Rumah salah seorang konglomerat di kota Baghdad baru saja dibobol komplotan maling. Ribuan koin emas raib digondol. Pemilik rumah (korban) melaporkan kejadian ini kepada penegak hukum. Penggeledahan di sana-sini dilakukan selama beberapa hari. Alhasil, aparat penegak hukum tidak membuat pelakunya tertangkap.
Melihat dari beberapa keterangan di TKP, aparat penegak hukum berkesimpulan bahwa komplotan maling ini bukan orang jauh. Mereka berdomisili tak jauh dari rumah si korban.
Intel dan mata-mata disebar untuk menyelidiki kasus ini. Hasilnya pun nihil. Mereka putus asa karena tak satu pun jejak atau informasi mengenai siapakah kawanan maling yang menyatroni rumah konglomerat.
Salah seorang anggota Intel usul kepada komandannya: “Mengapa kita tidak meminta bantuan Abu Nawas untuk mengusut kasus ini?, Saya rasa dengan kecerdikannya kasus ini bisa teratasi”. Komandan Intel manggut-manggut kemudian memberi isyarat kepada salah satu anak buahnya agar menyampaikan kepada Abu Nawas.
Anggota Intel menemui Abu Nawas lalu menceritakan apa yang terjadi. Abu Nawas menyimak dengan serius setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Besok pagi, semua warga desa harus kumpul di lapangan dan bawakan aku tongkat kayu sejumlah total warga desa!” perintah Abu Nawas.
“Siap, laksanakan!” Jawab anggota Intel.
Pagi itu, semua orang dihimbau agar menuju ke lapangan tanpa terkecuali. Satu persatu dari mereka diberi satu buah tongkat kayu. Setelah semuanya kebagian. Abu Nawas memegang toa lalu berbicara dengan keras: “Saudara-saudari sekalian, tongkat yang kalian pegang bukan sembarang tongkat, besok pagi akan ketahuan siapakah sebenarnya kawanan maling diantara kita semua. karena pada malam ini, tongkat yang dipegang kawanan maling tersebut akan bertambah panjang 10 cm.
Malam harinya, semua orang merasa lega karena besok akan ketahuan siapa sebenarnya kawanan pencuri itu. warga yang merasa tidak bersalah bisa tidur nyenyak. Sebaliknya, dua orang terlihat tidak bisa tidur karena resah dan bingung. Mereka berdua berpikir bagaimana caranya mengelabui Abu Nawas dan para penegak hukum.
Hingga larut malam, kedua orang itu tidak juga bisa tidur. Salah seorang mempunyai ide untuk memotong tongkat kayu 10 cm. mereka lakukan hal itu dengan percaya diri. “Akhirnya niatan Abu Nawas menjebak kita akan gagal, ha..ha…ha,” ucap salah seorang dari mereka berdua.
Ketika sorot matahari mulai kelihatan, semua orang mengantre untuk menyerahkan tongkat secara bergiliran. Abu Nawas melihat tongkat satu persatu. Sampai pada waktu dua orang menyerahkan tongkatnya. Abu Nawas memanggil aparat penegak hukum.
“Borgol dua orang ini, mereka adalah malingnya,” Kedua orang itu berusaha mengelak. Abu Nawas lantas berbicara keras dengan toa yang ia pegang.
“Saudara-saudari sekalian, tidak mungkin tongkat kayu yang kemarin saya bagikan bisa bertambah panjang, kedua maling ini takut ketahuan salahnya sehingga tongkat yang mereka pegang dipotong 10 cm,” ujar Abu Nawas.
Kedua maling tersebut salah tingkah dan mati kutu dihadapan Abu Nawas beserta para warga. Terdengar bisik-bisik di antara keduanya: “Kurang ajar! ternyata kita berdua sangat bodoh dan kalah cerdik dengan Abu Nawas.”
Saat itu juga para warga membubarkan diri.
Kisah ini terdapat dalam buku “Kisah 1001 Malam Abu Nawas Sang Penggeli Hati” karangan MB Rahimsyah terbitan Lintas Media Jombang Jawa timur.