Sebenarnya banyak sekali mazhab fikih Ahlussunnah wal Jamaah di luar empat mazhab fikih mainstream yang kita kenal hari ini (Syafii, Maliki, Hanbali, dan Hanafi,). Di luar empat mazhab tersebut terdapat sejumlah mazhab lain yang pernah tumbuh dan berkembang hingga abad ketiga hingga keempat Hijriyah. Karena satu dan lain hal, mazhab-mazhab fikih sunni di luar empat mazhab ini “mati”. Tidak ada lagi sarjana-sarjana fikih yang meneruskan dan akhirnya tidak lagi menjadi mazhab yang diikuti oleh masyarakat. Salah satu dari mazhab fikih di luar empat mazhab adalah Madzhab Al-Awza’i. Nama Al-Awza’i bagi para pengkaji fikih tentu cukup familiar sebagaimana nama Abu Tsaur, Ishaq ibn Rahawaih, dan lain sebagainya yang namanya kerap disinggung dalam kitab-kitab fikih.
Nama lengkapnya adalah Abu Amr Abdurrahman bin Amr bin Yuhmid al-Awza’i. Ia lahir di Ba’labak (sebuah kota di Libanon) pada tahun 88 H/ 707 M. Sejak kecil ia tumbuh sebagai anak yatim dan miskin karena ditinggal ayahnya sejak ia masih balita. Ia tinggal di Ba’labak bersama ibunya yang kemudian ibunya memboyongnya untuk pindah ke kota Beirut.
Ia belajar kepada sejumlah pembesar tabiin (generasi setelah sahabat Nabi) seperti Atha’ bin Abi Rabah, Qatadah, Al-Zuhri, dan lain sebagainya. Imam Al-Awzai ini dikenal memiliki peringai yang baik dan pengetahuan yang komplit. Murid-muridnya Imam Awza’i cukup banyak. Sebagian besar di antaranya kelak menjadi ulama besar seperti Imam Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki), Sufyan Al-Tsauri, bahkan sekelas tabiin sekalipun seperti Imam Az-Zuhri juga belajar kepadanya (lebih tepatnya saling belajar). Belajarnya Imam Az-Zuhri kepada Imam Awza’i ini dalam disiplin ilmu hadis disebut sebagai riwayat al-akabir ‘an ash-shaghair (orang yang secara usia lebih tua belajar dan meriwayatkan hadis dari orang yang lebih muda).
Meski sedemikian tingginya intelektualitas seorang Imam Awza’i, akan tetapi ia tidak sebagaimana para pendiri mazhab empat mainstream yang banyak ditulis oleh para murid-murid dan pengikutnya. Sosoknya jarang sekali diulas secara khusus oleh para muridnya. Meski demikian, bukan berarti nama beliau tidak diulas dalam buku-buku sejarah para sarjana, sebut saja di antaran dalam karya-karya ensiklopedis seperti Thabaqat-nya Ibn Sa’d, Muruj Adz-Dzahab-nya Al-Mas’udi, Hilyah Al-Awliya’-nya Abu Nu’aim, hingga dalam sejumlah literatur tentang biografi para periwayat hadis seperti al-Bidayah wan-Nihayah, Tadzkirah al-Huffadz, at-Tahdzib dan lain sebagainya.
Salah satu upaya yang sangat berharga dalam menelusuri jejak Imam Al-Awza’i adalah apa yang telah dilakukan oleh Syakib Arselan. Ia secara tekun meneliti manuskrip yang tersimpan di Berlin. Manuskrip tersebut, menurut Syakib Arselan, merupakan hasil salinan tangan dari Zainuddin bin Taqiyyudin bin Abdurrahman al-Khatib. Judul manuskrip yang diteliti oleh Syakib Arselan ini berjudul Mahasin Al-Masa’i fi Manaqib al-Imam Abi Amr al-Awzai, sebuah kitab yang ditulis oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Al-Mushili al-Hanbali.
Mengenai hal ini Syakib Arselan mengatakan:
Selama dua tahun saya ‘muthalaah’ di sebuah perpustakaan di Berlin, di mana saya menemukan sebuah manuskrip berjudul “Mahasin al-Masa’i, fi Manaqib al-Imam Abi Amr al-Awza’i”. Kitab ini tanpa diberi keterangan siapa penulisnya, hanya saja di bagian akhir manukrip ini tertulis nama penyalin naskahnya, yaitu Zainuddin bin Taqiyyudin Abdurrahman Al-Khathib, di mana juga tercatat titi mangsa penyalinan naskah kitab ini yakni tahun 1048. Keterangan lain tentang penyalinnya juga tidak ditemukan dalam naskah ini.
