Kafir terus diperdebatkan. Diksi “kafir” yang sedianya untuk mengidentifikasi para penentang Nabi Muhammad, katanya hendak “diilegalkan” dan merevisi iman. Ramai-ramai orang mendebat, ada yang bersifat ngintelektwal, sok ngintelektwal, dan di atas itu semua tidak sedikit juga yang sinis ugal-ugalan.
Dipikir, kalau kita berseberangan dengan NU struktural lantas ke-NU-an yang bersangkutan semakin kaffah, murni dan jauh dari penyimpangan. Tipe-tipe manusia seperti itu, misalnya, belum lama ini diperagakan oleh Ahmad Dhani lewat surat “macam-macam NU”-nya.
Ternyata, ada yang lebih menyedihkan. Siapa lagi kalau bukan Ustaz Tengku Zulkarnain dan Haikal Hasan. Seperti diketahui, keduanya memang cukup responsif mengomentari keputusan Munas NU sehubungan dengan wacana “kafir”.
Alih-alih memperjelas, mereka malah memperkeruh keadaan. Sudah begitu, nir-ilmiah pula. Jika Ustaz Tengku Zulkarnain cukup berkicau di twitter dan majelis pengajian dengan mencoba melakukan analisis akar kata yang rapuh, sementara tidak dengan Haikal Hasan yang bahkan merasa perlu untuk angkat bicara di salah satu stasiun TV dengan analisis yang tak kalah banal.
Celakanya, orang-orang seperti mereka berdua tidak sendiri. Sebagian dari kita bahkan terlalu bebal untuk tidak mau tahu asas epistemologi di balik keputusan itu. Media sosial lalu menjadi sesak dengan kicauan-kicauan yang teramat jauh dari akar persoalan. Bahwa kemudian (peserta) musyawirin adalah para yang ulama yang telah teruji keilmuannya itu pun dipandang tidak jadi soal.
Tidak peduli juga bahwa yang dibincang NU adalah dalam konteks relasi berbangsa dan bernegara, pokoknya NU dianggap telah menyimpang karena hendak merevisi kitab suci. Padahal, bejibun keterangan baik tulisan serius maupun ceramah keagamaan segenap dalil-dalilnya telah diterangkan sedemikian rupa oleh para pakar, kiai dan ulama NU.
Memang, sangat naif membayangkan bilamana suatu ide atau wacana akan diterima begitu saja tanpa adanya pertentangan. Bahkan saya tidak begitu yakin, apabila himbauan untuk mengganti istilah “kafir” menjadi Non-Muslim itu tidak mengalami penolakan sebelumnya oleh warga NU sendiri. Dengan kata lain, tetap saja ada yang tidak setuju. Dan, itu wajar sejauh dilandasi argumentasi yang mapan.
Menjadi tidak wajar jika tidak tahu persoalan, lalu sok-sokan tahu, kemudian ikut berkomentar. Inilah yang sedang dilakukan Fahri Hamzah, Tengku Zulkarnain, Haikal Hassan, dan komentator-komentator ala sekte “sekadar mengingatkan” lainnya.
Sekilas, fenomena para komentator itu saya kira mirip sekali dengan apa yang pernah disebut Farid Esack sebagai The Polemicist dan/atau The Voyeur ketika menelaah tipologi orang dalam membaca Alquran. Menurut Esack kelompok jenis inilah yang paling menyedihkan. Pasalnya, mereka berasal dari kalangan Non-Muslim yang memandang Alquran semata dengan sudut negatif.
Lebih ironi, mereka itu lalu mecoba melemahkan Alquran dengan membuat sejumlah “bukti” yang dibuat-buat. Kasus Christoph Luxenberg (bukan nama asli), misalnya, yang “menggugat” ke-Arab-an Alquran melalui bukunya yang berjudul Die Syro-Aramaeische Lesar des Koran. Melalui buku tersebut, kata Esack, si penulis menganggap bahwa mushaf Alquran sekarang merupakan kesalahan salinan bahasa Arab fushah dari bahasa Syiria-Aramaik.
Tentu saja tuduhan adalah tuduhan. Ia tidak berangat dari kesadaran mencari kebenaran. Sebaliknya, ia ada karena dorongan hasrat kebencian sejati. Sama halnya dengan tuduhan kepada NU yang sekonyong-konyong dituding akan merevisi Alquran. Padahal, sesungguhnya yang menuduh itulah yang tidak paham persoalan.
Padahal, yang dilakukan hanyalah mendudukan sesuatu pada tempatnya. Ia tidak sedang bicara konsep bagunan teologi, melainkan relasi sosial dalam berbangsa dan bernegara. Tentu saja, setiap Muslim/ah baligh mengenal adanya konsep hierarki “kafir” yang kurang lebih ada dzimmi dan harbi. Yang berdamai dengan Islam disebut dzimmi, sedang yang menolak tunduk kemudian disebut harbi, karenanya ia akan diperangi.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa tipologi tersebut sangat berkait-berkelindan dengan situasi zaman atau pola kekuasaan abad ke-7 yang, mengutip Kang Hasanuddin Abdurrakhman (2019), orang-orang pada saat itu berinteraksi dalam wadah negara yang basis utamanya adalah identitas agama.
Arab, umpamanya, terkenal sebagai basis Islam. Persia kandangnya Zoroaster. Bizantium identik dengan Kristen. Dan seterusnya, dan seterusnya. Antara satu dengan lainnya, mereka saling berperang, saling menaklukan. Perang antar-manusia, antar-raja, seringkali dipandang sebagai perang antar-agama.
Lalu, apa hubungannya dengan kita? Tidak ada.
Negara ini berdiri bukan atas dasar agama. Bahwa kemudian ia ditopang oleh nilai-nilai keagamaan, barangkali iya. Tetapi, tidak ada kata negara Islam dalam dasar negara kita!
Negara ini tidak hanya diperjuangan oleh orang-orang Islam an sich, tetapi juga mempertaruhkan darah-darah orang Kristen, Budha, Hindu dan agama-agama lokal lainnya.
Dalam pengertian inilah maka negara ini tidak mengenal istilah kafir, melainkan warga negara. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama juga setara.
Karenanya, waskita sekali ketika Hadlrotus Syaikh Hasyim Asy’ari memandang bahwa relasi antara agama dengan negara itu seyognyanya berjalan beriringan. Keduanya tidak saling mendahului dan tidak pula tumpang tindih.
Akhirnya, demikianlah, seperti kata Kiai Wahab Chasbullah (Allah yarham), bahwa NU itu laksana meriam sebenar-benarnya meriam. Sekali bergerak mampu menggemparkan lawan. Soal memantik kontroversi atau tidak, justru dengannya kita akan tahu seberapa jauh kualitas para pengritik yang benar-benar mapan dan mana yang benar-benar amatiran.