Tahun 2020 sudah di penghujung harinya untuk berlalu, tahun yang baru pun akan segera datang. Pertanyaannya, bagaimana ingatan kolektif dan individu tahun 2020 ini akan terbentuk?
Menjelang menutup tahun, mungkin ada baiknya kita mengevaluasi hubungan kita dengan waktu, waktu di tahun yang secara umum menjadi sulit, penuh ketakutan dan kesedihan. Bukan untuk meromantisir atau mempuitiskan tragedi, tetapi untuk menyadari bahwa identitas dan eksistensi kita sebagai manusia bersifat intratemporal: kita hidup dalam waktu, mau tidak mau manusia terseret oleh siklus waktu tiada henti.
Momen pandemi menunjukkan faktor eksternal yang tidak dapat kita kendalikan, kita mendiami dunia yang terus berubah. Apa yang ditunjukkan oleh pandemi adalah krisis waktu, semacam gangguan temporal yang memengaruhi persepsi kita tentang kronologi kehidupan sehari-hari. Dalam lensa antropologis, salah satu gambaran yang menjangkiti manusia di masa pandemi ini adalah pengalaman paradoks dalam menapaki waktu: kebosanan dan perasaan tidak ada yang bisa dilakukan, waktu menjadi monoton dari hari ke hari.
2020 bukan hanya ditandai dengan tahun pandemi semata, banyak di antara kita menandai kalender tahun ini sebagai tahun dari “waktu yang hilang”. Pandemi tidak hanya berkaitan dengan persoalan penularan wabah dan penyakit, tetapi ketidakpastian terhadap masa depan. Pengalaman ketidakpastian pada gilirannya menghasilkan krisis eksistensial manusia dan kemanusiaan karena kita mengalami cara yang aneh dalam waktu pandemi dan pembatasan sosial. Sudah berbulan-bulan kita terkurung oleh waktu pandemi. Waktu seolah seperti apa yang diilustrasikan oleh William Shakespeare dalam drama The Tragedy of Hamlet bahwa “waktu telah rusak”.
Kita tidak bisa lagi melakukan aktivitas dengan cara yang biasa, tiba-tiba kita harus menangguhkan tindakan rutin kita. Pekerjaan, bisnis, perjalanan, liburan, dan banyak perencanaan dibatalkan atau dijadwalkan ulang. Pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah pun sulit dibedakan, seolah melebur dalam rutinitas di ruang mobilitas yang terbatas. Teringat pada Hamlet, roda waktu pandemi ini seakan terlepas dari engselnya, tidak lagi bergantung pada orbit matahari, tidak bergantung pada jam dan menit, ia memilih jalannya sendiri. Sebagian di antara kita tidak bisa bergerak dalam masa pandemi, banyak hal harus berubah dari situasi normal sebelum pandemi.
Virus yang menyebar bak kecepatan cahaya menjadikan umat manusia sebagai sandera, tak terduga masuk ke ruang hidup kita bagai pencuri. Pengalaman waktu yang meruntuhkan temporalitas hadir di masa pandemi tampak dalam virtualitas dan pembatasan jarak fisik yang entah sampai kapan, dan hidup direduksi menjadi yang paling esensial: untuk bertahan hidup. Pembatasan kegiatan fisik seketika menampilkan rapuhnya hubungan kerja.
Untuk melanjutkan banyak pekerjaan, kita dipaksa bermigrasi ke dunia virtual. Menghabiskan waktu banyak di rumah, belajar melanjutkan hidup di dunia yang berubah.
Relativitas Ruang-Waktu Pandemi
Pandemi Covid-19 telah berdampak pada pergeseran waktu dalam hubungannya dengan ruang. Ruang yang kita tempati, tempat kita bergerak, bekerja, membutuhkan gerakan baru agar sesuai dengan situasi pandemi. Fisikawan Stephen Hawking dalam A Brief History of Time (1998) berbicara tentang relativitas ruang dan waktu. Ketika suatu benda bergerak atau suatu gaya bekerja, itu memengaruhi kelengkungan ruang dan waktu, dan sebaliknya, struktur ruang-waktu memengaruhi cara benda bergerak dan bekerja. Waktu yang melengkung mengubah gagasan waktu linier dan produktif.
Baca juga: Pandemi Corona Bukan Kiamat
Pembatasan sosial dalam skala luas menjadikan waktu ekonomi dan produktivitas berpindah ke dimensi lain. Masyarakat hidup dalam dimensi-dimensi waktu yang berbeda, bahkan kontradiktif. Sebagian terseok mengikuti waktu pandemi, yang lain bisa melakukan akselerasi digitalisasi dan penyesuaian di banyak sektor. Keduanya menunjukkan problem struktur waktu kontemporer yang terkait dengan waktu logis alih-alih waktu kronologis. Kita hidup di banyak waktu hari ini, tanpa memiliki satu sumbu pun yang menjadi jangkar.
Mesin Waktu yang Tersendat
Pandemi telah menghasilkan kehampaan yang tidak nyaman karena menunggu tanpa batas. Penyebaran virus yang masih terjadi hingga hari ini membawa sensasi waktu yang stagnan, ketidakberdayaan, dan tentunya kelelahan. Pandemi Covid-19 yang melanda planet di era global menunjukkan sejarah baru kepada kita untuk merasakan tentang bagaimana mesin superhuman macet, mesin pertumbuhan produksi yang selama ini mencemari seluruh permukaan planet bumi.
Akibat dari pandemi virus corona, dunia tidak hanya tergopoh dalam krisis kesehatan, tetapi juga ekonomi. Kita menyaksikan kerapuhan sistem ekonomi dalam risiko yang kita bangun sendiri. Tersendatnya mesin produksi-ekstraktif ini memang tidak akan berlangsung lama. Datangnya vaksin memberikan secercah harapan akan akhir dari waktu pandemi. Setelah virus dikendalikan, roda gigi waktu linear produktivitas dengan mesin-mesin ekonomi akan kembali dan melanjutkan ritme obsesifnya. Namun pertanyaannya, sudahkah kita memikirkan kelangsungan hidup jangka panjang kita, tidak hanya sebagai negara tetapi sebagai spesies?
Apa yang kita alami di tahun 2020 tidaklah kecil, begitu banyak kesedihan, ketakutan, kehilangan, serta kematian. Kita semua ingin keluar dari situasi pandemi dan memulai kehidupan normal yang baru, tetapi tergesa-gesa untuk kembali ke realitas sebelum masa pandemi bukanlah jalan yang sehat. Pandemi Covid-19 menyajikan fakta kepada kita bahwa dunia sedang berubah ke arah yang kita belum tahu ke mana akan berlanjut.