan fisik jika tidak dibarengi dengan obyek tubuh seperti lengan, kepala, atau leher. Jika “wadribuhunna” yang dituturkan lengkap dengan objek pemukulan saja oleh Syahrur tidak bisa diartikan sebagai pemukulan, apalagi “fadrib” dalam Surah Ṣaḍ (38): 44 yang tidak menyertakan objek pemukulan, tentu juga berhak untuk dikatakan tidak bisa dimaknai sebagai pemukulan.
Kedua, melalui pendekatan munasabah (kesatupaduan/kesesuaian antar bagian al-Qur’an). Apakah pantas seorang Nabi yang dituturkan dalam ayat lain sebagai pribadi yang sabar, tetapi pada lain kejadian ia berjanji menghukum istrinya dengan pemukulan seperti yang dikisahkan dalam tafsir. Sehingga Nabi Ayyub seperti terkesan tidak bersabar atas perilaku istrinya. Seperti diketahui dalam al-Qur’an Nabi Ayyub merupakan sosok pribadi yang diberi cobaan tiga perkara yaitu sakit parah, kehilangan anggota keluarganya, dan kemiskinan. Nabi Ayyub berhasil melewati semua cobaan tersebut dengan bersabar.
Ketiga, melalui pendekatan teori infiltrasi (ad-Dakhil) kisah Isra’iliyyat. Hamka misalnya dalam “Tafsir Al Azhar” mengatakan, seperti mengutip pendapat Ibnu Arabi, “Seluruh cerita Israiliyat ditolak oleh para ulama. Karenanya, palingkanlah mata kalian dari barisan-barisannya, dan tutuplah telinga kalian dari mendengarnya. Sebab, ia tidak akan menambah ilmu, kecuali hanya menambah khayal belaka. Dan ia tidak pula akan menambah untuk hati kalian selain kebingungan.”
Menurut Hamka, kisah Israiliyyat yang menjelaskan bahwa Iblis datang kepada istri Nabi Ayyub dengan menyerupai manusia yang gagah lalu mengaku sebagai Tuhan penguasa bumi, juga tergolong kebohongan nyata. Sebab, andai saja hal itu terjadi kepada kaum wanita pada umumnya, tentu mereka akan segera tahu bahwa Tuhan tidak mungkin mewujudkan dirinya seperti manusia, apalagi jika hal itu terjadi kepada istri dari seorang Nabi.
Keempat, melalui pendekatan sejarah. Pemukulan terhadap istri bukanlah merupakan kebiasaan para Nabi terdahulu dan tidak adanya petunjuk bahwa istri Nabi Ayyub telah melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan ia berhak untuk dipukul, menguatkan hal ini. Sejarah kenabian menunjukan, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhamad, tidak ada satupun Nabi yang dikisahkan sebagai pribadi yang melakukan praktik pemukulan terhadap istri-istri mereka.
Nabi Muhamad sendiri dikisahkan oleh Aisyah ra. sebagai pribadi yang tidak pernah sekalipun memukul istri -istrinya. Sayyidah Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. tidak pernah memukul siapapun (sama sekali) dengan tangannya, tidak pula (memukul) seorang wanita, atau seorang pelayan, kecuali dalam keadaan berjihad di jalan Allah, dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu sama sekali, lalu beliau membalas terhadap pelakunya. Kecuali jika ada sesuatu diantara perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan menghukum karena Allah ‘Azza Wa Jalla” (HR. Muslim No. 2328). (AN)
Wallahu a’lam.