Setelah ia melakukan muthalaah sebagian halaman dari kitab ini, memotret isinya, mengumpulkan dan akhirnya menerbitkan karya ini. Mengapa ia melakukan ini? Karena beberapa alasan, di antaranya:
- Ini adalah naskah kitab satu-satunya yang menjelaskan biografi Imam Awza’i, mungkin saja ada kitab lain selain kitab ini, hanya saja saya belum pernah melihatnya.
- Imam Awza’i adalah ulama generasi pertama dalam jenjang mujtahid, posisinya setara dengan Imam Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah.
- Imam Awza’i adalah Imam bagi penduduk Syam -berdasarkan penuturan para sejarawan. Selain di Syam, masyarakat Andalusia juga dulu sempat menganut Madzhab ini.
Ibn Nadhim dalam al-Fihrisat menyebutkan dua kitab peninggalan Al-Awza’i. Yaitu: Kitab As-Sunan fil-Fiqh dan Kitab al-Masail fil-Fiqh. Hanya saja yang sampai kepada kita, menurut Ibn Nadhim, hanya sebagian “al-muqtabasat” yang terdapat pada sumber-sumber yang ditulis belakangan.
Meski demikian, menurut Fuat Sezgin, Ibn Abi Hatim telah berhasil menyelamatkan sejumlah risalah (surat) yang ditulis oleh Al-Awza’i untuk khalifah dan para wazir-nya. Risalah-risalah yang menggambarkan pandangan fikih Al-Awza’i tersebut di antaranya sebagai berikut:
- Risalah ila Ubaidillah, wazir Khalifah Al-Mahdi fi Mawidzah was-Sual Hajat.
- Risalah ila Ubaidillah wazir khalifah al-Mahdi fi Tanaj
- Risalah ila ‘Isa bin ‘Ali fi Jawabi Man Dafa’a ‘an Nafsihi
Penggalan Pemikiran Fikih Imam Al-Awzai
Bagi para pembelajar fikih yang cukup banyak membaca literatur-literatur besar dan mendalam, maka akan mudah menemukan penjelasan mengapa mazhab fikih dalam kelompok sunni hanya dibatasi empat imam mazhab saja. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satunya adalah karena kitab-kitab empat imam mazhab ini terkodifikasikan dengan baik. Hal mana yang tidak terjadi dalam Mazhab Imam Awza’i. Bahkan pengikut terbesarnya yang dulu berada di Syam dan Andalusia, konon hanya bisa bertahan sekitar 200 tahun. Setelah itu, masyarakat Syam berpindah menjadi pengikut Mazhab Syafi’i dan di Andalusia memilih Mazhab Maliki.
Oleh karena itu, corak pemikiran fikihnya Imam Awza’i pun cukup sulit untuk dicari. Hanya saja, beberapa penggalan pendapatnya mudah untuk ditelisik dari beberapa karya tulis mengenainya. Salah satunya terdapat dalam kitab Mahasin Al-Masa’i fi Manaqib al-Imam Abi Amr al-Awzai yang disunting oleh Syakib Arselan.
Salah satu bab dalam buku tersebut di beri judul fashlun: fi dzikr ba’dh ma ikhtarahu al-awza’i (fasal: sebagian pendapat fikih yang dipilih oleh Imam Al-Awza’i). Dalam bab ini dijelaskan bahwa salah satu pendapat “unik” dari Imam Al-Awza’i adalah ihwal dibolehkannya berwudhu dengan menggunakan “nabidz” alias perasaan anggur. Konon, pendapat ini didasarkan kepada salah satu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud dimana saat itu hendak melakukan salat subuh ia ditanya oleh Nabi, “apakah kamu memiliki wudlu?” Ibn Mas’ud menjawab, “Tidak, tetapi aku memiliki sebuah tempat yang di dalamnya terdapat nabidz”. Lalu Nabi bersabda, “Kurma yang suci, (air perasannya) bisa menjadi alat untuk bersuci”.
Pendapat lain yang cukup berbeda dengan beberapa pendapat madzhab lain seperti Madzhab Imam Syafii adalah mengenai kesucian air baik sedikit maupun banyak meskipun tertimpa najis, dengan catatan air tersebut tidak berubah sebab terkena najis.
Imam Auza’i wafat pada hari ahad tanggal 28 bulan Safar tahun 157 H. Jenazahnya disemayamkan di belakang sebuah Masjid di Beirut yang diberi nama Masjid Imam Al-Awzai.
Wallahu A’lam bish-Shawab