Barikan, Tradisi Masyarakat Pantura Jawa Sambut Tahun Baru Islam

Barikan, Tradisi Masyarakat Pantura Jawa Sambut Tahun Baru Islam

Barikan, Tradisi Masyarakat Pantura Jawa Sambut Tahun Baru Islam

Indonesia merupakan negara dengan jumlah pemeluk agama islam terbesar di dunia. Suksesnya dakwah Islam di Indonesia merupakan buah kecerdasan para penyebar Islam khususnya Wali Songo yang memilih jalan dakwah lewat budaya, bukan ekspansi. Dengan pilihan jalan dakwah semacam itu, menjadikan Islam di Indonesia tetap bertahan meski mengalami pasang surut pemerintahan mulai masa kolonial penjajah Belanda yang notabene nya pasti membawa misi kristenisasi.

Hingga kini, beberapa tradisi yang mencerminkan ke-khasan Islam di Indonesia tetap terlihat khususnya dalam beberapa tradisi dan perayaan yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah tradisi Barikan.

Sejatinya, tradisi Barikan ini berawal dari kebiasaan masyarakat di Karimun Jawa yang setiap panen ingin mengadakan festival atau perayaan sebagai rasa syukur mereka atas anugerah Allah SWT yang telah melimpahkan hasil panen maupun hasil tangkapan ikan bagi mereka. Tradisi semacam ini kemudian berkembang di faerah-daerah lain di wilayah pantai utara jawa. Salah satunya adalah di daerah pesisir Subang.

Barikan di daerah Subang biasanya dilangsungkan setiap bulan muharram. Berbeda dengan perayaan yang sama di Karimun Jawa dalam soal waktu, namun substansinya sama, yaitu untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat Allah SWT yang telah menganugerahi mereka umur panjang hingga bisa menjumpai lagi tahun Islam berikutnya.

Pada acara barikan ini, biasanya masyarakat berkumpul di perempatan jalan desa (bukan jalan raya). Waktu yang dipilih adalah ba’da Ashar, ketika aktifitas kerja masyarakat sudah selesai, sehingga tidak terlalu mengganggu pengguna jalan / gang. Masing-masing warga per keluarga biasanya membawa sendiri-sendiri nasi, lauk pauk dan cemilan serta minuman yang beragam. Semua makanan yang dibawa oleh warga kemudian dikumpulkan menjadi satu ditengah-tengan untuk bersama-sama didoakan. Biasanya acara diawali dengan tahlilan terlebih dahulu untuk menghormati arwah para leluhur, atau melakukan istighotsah memohon ampunan atas segala dosa yang telah dilakukan selama setahun penuh sambil mengharap keberkahan di tahun berikutnya.

Selain sebagai ajang doa bersama, tentu saja acara barikan ini juga memiliki tujuan mempererat tali silaturrahim karena dalam acara ini masyarakat saling bertukar makanan. Tidak ada perbedaan status sosial pada saat itu. Semua makan bersama apapun yang terhidang. Dalam keyakinan mereka, bersedekah makanan merupakan ikhtiar tolak bala. Oleh karena itu, si A bersedekah kepada si B, dan sebaliknya si B bersedekah kepada si C, dan seterusnya. Semua bersedekah, semua berupaya menolak bala.

Bagaimana dengan warga setempat yang non muslim? Mereka pun hadir. Koko dan Enci, etnis China pemilik toko bangunan yang ada di pinggir jalan raya, pun ikut hadir dalam acara ini untuk menyemarakkan. Biasanya mereka membawa makanan berupa dodol china dan kue kering dari bahan beras yang entah penulis tak tahu namanya apa, namun rasanya manis dan gurih.

Barangkali inilah yang oleh para cendekia disebut sebagai harmoni Islam Nusantara. Wallahu a’lam’. Penulis sendiri tak tahu apa istilah yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini. Yang pasti, keberadaan acara-acara semacam ini di kampung-kanpung yang ada di pesisir pantai daerah Subang, adalah sesuatu yang mempererat kerukunan antar sesama hingga jarang sekali ditemukan konflik horizontal terjadi.

Semoga kerukunan ini bisa tetap terjaga.