Bulan Safar dalam tarikh Hijriah punya makna khusus bagi masyarakat Banjar. Masyarakat percaya, jika di bulan itu Tuhan menurunkan penderitaan ke muka bumi sebagai ujian keimanan. Hajatan tolak bala pun ramai digelar. Upacara doa kolektif diagendakan, bermaksud agar penderitaan tak jatuh menimpa kehidupan.
Pengajaran ihwal ritual itu, menurut Siti Faridah dan Mubarak dalam penelitian berjudul Kepercayaan Masyarakat Banjar Terhadap Bulan Safar: Sebuah Tinjauan Psikologis (2012), terlacak lewat selebaran tuan Guru Haji Jamhuri, yang menyebutkan diambil dari Kitab Fath al-Malik al Majid oleh al-Dairubi. Di selebaran itu, masyarakat diimbau banyak beristigfar dan membaca surah Yasin. Lalu kemudian, mengamalkan doa-doa khusus pada bulan Safar sebagai penangkal sial.
Ada juga kitab Kanz al-Najah wa al-Surur fi al-Ad’iyah allati Tasyrah al-Shudur, karangan Syekh Abd al-Hamid Muhammad al-Quds, seorang pengajar, sekaligus Imam di Masjid Al-Haram Makkah (1280-1334 H). Dalam kitab itu, penulis menuturkan banyak wali Tuhan yang memiliki pengetahuan spritual, telah menandai bahwa setiap tahun, 320.000 penderitaan akan jatuh menimpa bumi pada hari rabu terakhir bulan Safar (Arba Mustamir). Beberapa ulama meyakini bahwa ayat al-Quran, “Yawma Nahsin Mustamir” yakni “Hari berlanjutnya pertanda buruk” merujuk pada hari tersebut (Wardatun Nadhiroh: 2016).
Bulan Safar akhirnya membuat banyak aktivitas jadi pantang dilakukan. Masyarakat perlu menunda hajatannya. Biasanya pesta pernikahan, upacara membangun rumah, dan memulai usaha, dianjurkan agar dibikin di bulan lain. Sebab, bulan Safar dianggap bulan nahas. Segala perbuatan, diyakini tak bakal maksimal diganjar berkah. Atau, boleh jadi akan berujung pada masalah.
Dalam buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara (1982), Hawash Abdullah menyalin beberapa catatan para ulama terkait fenomena bulan Safar. Hawash menunjukkan di beberapa kitab seperti Al-Bahjatul Mardhiyah, Al-Jawahir, dan Jam’ul Fawaaid, tercatat pengisahan “diturunkannya pada tiap-tiap tahun sebanyak 320.000 bala dan sekalian pada hari Rabu yang terakhir pada bulan Safar, maka hari itu terlebih payah daripada setahun”.
Masyarakat Banjar mahsyur dikenal memiliki kepatuhan tinggi pada ulama. Ulama diandaikan sebagai pemangku pengetahuan, bijak, dan arif. Posisi ulama dalam masyarakat Banjar berkedudukan setara kepala adat. Dengan begitu, apa yang disampaikan ulama lewat ceramah maupun kitab, niscaya bisa dipercaya.
Bertumpuknya kitab memuat pesan berhati-hati di bulan Safar jadi sebuah legitimasi. Selain karena petuahnya memang berisi anjuran selalu mengingat Tuhan, masyarakat yang merasa awam, tak punya alasan kuat untuk tidak meyakininya. Di bulan Safar, orang-orang disuruh memperbanyak ibadah dan berbuat baik. Senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan. Bertobat. Bersedekah. Menyantuni para yatim piatu. Serta, menjaga diri dari perbuatan yang sanggup bikin emosi orang lain melonjak.
Kepercayaan masyarakat terkait Arba Mustamir, meski berpijakan pada kitab ulama, tetap tak bisa terhindar dari polemik dan kontroversi. Tak sedikit para cendekiawan Banjar yang sempat ngaji filsafat, beranggapan bahwa secara filosofis-rasional, tak mungkin Tuhan menurunkan bala.
Ada pula yang percaya jika semua bulan itu sama saja. Tak ada bulan sial, tak ada pula bulan yang betul-betul baik. Awetnya atensi masyarakat pada bulan Safar sebagai waktu sial, penuh bencana, penyakit, panas, dan nahas, diduga hanya merupakan sugesti yang telah lama menjangkar dan diulang-ulang dalam tradisi masyarakat Banjar
Akan tetapi, kritik maupun interupsi tersebut tak cukup kuat menggoyang akar keyakinan masyarakat Banjar. Doa-doa bersama yang diselenggarakan saat Arba Mustamir tetap dilakukan dengan khidmat. Doa komunal mengharap kasih sayang Tuhan, tak juga berarti jelek atau bid’ah. Sebagai usaha preventif, selama tak bermuatan syirik, kiranya tak ada yang salah.
Ritual masyarakat menghadapi Arba Mustamir di masyarakat Banjar, sebenarnya mirip dengan Rebo Wekasan di masyarakat Jawa. Upacara Rebo Wekasan itu selamatan untuk menjauhkan diri dari marabahaya. Di Jawa, sejak abad ke-15 tarikh Masehi, masyarakat kerap mengisi Rebo Wekasan dengan pengajian akbar, ceramah agama, pembacaan Al-Qur’an, teks barzanji, doa jausan, dan doa terhindar dari malapetaka hari rabu terakhir bulan Safar.
Clifford Geertz, dalam penelusuran antropologisnya di buku Agama Jawa (2013), menafsirkan selamatan masyarakat, sebagai bentuk ritual betujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum untuk menahan kekuatan kekacauan.
Masyarakat Jawa percaya, ritual Rebo Wekasan jadi wadah positif untuk memperkuat kebersamaan sesama umat. Menjalin kerukunan. Sebagai tempat menyalurkan niat baik bersedekah, semacam ungkapan syukur. Bala tak akan datang melanda kehidupan jika rasa syukur pada Gusti Allah, tak berhenti diamalkan.
Di titik ini, Arba Mustamir maupun Rebo Wekasan amsal alarm. Pelaksanaanya tak perlu dicemooh atau dilarang. Ia bisa jadi pengingat bagi masyarakat agar tak lupa berterima kasih pada yang Maha Kudus. Ia membangunkan orang-orang yang terlelap jiwanya. Orang-orang yang teramat nyenyak dalam keberlimpahan, hingga absen untuk bersyukur.
Ritual serupa Arba Mustamir dan Rebo Wekasan barangkali juga sebuah penanda. Ketidakmampuan mengetahui teka-teki Tuhan, merupakan keterbatasan manusia untuk mengetahui kehendak Sang Maha Ada. Di situlah tempatnya iman bersemayam dan memesona.
Di balik laku manusia yang sering acuh tak acuh pada Tuhan Yang Maha Esa, selalu ada dorongan untuk insyaf, tobat. Dorongan memohon ampun sebagai seorang hamba. Sebuah pernyataan tegas atas perasaan kecil, takut pada bala, gemetar dihadapan yang Maha Besar.
Manusia punya kecenderungan fitrawi. Manusia senantiasa ingin memperbaiki diri ke arah yang suci. Atas dasar itulah, dengan pusparagam cara, manusia acapkali mengekspresikan pengalaman perjumpaanya dengan –yang oleh Rudolf Otto, dalam The Idea of The Holy- sesuatu yang mistik dan ilahi. Sesuatu yang misterius, sekaligus menggetarkan.
Wallahu A’lam.