Upacara Labuhan Merapi: Tradisi Bauran Islam-Jawa di Yogyakarta

Upacara Labuhan Merapi: Tradisi Bauran Islam-Jawa di Yogyakarta

Islam-Jawa yang ditampilkan dalam dalam labuhan Merapi menjadi tesis sederhana bahwa masing-masing tradisi akan bisa mempertahankan identitasnya lintas generasi jika keduanya mampu saling berkompromi, berkolaborasi, dan berbagi khazanah.

Upacara Labuhan Merapi: Tradisi Bauran Islam-Jawa di Yogyakarta

“Kulonuwun, badhe ngadep Eyang Merapi,” ujar seorang abdi dalem ketika memasuki area pendakian Merapi untuk melaksanakan prosesi labuhan Merapi.

Pagi itu (22/2), saya bersama salah satu dosen idola saya, Dr. Suhadi Cholil, serta ratusan warga mengikuti Upacara Labuhan Merapi.

Upacara adat yang diikuti abdi dalem dan berbagai elemen masyarakat tersebut merupakan rangkaian peringatan Tinggalan Dalem Jumenengan atau bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X dan sebagai simbol ungkapan rasa syukur atas segala keselamatan dan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Wedana Suraksa Harga, juru kunci Gunung Merapi, ritual tersebut merupakan prosesi rutin setiap tahunnya di Gunung Merapi. Dalam dua tahun terakhir, prosesi diadakan secara tertutup karena Pandemi Covid-19.

Namun di tahun 2023, ngarso dalem (Sultan HB X) telah memberikan instruksi bahwa upacara itu sudah bisa dilaksanakan terbuka dan boleh mengundang masyarakat luar daerah untuk memeriahkan acara hajad abdi dalem tersebut.

Saya pribadi belum pernah melihat sosok Mbah Maridjan yang sangat ikonik menjadi palang pintu terakhir penjaga Gunung Merapi. Pasca ia gugur dalam tragedi erupsi Merapi tahun 2010, tugas sebagai penjaga Gunung Merapi diwariskan kepada anak kandungnya, Wedana Suraksa Harga, atau Pak Asih, sapaan akrabnya.

Hari Rabu (22/2/2023), saya berkesempatan untuk berjumpa langsung dengan Pak Asih. Meski tidak sempat mengobrol banyak, saya bisa melihat bahwa Pak Asih merupakan sosok yang ramah, terhormat, dan karismatik.

Tradisi yang sudah dimulai sejak 13 Februari 1755 itu dimulai pukul 07.00 (22.2). Iring-iringan abdi dalem dengan membawa Ubarampe berangkat dari petilasan Mbah Maridjan menuju kawasan Sri Manganti yang terletak di Pos 1 Merapi.

Di lokasi dengan ketinggian 1532 Mdpl inilah prosesi labuhan digelar. Ubarampe adalah seperangkat sesaji yang diserahkan oleh Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kepada Juru Kunci Gunung Merapi untuk dilabuhkan (diserahkan) kepada yang “lenggah” (menunggu) Merapi, diantaranya adalah Eyang Empu Romo, Eyang Empu Ramadi, Eyang Panembahan Prabu Jagad, dan yang lainnya.

Ubarampe yang dibawa diantaranya sinjang cangkring, sinjang kawung kemplang, ada semekan gadhung, adapa semekan gadhung Mlati, terung wuluk, kampuh paleng, destar daramuluk, destar udaraga dan arta tindhih.

Komposisi itu sama dengan ubarampe di tahun-tahun sebelumnya. Mereka semua dimasukkan ke dalam sebuah peti yang diserahkan di Kantor Kapanewon Cangkringan pada Selasa (21/2). Selanjutnya diinapkan di petilasan Juru Kunci Gunung Merapi untuk kemudian dibawa ke Sri Manganti keesokan harinya.

Saya tertarik mengikuti upacara itu bukan hanya karena untuk menikmati alamnya yang luar biasa, namun juga karena penasaran terhadap tradisi dan upacara adat yang tetap lestari di tengah gempuran arus modernitas.

