Saya mendengar nama Habib Salim bin Jindan pertama kali dari Ibnu Kharish, belakangan populer dengan nama Ustadz Ahong. Ibnu Kharish pengkaji, pentahqiq, dan penerjemah kitab al-Ilmam bi Ma’rifatil Fatawa wal Ahkam karya Habib Salim bin Jindan. Versi Arab dan terjemahannya sudah diterbitkan el-Bukhari Institute beberapa bulan lalu. Penulis kitab al-Ilmam ini lahir tahun 1906 di Surabaya. Beliau menetap di sana sampai tahun 1939. Setelah itu pindah ke Jakarta hingga akhir hayatnya. Habib Salim meninggal tahun 1969, dimakamkan di pemakaman al-Hawi, Condet, Jakarta Timur.
Habib Salim ulama produk lokal. Memang beliau keturunan Hadramaut Yaman. Tetapi kebanyakan waktunya dihabiskan belajar di Indonesia. Habib Salim pernah belajar di sekolah Belanda dan madrasah al-Khairiyyah Surabaya. Tahun 1930, Habib Salim diberi kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Seperti kebiasaan ulama Indonesia dulu, haji tidak hanya untuk ibadah, tetapi juga sebagai momentum menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di sana. Selama di Mekah, Habib Salim mendapat sanad hadis dari beberapa ulama terkemuka, seperti Syekh Umar Hamdan dan Syekh Abdul Sattar. Pulang dari Mekah, beliau menulis tiga kitab hadis yang isinya kumpulan hadis musalsal.
Keilmuan Habib Salim dalam bidang hadis tak perlu diragukan lagi. Meskipun waktu itu, kajian hadis belum terlalu populer di Indonesia seperti sekarang. Bacaan beliau terhadap hadis sangat luar biasa. Hal ini sebagaimana tampak dalam al-Ilmam bi Ma’rifatil Fatawa wal Ahkam. Habib Salim tidak hanya mengutip kitab matan hadis, seperti Shahih Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lain-lain, tetapi juga mengutip kitab tarajum (biografi parawi hadis) sebagai alat kritik sanad.
Kitab ini sebetulnya berisi kumpulan fatwa Habib Salim. Beliau menjawab sekitar 134 pertanyaan yang diajukan kepadanya. Seperti literatur fatwa pada umumnya, kitab ini diawali dengan pertanyaan dari penanya, kemudian dijelaskan jawabannya. Jawabannya ada yang panjang dan ada pula yang pendek, tergantung permasalahan yang ditanyakan. Di antara pertanyaan yang dijawab agak panjang adalah hukum cukur jenggot sampai habis, perempuan berambut pendek, dan apakah Rasulullah pakai celana.
Mengapa jawaban dari pertanyaan ini panjang? Tiga pertanyaan ini tidak berasal dari ruang kosong. Ketiganya memiliki konteks. Masalah cukur jenggot berkaitan dengan persoalan kebudayaan. Masyarakat Indonesia pada umumnya tidak memiliki jenggot, hal ini beda dengan masyarakat Arab. Kalau ada laki-laki tidak berjenggot di Arab dianggap belum sempurna kelelakiannya atau diistilahkan dengan amrad. Tapi yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, simbol bangsawan itu justru laki-laki yang tidak pakai jenggot, dan pada beberapa tempat kalau ada laki-laki berjenggot itu masih dianggap aneh. Dalam menjawab masalah ini, Habib Salim menjelaskan perbedaan ulama terkait hukum mencukur jenggot sampai habis: ada yang mengatakan haram, makruh, dan mubah. Beliau lebih setuju dengan pendapat yang menghukumi mubah, karena memposisikan masalah ini berkaitan dengan budaya, bukan masalah agama. Sehingga, kita boleh mengikuti tradisi dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat.
Kemudian masalah perempuan rambut pendek dan hukum pakai celana, sekali lagi, pertanyaan ini tidak mungkin lahir dari ruang kosong, kita perlu melihat bagaimana konteks sejarah pada waktu itu. Pertanyaan ini hadir sebagai kegelisahan anak-anak muda dalam merespon kebudayaan Eropa yang sedang trend di Indonesia. Perempuan Eropa masa itu rambutnya pendek dan laki-lakinya menggunakan celana. Sebagian ulama mengharami perempuan rambut pendek dan memakai celana, karena dianggap mengikuti budaya orang kafir, hukumnya haram.
Habib Salim mengkritik keras ulama yang mengharamkan itu. Habib Salim menganggap mereka tidak paham sunnah Nabi dan sejarah. Dalam kitab al-Ilmam, beliau menghadirkan hadis-hadis yang menunjukkan Nabi membolehkan perempuan berambut pendek, dan hadis-hadis tentang Rasulullah pernah membeli dan memakai celana. Tidak sampai di situ, Habib Salim masuk pada persoalan mendasar, apakah tidak boleh Muslim mengikuti kebudayaan Non-Muslim?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Habib Salim membaca sejarah kebudayaan bangsa Arab dan kehidupan Rasulullah secara khusus. Habib Salim menjelaskan bahwa trend perempuan rambut pendek bukan tradisi bangsa Eropa, tapi sudah ada sejak zaman dulu sebelum Islam datang di Jazirah Arab. Lihat saja peninggalan mumi-mumi istri Fir’aun, mereka memendekkan rambutnya, dan tradisi ini berkembang terus sampai ke bangsa Romawi dan Arab Jahiliyah. Ketika Islam datang, Rasulullah tidak mengingkari hal ini dan dalam beberapa riwayat dikatakan sebagian istri Rasulullah juga memendekkan rambutnya. Terkait masalah pakaian, Habib Salim menunjukkan bahwa Rasulullah juga pernah memakai pakaian Romawi, Suryani, Nasrani, Majusi, dan Kurdi. Bahkan beberapa dari pakaian itu dipakai saat shalat berjamaah bersama para sahabatnya.
Merujuk fakta sejarah itu, tidak ada masalah bagi orang Muslim mengikuti trend kebudayaan lain, selama itu tidak melanggar aturan-aturan syariat. Karenanya, Habib Salim berbeda pandangan dengan ulama yang mengharamkan trend potong rambut pendek bagi perempuan, cukur jenggot, dan memakai celana, sebab ini masih masuk dalam ranah kebudayaan dan tradisi, bukan masalah agama.
Untuk memperkuat argumentasinya, Habib Salim mengutip Ibnu Khaldun dan Ibnu Abdil Bar yang menjelaskan ketika umat Islam melakukan penaklukan terhadap Persia dan Andalusia, mereka berusaha mengikuti tradisi masyarakat setempat. Orang Arab berusaha seperti orang Spanyol; Orang Arab Afrika berusaha seperti bangsa Barbar; Orang Arab Syam berusaha menjadi seperti orang Romawi. Mereka semua mengikuti tradisi pakaian dan dialek bahasa masyarakat setempat.