Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini tidak terlepas dari kemajuan Barat, dalam hal ini kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan itu diraih setelah mereka berhasil merespon dengan baik ketertinggalan bangsanya dari umat Islam di masa silam.
Umat Islam sendiri pernah melewati suatu masa ketika mereka menjadi kiblat ilmu pengetahuan. Pada saat itu, lahir banyak tokoh muslim hebat yang menjadi rujukan berbagai bidang keilmuan. Di saat bersamaan, bangsa Barat sedang melewati masa kegelapan (the dark age). Mereka mengalami ketertinggalan yang cukup jauh dari umat Islam.
Namun, keadaan berbalik setelah perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami kemandekan. Bangsa Barat mulai berhasil mengejar ketertinggalannya. Kemajuan peradaban bangsa Barat pun masih bertahan hingga saat ini. Selama itu pula umat Islam masih terseok-seok mengejar ketertinggalannya.
Lalu bagaimana respon umat Islam atas kemajuan Barat? Menurut Azyumardi Azra dalam buku Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme dan Demokrasi, ada tiga macam pendekatan yang digunakan oleh umat Islam, dalam hal ini para cendekiawan muslim, dalam merespon kemajuan Barat.
Pertama, pendekatan apologetik atau pembelaan diri. Melalui pendekatan ini, sebagian cendekiawan muslim mencoba mengungkit sejarah masa kejayaan Islam (Islamic golden age) di masa silam. Mereka melakukan pembelaan diri atas ketertinggalan umat Islam di masa kini dengan dalih kemajuan Barat saat ini sebenarnya berasal dari umat Islam. Mereka menilai perkembangan teknologi yang ada sebenarnya merupakan jasa cendekiawan muslim, bukan bangsa Barat.
Kedua, pendekatan identifikatif. Cendekiawan muslim yang menggunakan pendekatan ini melakukan identifikasi masalah yang menyebabkan umat Islam tertinggal dari bangsa Barat. Selanjutnya, mereka mencoba mencari solusi yang tepat agar relevan dengan perkembangan zaman.
Ketiga, pendekatan afirmatif. Melalui pendekatan ini, cendekiawan muslim mengafirmasi (mengakui) ketertinggalan dunia Islam dari bangsa Barat. Namun, pengakuan itu tidak dibarengi dengan usaha untuk mengidentifikasi masalah dan memilih untuk “berdiam diri” tanpa ada upaya untuk mengejar ketertinggalan.
Dari ketiga pendekatan tersebut, nampak bahwa pendekatan kedua yang paling ideal digunakan oleh para cendekiawan muslim, dan barangkali sudah banyak yang menggunakannya. Adapun pendekatan pertama, bagi saya, sudah seharusnya ditinggalkan dan dibuang jauh-jauh. Mengapa demikian?
Seringkali orang menengok sejarah dengan dalih mencari motivasi dari kesuksesan para pendahulunya. Namun, bukannya malah mendapat motivasi, mereka justru hanyut dalam romantisasi masa lalu. Hal seperti itu tentu berbahaya. Umat Islam menjadi semakin nyenyak dalam tidurnya dengan mimpi-mimpi indah akan masa lalu tanpa mau bangun dan bergerak mewujudkannya.
Pemetaan respon umat Islam atas kemajuan barat oleh Azyumardi Azra di atas paling tidak dapat menggugah kesadaran bahwa sepertinya umat Islam belum memiliki kesatuan pandangan untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa Barat. Bahkan, tidak hanya pandangan, cara yang ditempuh untuk melakukannya juga berbeda-beda.
Namun, yang lebih penting, jangan sampai kemajuan yang diraih oleh bangsa Barat menimbulkan kedengkian kepada mereka. Dalam arti, kedengkian yang membuat umat Islam membenci atau memusuhi bangsa Barat. Sebaliknya, umat Islam justru harus bersedia dan tidak boleh gengsi untuk memberikan apresiasi maupun belajar kepada mereka. (AN)