Menariknya lagi, tradisi yang lekat dengan mistis itu tetap mengusung nilai-nilai Islam di dalam ritual-ritualnya. Berbagai prosesi, mulai dari serah terima ubarampe dari abdi dalem kepada Juru Kunci Merapi hingga acara puncak Labuhan Merapi, selalu diawali dengan bacaan al-Fatihah dan diakhiri dengan doa bersama.

Ada satu riwayat cerita menarik yang diyakini oleh penduduk lereng Merapi. Mereka menganggap setiap letusan gunung Merapi sebagai pertanda perkawinan antara dewa laki-laki yang disebut Kyai Sapu Jagat dengan perempuan yang disebut dengan Ratu Laut Selatan.

Menurut keyakinan setempat, kedua hubungan itu tidak bisa dicegah. Mereka percaya bahwa terkadang Ratu Pantai Selatan mengalami masalah dalam hubungannya dengan Kyai Sapu Jagat yang berdampak pada munculnya lahar Merapi yang menjadi petaka bagi masyarakat penghuni lereng.

Oleh karena itu, mereka memberikan sesaji kepada kekuatan-kekuatan gaib agar hubungan tersebut dapat terjalin dengan baik dan mereka bisa dijauhkan dari bencana letusan gunung Merapi. Apabila upacara labuhan gunung Merapi itu dilanggengkan, Ratu Laut Selatan dengan senang hati berjanji menjaga keselamatan semua rakyat Mataram.

Sebetulnya, tujuan pokok diselenggarakannya upacara labuhan gunung Merapi adalah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono, semua keturunannya, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan masyarakat Yogyakarta.

Bagi masyarakat Yogyakarta, Kraton merupakan salah satu tempat yang sakral dan paling otoritatif dalam memberikan petuah-petuah spiritual, termasuk kepada masyarakat lereng Merapi.

Memang, kepercayaan terhadap benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan dahsyat bukanlah ajaran yang dibawa oleh para ulama dari Gujarat. Kepercayaan itu sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha yang terus berkembang.

Islam lalu datang dan berakulturasi dengan tradisi-tradisi itu sehingga melahirkan sebuah ajaran sinkretisme yang disebut Islam-Jawa. Meskipun banyak perdebatan seputar esensi dari konsep ini, beberapa mengatakan bahwa pembauran agama-budaya tersebut menjadikan masing-masing kehilangan identitas asli dan orisinalitasnya. Namun sebagian lain membantah bahwa percampuran itu hanyalah sebuah kolaborasi tanpa menghilangkan identitas dan nilai-nilai kemurniannya.

Tradisi Labuhan Merapi itu sekaligus mematahkan tesis Cliford Geertz tentang “Islam-Jawa”. Katanya, Islam dan Jawa merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak bisa disatukan. Islam sebagai agama samawi berbeda dengan Jawa yang kejawen dan mistis.

Nyatanya, Islam muncul di tengah-tengah masyarakat melalui pertemuannya dengan budaya lokal. Tradisi sinkretis yang terkandung dalam ritual adat labuhan Merapi memadukan antara keyakinan terhadap doktrin Islam dan kepercayaan animisme.

Islam yang lentur ini tidak bisa dilepaskan dari karakteristik Islam yang berkembang di Indonesia. Istilah populernya adalah Islam mistik (sufi) yang memiliki karakter moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Lagipula, dengan dengan karakter masyarakat lereng gunung (wong gunung) yang luwes dan inklusif, mereka mempunyai karakter keberagaman yang kuat namun tidak mudah terpengaruh dengan budaya asing yang datang tanpa membawa identitas yang jelas.

Labuhan Merapi menyiratkan bahwa Islam hadir dan berkembang dipengaruhi oleh kultur Jawa. Di sisi lain, budaya Jawa dipengaruhi oleh khazanah Islam yang begitu beragam.

Islam-Jawa yang ditampilkan dalam dalam labuhan Merapi menjadi tesis sederhana bahwa masing-masing tradisi akan bisa mempertahankan identitasnya lintas generasi jika keduanya mampu saling berkompromi, berkolaborasi, dan berbagi khazanah. Sebaliknya, sikap saling menafikan hanya akan mengeleminasi satu sama lain, Islam yang mengeliminasi tradisi Jawa, atau kultur Jawa yang menyingkirkan Islam.