Dalam satu dekade terakhir, ada semangat konservatif dalam keagamaan hingga jadi sebuah budaya populer baru. Fenomena ini didukung penuh oleh akses mudah di era media baru.
Istilah budaya populer konservatif ini pertama kali saya temui di artikel Ahmad Najib Burhani berjudul “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan” (Maarif Vol. 11, No. 2, 2016). Tulisan ini menyoroti fenomena rangkaian Aksi Bela Islam yang terjadi di Jakarta beberapa tahun silam.
Salah satu faktor yang mendukung terjadinya aksi yang bisa mengumpulkan massa sebesar itu ialah adanya gejala konservatisme yang menjadi pop-culture.
Fenomena keagamaan ini menjadi unik. Pasalnya, konservatif selama ini identik dengan sesuatu yang kolot (old school) namun kini hal tersebut justru menjadi tren yang ada di masyarakat.
Profesor riset BRIN tersebut mencatat bahwa budaya populer konservatif ini menyebar di hampir seluruh elemen masyarakat. Bahkan, tak hanya di kalangan konservatif seperti Salafi melainkan fenomena ini juga bisa ditemukan di komunitas NU dan Muhammadiyah.
Adanya semangat untuk menampilkan identitas lewat simbol-simbol keislaman di ruang publik menjadi tren belakangan ini. Tak hanya lewat pakaian ataupun ucapan yang sifatnya individual melainkan juga yang sifatnya komunal, seperti lewat event dan gerakan.
Beberapa contoh di antaranya ialah festival keislaman terkait buku-buku Islami, tren pakaian, hingga produk seperti makanan atau produk lainnya dengan membawa embel-embel agama. Bahkan, sertifikasi halal pun menjadi meningkat pada momen ini.
Tren ini menarik karena gejala konservatif ini membuat seseorang memilih produk yang lebih islami ketimbang produk lain yang sebenarnya sama-sama halal, tak mengandung unsur haram.
Meningkatnya Sikap Konservatif di Kalangan Anak Muda
Data terkait budaya populer konservatif didapatkan pula oleh riset PPIM UIN Jakarta tahun 2021 mengenai “Beragama Ala Anak Muda: Ritual No, Konservaitf Yes“. Ini merupakan hasil survei skala nasional dengan melibatkan generasi Millenial dan Gen-Z sebagai respondennya.
Penelitian ini menemukan bahwa semangat konservatisme di kalangan anak muda justru meningkat dibandingkan generasi sebelumnya. Internet, khususnya media sosial, menjadi pengaruh paling kuat.
Anak muda dekat dengan internet sehingga banyak mendapatkan informasi terkait agama dari sana. Munculnya sebutan “ustadz google” tentu menandakan fenomena ini.
Banjir informasi di internet memungkinkan setiap individu untuk mengakses banyak pandangan. Namun hal itu kembali lagi kepada kecenderungan individu, apakah ia mau mengonsumsi berbagai pandangan ataukah hanya fokus pada pandangan yang sesuai dengan apa yang dipercayainya.
Sayangnya, masih dalam penelitian tersebut, gejala konservatisme di kalangan anak muda tak sejalan dengan tingkat religiusitas mereka. Ini poin yang ironi karena pilihan dalam mengonsumsi produk dengan simbol keagamaan malah benar-benar menjadi tren belaka tanpa adanya perubahan pada spiritualitas dan moralitas individu.
Dikhawatirkan Berpotensi Dimanfaatkan dalam Politik Identitas
Gejala budaya populer konservatif ini memang menjadi tren yang muncul di era media baru. Okelah jika gejala ini hanyalah tren belaka namun yang dikhawatirkan dari gejala ini ialah munculnya sikap diskriminatif terhadap pihak yang berbeda. Lebih buruk lagi jika massa yang cukup besar ini malah dimanfaatkan dalam panggung politik.
Rangkaian Aksi Bela Islam yang disorot oleh Prof. Najib Burhani dalam artikel di atas merupakan contoh kuat. Gejala keagamaan budaya populer konservatif ini memang dapat ditunggangi dalam mendulang aksi politik berbasis identitas.
Jika dalam memilih produk saja harus ada simbol keagamaannya, apalagi dalam memilih seorang pemimpin. Tak masalah jika memilih seseorang berdasarkan identitas agamanya. Namun, ketika identitas ini menjadi narasi yang digoreng terus-menerus untuk bisa mendulang suara, sebaiknya kita mempertimbangkan lagi. Toh, calon yang beragama Islam juga nggak cuma satu.